Langsung ke konten utama

'Dani!'



“Dani!... Dani!..”
Kudengar namaku dipanggil, kemudian aku berbalik dan seorang anak lelaki yang seumuran denganku berkata kepadaku
“ohh.. jadi nama kamu juga Dani. Hahah! Aku baru tahu”
“kok kamu baru tahu sih? Dasar kudet!”kata seorang lagi yang tidak lain adalah Anton, tetanggaku sekaligus teman sekelasku sewaktu SMP.
Aku hanya tersenyum sebal kepada mereka dan berlalu. Lelaki itu, lelaki bertubuh sedikit lebih tinggi dariku dan berkulit putih itu kuketahui bernama Adlan. Lelaki yang saat ini sedang tenar di kelasku dikarenakan seorang temanku ‘katanya’ ngefans dengannya. Aku pun baru mengetahuinya akhir-akhir ini. Mungkin lebih tepatnya kami baru saling mengetahui keberadaan satu sama lain di tahun terakhir kami satu sekolah.
***
“Dani!... Dani!..”
Untuk kedua kalinya dalam satu minggu ini kudengar namaku diteriakkan dengan nada yang sama dan kuyakini juga oleh orang yang sama. Sekali lagi aku berbalik dan sungguh menyebalkan, orang itu kini memanggil-manggil  “Dani!... Dani!..” pada temannya yang berada di depannya yang juga kuketahui bernama Dani.
Ya, nama kami sama. Dani. Aku sudah mengenal si kembaran namaku itu sejak kelas satu karena kami sempat satu kelas. Namaku bisa dibilang pasaran. Di sekolah ini saja terdapat 4 anak bernama ‘Dani’ mulai kelas X-XII. Dan aku termasuk di dalamnya, pertama Danisha Kusuma (aku), kemudian Daniel Anggara (lelaki yang kita sebut-sebut tadi), Rahmadani (anak kelas XII dari kelas berbeda), terakhir Danika Miranti (adik kelas XI). Kebetulan sekali, aku tidak begitu kenal dengan Rahmadani dan Danika Miranti. Aku hanya sedikit lebih dekat dengan si Daniel Anggara. Daniel Anggara yang juga sahabat Adlan. Karena nama ‘Dani’ yang memulai segalaya.
***
“Dani!... Dani!..”
                Lelaki ini lagi, keadaan lebih parah. Sekarang, aku berada di kelasnya dimana aku tengah mengunjungi teman-temanku semasa SMP dulu yang kebetulan sekali sekelas dengannya. Ia kini tengah berteriak-teriak memanggil namaku –yang juga merupakan nama sahabatnya, di dekat telingaku dan di depan ‘Dani’  sahabatnya itu. Sedari tadi ia mengikuti kemana pun aku pergi dengan meneriakkan kata ‘Dani’ yang tentu saja bermaksud mengejekku.
                Jadi skenarionya begini, saat ia meneriakkan nama ‘Dani’ dan aku menoleh maka ia akan berbicara pada si ‘Dani’ sahabatnya, begitu pula sebaliknya jika si ‘Dani’ sahabatnya yang berbalik maka ia akan berbicara padaku. Ia ingin kami --‘Dani’, salah orang. Kelakuannya sungguh membuat kesal. Saat aku dan Daniel berusaha mengabaikannya, maka teriakannya semakin keras dan kami sungguh tidak tahan untuk memarahinya –padahal aku baru mengenalnya.
***
Beberapa minggu aku menjalani hari dengan teriakan-teriakan namaku bertalu-talu terdengar di gendang telingaku dan sangat berusaha aku abaikan walau pada akhirnya aku tak mampu, ia sungguh berisik. Mungkin ia tidak sendiri melakukan aksinya, namun di antara teman-temannya yang lain dia yang paling antusias.
Kadang aku berpikir ia sungguh berisik dan mengganggu, namun kadang aku tersenyum sendiri dengan tingkahnya yang menyebalkan itu. Komunikasi kami akhir-akhir ini hanyalah dia akan mulai meneriakkan namaku dan aku akan mencari sumber suara itu kemudian tersenyum kesal kepadanya atau mulai mengeluarkan rapalan mantra bermakna kata-kata kesal padanya.
***
                Minggu-minggu berikutnya dengan frekuensiku berkunjung ke kelasnya yang lebih sering, membuat kami sedikit banyak berkomunikasi selain cara di atas. Namun, yang dapat keluar hanya kata-kata ledekan dan menghasilkan perdebatan tidak penting seperti celananya yang melanggar peraturan, guru-guru menyebalkan di sekolah, masalah flu dan permasalahan aneh lainnya.
                Seiring berjalannya waktu, frekuensi Adlan meneriakkan namaku berkurang dan entah mengapa aku yang sering memanggilnya. Tujuannya? Untuk membuat teman sekelasku yang kagum padanya cemburu, dalam hal ini aku hanya bercanda. Bercanda seperti itu dalam kelas kami sudah menjadi suatu hal biasa seperti biasanya seorang lelaki menyatakan cinta pada seribu gadis. Temanku yang kagum pada Adlan bernama Varisha. Varisha adalah anak periang yang semua orang tidak tahu kapan ia bercanda dan kapan ia serius. Karena setiap yang ia katakan diusahakan seserius mungkin walau sebenarnya ia hanya bercanda.
***
“Dani!... Dani!..”
                “apa?”jawabku ketus namun senyum tak dapat kusembunyikan dari bibirku.
                “idih! Siapa juga yang manggil kamu, aku itu manggil Dani, Daniel bukan Danisha”kata Adlan
                “terserah sih, yang jelas namaku itu juga Dani dan kamu memanggil ‘Dani..Dani!..’ jadi tetap saja itu juga aku”
                “bagaimana bisa begitu? Aku tidak bermaksud memanggilmu. Makanya kalau punya nama jangan pasaran!”
                “emang yang milih nama aku sendiri apa? Yang memberi nama kan juga orang tua aku sama Daniel”
                “tapi tetep kamu yang ikut-ikut, orang Daniel lahir duluan dibandingkan kamu”
                Perdebatan tidak penting selanjutnya yang tidak ada habisnya selalu saja kuperdebatkan dengan si Adlan Menyebalkan itu.
***
                Semua terjadi begitu cepat dan perdebatan tidak penting itu kini telah hilang. Teriakan-teriakan itu tak lagi terdengar. Senyum kesalku tak pernah lagi terlukis. Semua menguap dengan tiba-tiba seperti bensin di udara terbuka. Semua telah kembali seperti semula, seperti saat kami tak menyadari keberadaan satu sama lain.
                Pasang surut komunikasi pun terjadi.
“aku kan sudah minta pudding sama kamu tapi kok kamu gak ngasih sih? Pelit banget!”tuduh Adlan
                “aku bukannya pelit, tapi puddingnya benar-benar sudah habis. Aku saja hanya makan sedikit” aku membela diri
                “sudahlah! Bilang saja kamu memang tidak ingin memberiku pudding, sia-sia saja dulu kau kubelikan coklat”
                Urrghh! Menyebalkan, mengapa dia harus mengungkit masa lalu? Kalau sudah memberi yah tidak usah ditagih balasannya. Sekarang ini, kami sedang memperdebatkan mengenai pudding yang aku buat dalam pelajaran tataboga dan aku tidak memberikan sedikit pun padanya.
                “salah sendiri! Mengapa kamu memintanya lewat Mysha? Mengapa tidak langsung meminta padaku saja?”aku masih membela diri, aku tidak suka dibilang pelit.
                “sudahlah, sekali pelit ya pelit aja gak usah bela diri!”
                “lagian ya pudding kelompok aku hancur banget, masa iya aku kasih ke kamu?”
                “emang kenapa kalau hancur? Aku akan tetap memakannya walau bagaimana pun bentuknya asal kamu memberikannya padaku. Aku tidak meminta pudding Mysha karena aku ingin memakan pudding yang kamu buat”
                Ada apa dengan anak ini? Mungkin ada serangga yang menghinggapi otaknya dan memutus saraf-saraf akal sehatnya.
                “Berhentilah berdebat! Begini saja, Dani akan memberikan pudding yang ia buat sendiri padamu di lain waktu. Puas?”Mysha menengahi.
                “oke baiklah, aku tunggu. Pudding itu hanya untukku dan harus buatan Dani”akhirnya Adlan menyerah.
                “Tunggu! Sejak kapan aku setuju dengan usul itu? Aku tidak tahu membuat pudding,  tadi saja puddingnya terasa aneh sekali padahal sudah dikerjakan berkelompok apalagi jika aku yang membuat sendiri”aku tidak terima. Sungguh! Aku tidak tahu membuatnya, nilai tatabogaku benar-benar buruk.
                “aku tidak mau tahu!”
                Perdebatan kami seminggu yang lalu. Janji yang ia buat sendiri itu pun tak pernah aku tepati. Lebih tepatnya aku tak pernah merasa berjanji apa-apa padanya. Setelah perdebatan itu pun, semua kembali hilang. Tak ada tukar sapa lagi, bahkan saling pandang pun kami merasa canggung. Mungkin karena untuk waktu yang lama kami benar-benar tidak pernah berkomunikasi.
***
                Di dalam kelas, aku selalu menyebut nama Adlan untuk hal-hal yang berkaitan denganku, seakan-akan aku menyukainya padahal tidak. Aku melakukannya hanya untuk kesenangan semata. Berpikir mengenai Varisha yang kagum pada Adlan? Ia selalu mengatakan bahwa ia hanya bercanda kagum pada Adlan, meski aku tak tahu kebenarannya.
                “kamu suka sama Adlan?”Adira mendatangiku dan langsung bertanya mengenai perasaanku pada Adlan.
                “tentu saja tidak, selama ini aku hanya bercanda. Hanya untuk seru-seruan”jawabku.
                “aku kira kamu sudah jatuh cinta padanya”kata Adira dengan nafas lega.
                “memangnya ada apa? Memang kenapa kalau misalnya aku suka sama Adlan?”
                “saranku, lebih baik jangan! Dia orang yang benar-benar genit. Gombal sana-sini. Kila saja selalu digoda olehnya”
                “oh!”balasku. Dua kata yang dapat terucap meski di otakku berkecamuk beribu tanya dan kekesalan.
***
                Aku sudah biasa mendengar bahwa Adlan itu genit. Aku mempunyai banyak teman di kelasnya dan salah satu di antara mereka mengatakannya padaku. Aku juga sering melihatnya duduk berdekatan dengan anak perempuan lainnya. Ya, aku sering memperhatikannya dari kejauhan.
                Mungkin aku sudah agak kelewatan ‘menjual’ nama Adlan. Selain selalu mengumandangkan namanya di kelas, aku juga sangat suka menulis namanya di akun media sosial milikku. Meskipun initial tapi banyak yang mengerti, bahkan teman sekelasnya. Yang sangat besar kemungkinan sudah memberi tahu Adlan mengenai hal tersebut. Tidak seperti lelaki lainnya, anak ini sungguh peka. Aku merasa dia dan teman-temannya sering sekali melihatku dan membicarakanku. Mungkin hanya perasaanku, tapi bukankah perasaan wanita tak pernah salah?
***
                Setelah mendapat wejangan dari Adira, aku sudah mulai menjauhi Adlan. Setidaknya mulai mengendalikan mataku agar tidak melihat ke arahnya, mengendalikan jari-jari tanganku agar tidak menuliskan namanya di media sosial, ataupun mengendalikan otakku agar tidak memikirkannya. Semua masih dapat kukendalikan walau sulit. Namun, aku tak dapat mengendalikan perasaanku.
***
Depest, 07 September 15

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Laporan Fisika (Arus & Tegangan)

MENGUKUR ARUS DAN TEGANGAN LISTRIK I.                    Tujuan:   Mengetahui cara mengukur arus dan tegangan listrik II.                 Landasan Teori 1.       Hukum Ohm              “ besar kuat arus yang mengalir dalam suatu penghantar berbanding langsung dengan beda potensial antar ujung-ujung penghantar , asalkan suhu penghantar tetap . “                 Hukum ohm menggambarkan bagaimana arus, tegangan, dan tahanan berhubungan.  George ohm menentukan secara eksperimental bahwa jika tegangan yang melewati sebuah tahanan bertambah nilainya maka arusnya juga akan bertambah nilainya. Begitu juga sebaliknya. Hukum ohm dapat dituliskan dalam rumus seb...

I WANT TO DIE BUT I WANT TO EAT TEOKPOKKI Part 1

Dari: diriku Untuk: diriku   saya minta maaf! *** Sebelumnya saya mau review sedikit tentang buku yang sangat excited saya pesan. Sejujurnya ini kali pertama saya memesan buku secara online , ikut pre-order dan nungguin sampe beberapa puluh hari. Saya benar-benar ingin berterima kasih kepada Baek Se Hee yang telah sangat berbaik hati berbagi kisahnya dan menuliskannya dalam sebuah buku. Awalnya saya mengetahui buku itu karena direkomendasikan oleh boygroup Korea Selatan, BTS tapi pada saat itu hanya ada versi hangeul beberapa lama kemudian saya melihat postingan seorang psikiater yang saya ikuti di twitter dan ia diberi tanggung jawab menuliskan kata pengantar pada buku tersebut. Setelah itu tentu saja saya langsung mencari tahu buku yang sudah diproduksi dalam Bahasa Indonesia tersebut. Melihatnya langsung membuat saya sangat senang, awalnya saya berpikir akan membacanya dalam waktu satu hari saja, nyatanyaaa…buku setebal 236 halaman tersebut harus saya baca berha...

CINTA KETINGGALAN KERETA (cerpen)

CINTA KETINGGALAN KERETA Tak terdefinisikan Perasaan yang tak terdifinisikan Kereta melaju semakin cepat nan semakin jauh Meninggalkanku terpuruk di sini Sunyi senyap… tak ada siapa-siapa selain rel kereta ****                 Mentari memasuki celah-celah kamarku, menusuk kulit kuning langsatku tepat di wajahku.                 “hooaaamm” sinar mentari menggantikan alarm yang teronggok di depan kasur                 Pagi yang cerah untuk memulai hari baru, mengukir kenangan dalam sebuah buku tebal pemberian Tuhan. Kuayunkan kakiku menuju kamar mandi dan segera bersiap ke sekolah tercinta bertemu puluhan makhluk ciptaan Tuhan. Sebelumnya perkenalkan aku Diah. Aku kelas dua SMA dan Umurku 15 tahun, tidak, tahun ini akan 16 tahun. Tapi sebelum ta...