Harus kubagi cerita pilu yang mana lagi?
Sudah berkali kubilang cinta sebelum akad itu hanya luluskan luka dan selalu terbukti. Karena raga belum sanggup termiliki. Karena semua masih belum waktunya. Aku hanya ingin sedikit berbagi entah kepada siapa kamu yang membaca atau mungkin kamu sendiri yang selalu kusebut dalam cerita.
Mungkin bisa dimulai dengan inginku miliki kecerdasan syaitan. Mereka sungguh cerdas dengan bumbu-bumbu peracik dalam goda sesatkan umat Rasulullah. Saat diri sanggup tepis satu saja godaannya rasanya telah memenangkan piala tahunan dambaan.
"aku rindu dia. Aku ingin kembali" satu dari sekian godanya. Ya benar aku rindu. Sangat. Tpi tidak untuk kembali. Tidak saat ini.
Aku ternyata masih penuh harap. Aku masih merangkai. Walau kutau aku hanya merajut sendiri. Meski tanpa sadar aku pula yang lepaskan benang itu satu per satu.
Selalu bodoh. Coba buka harapan untuk dia yang sudah tak berharap. Bahkan syaitan lebih cerdas.
Dan lagi. Menunggu.
Menunggu dia lagi dan lagi. Meski tak terucap. Meski bibir kata tak ingin. Sesungguhnya hanya tak ingin berikan harapan namun hati ini 100% menanti.
Tapi diri ini yang injak segalanya hingga tak berbentuk lagi. Aku tahu kamu sudah tahu aku manusia yang tak pernah terkekang siapa pun dalam hal sosial. Aku tahu kamu tak mengekang hanya langkah mu yang takut kehilangan. Aku harap kamu tahu aku sedang berusaha tahu bagaimana tata cara semua akan terlaksana. Kamu harus tahu aku masih belajar bag bayi yang belajar berlajan. Sesekali terjatuh terjerembab dan menangis. Aku bukan tak hargai tapi aku sedang jatuh. Gagal lagi dalam mencoba. Aku butuh uluran tangan dalam bentuk percaya untuk bangkit. Dan sekarang aku tahu aku bisa berdiri tanpa uluran tangan dari yang kuharap. Kamu mungkin tak tahu aku terus mencoba. Jauhi dia. Dia yang tak kamu inginkan. Aku tahu kamu tahu aku dalam tahap belajar. Suka menanya semua jenis manusia meminta suara pikiran mereka. Dan dengan dia tak ada salahnya. Dengan otaknya yang mumpuni. Kamu tak tahu aku senang tahu kamu masih ada rasa itu, dahulu. Bukan kekang tapi takut hilang. Aku mungkin sudah gila.
Namun sekarang, yang kutau kamu hanya benci. Menghirup udara yang sama denganku bahkan mungkin kamu benci. Menatap wajahku mungkin kamu benci. Mendengar suaraku kamu benci. Bukan mungkin lagi tapi memang demikian. Kamu sepertinya tak perlu tahu hati ini tergores lagi. Meski masih mencari tempat goresan yang kosong untuk tidak menerkam luka lama yang belum kering.
Maaf kalau kamu merasa tak kuhargai!
Karena aku merasa kamu tak ternilai.
Untuk orang yang kini membenciku.
Sudah berkali kubilang cinta sebelum akad itu hanya luluskan luka dan selalu terbukti. Karena raga belum sanggup termiliki. Karena semua masih belum waktunya. Aku hanya ingin sedikit berbagi entah kepada siapa kamu yang membaca atau mungkin kamu sendiri yang selalu kusebut dalam cerita.
Mungkin bisa dimulai dengan inginku miliki kecerdasan syaitan. Mereka sungguh cerdas dengan bumbu-bumbu peracik dalam goda sesatkan umat Rasulullah. Saat diri sanggup tepis satu saja godaannya rasanya telah memenangkan piala tahunan dambaan.
"aku rindu dia. Aku ingin kembali" satu dari sekian godanya. Ya benar aku rindu. Sangat. Tpi tidak untuk kembali. Tidak saat ini.
Aku ternyata masih penuh harap. Aku masih merangkai. Walau kutau aku hanya merajut sendiri. Meski tanpa sadar aku pula yang lepaskan benang itu satu per satu.
Selalu bodoh. Coba buka harapan untuk dia yang sudah tak berharap. Bahkan syaitan lebih cerdas.
Dan lagi. Menunggu.
Menunggu dia lagi dan lagi. Meski tak terucap. Meski bibir kata tak ingin. Sesungguhnya hanya tak ingin berikan harapan namun hati ini 100% menanti.
Tapi diri ini yang injak segalanya hingga tak berbentuk lagi. Aku tahu kamu sudah tahu aku manusia yang tak pernah terkekang siapa pun dalam hal sosial. Aku tahu kamu tak mengekang hanya langkah mu yang takut kehilangan. Aku harap kamu tahu aku sedang berusaha tahu bagaimana tata cara semua akan terlaksana. Kamu harus tahu aku masih belajar bag bayi yang belajar berlajan. Sesekali terjatuh terjerembab dan menangis. Aku bukan tak hargai tapi aku sedang jatuh. Gagal lagi dalam mencoba. Aku butuh uluran tangan dalam bentuk percaya untuk bangkit. Dan sekarang aku tahu aku bisa berdiri tanpa uluran tangan dari yang kuharap. Kamu mungkin tak tahu aku terus mencoba. Jauhi dia. Dia yang tak kamu inginkan. Aku tahu kamu tahu aku dalam tahap belajar. Suka menanya semua jenis manusia meminta suara pikiran mereka. Dan dengan dia tak ada salahnya. Dengan otaknya yang mumpuni. Kamu tak tahu aku senang tahu kamu masih ada rasa itu, dahulu. Bukan kekang tapi takut hilang. Aku mungkin sudah gila.
Namun sekarang, yang kutau kamu hanya benci. Menghirup udara yang sama denganku bahkan mungkin kamu benci. Menatap wajahku mungkin kamu benci. Mendengar suaraku kamu benci. Bukan mungkin lagi tapi memang demikian. Kamu sepertinya tak perlu tahu hati ini tergores lagi. Meski masih mencari tempat goresan yang kosong untuk tidak menerkam luka lama yang belum kering.
Maaf kalau kamu merasa tak kuhargai!
Karena aku merasa kamu tak ternilai.
Untuk orang yang kini membenciku.
Komentar
Posting Komentar