Serangan tiba-tiba.
Tak tahu harus kunamakan apa. Sebuah post yang membuatku benar-benar tenggelam oleh tangis "memendam cinta itu sakit" ya benar sekali. Tepat sekali. Sakit. Namun hanya itu yang dapat dijalani. Bahkan dipesan, dipendam pasti sakit maka majulah. Maafkan aku yang menghambat langkahmu. Andai tak teringat tetes keringat kedua orang tuaku, ku beranjak dari sini. Terlalu sakit. Tidak. Kamu juga harus ingat jerih payah ibumu. Dia sendiri. Jangan kau anggap remeh semuanya. Hanya karena kita. Rasa kita. Mari menahannya bersama. Walau tanpa kata. Mungkin bagimu, mudah untukku mengabaikanmu. Aku hanya takut terjatuh di hadapanmu. Menangis lemah di bawah kakimu. Kaki ku seakan tak sanggup topang tubuh ringan ini. Jika tak kupaksa beku. Seperti katamu, memendam itu sakit. Maju? Itu keputusanmu. Doamu dikabulkan? Itu keputusan orang tuaku. Sekarang atau nanti. Kamu hebat. Saat lelaki di luar sana tak sanggup jaga diri mereka tuk pendam rasanya, kamu masih bertahan memendamnya. Terima kasih. Menghargai keputusanku. Tidak menambah godaan bagiku. Maaf. Jika aku hanya berlalu tundukkan pandangan. Aku takut. Takut kelemahan dan kerapuhanku terlihat olehmu. Aku takut setan akan berhasil membujuk kita walau hanya lewat tatap. Aku bangga. Kamu lebih baik dari pertama kali kita saling mengenal. Kamu mengubah dirimu sendiri, ingat itu. Bukan aku, tapi dirimu sendiri. Terima kasih, wahai yang terhebat!
Tak tahu harus kunamakan apa. Sebuah post yang membuatku benar-benar tenggelam oleh tangis "memendam cinta itu sakit" ya benar sekali. Tepat sekali. Sakit. Namun hanya itu yang dapat dijalani. Bahkan dipesan, dipendam pasti sakit maka majulah. Maafkan aku yang menghambat langkahmu. Andai tak teringat tetes keringat kedua orang tuaku, ku beranjak dari sini. Terlalu sakit. Tidak. Kamu juga harus ingat jerih payah ibumu. Dia sendiri. Jangan kau anggap remeh semuanya. Hanya karena kita. Rasa kita. Mari menahannya bersama. Walau tanpa kata. Mungkin bagimu, mudah untukku mengabaikanmu. Aku hanya takut terjatuh di hadapanmu. Menangis lemah di bawah kakimu. Kaki ku seakan tak sanggup topang tubuh ringan ini. Jika tak kupaksa beku. Seperti katamu, memendam itu sakit. Maju? Itu keputusanmu. Doamu dikabulkan? Itu keputusan orang tuaku. Sekarang atau nanti. Kamu hebat. Saat lelaki di luar sana tak sanggup jaga diri mereka tuk pendam rasanya, kamu masih bertahan memendamnya. Terima kasih. Menghargai keputusanku. Tidak menambah godaan bagiku. Maaf. Jika aku hanya berlalu tundukkan pandangan. Aku takut. Takut kelemahan dan kerapuhanku terlihat olehmu. Aku takut setan akan berhasil membujuk kita walau hanya lewat tatap. Aku bangga. Kamu lebih baik dari pertama kali kita saling mengenal. Kamu mengubah dirimu sendiri, ingat itu. Bukan aku, tapi dirimu sendiri. Terima kasih, wahai yang terhebat!
Komentar
Posting Komentar