Aku sarankan kalian
membaca series A, B, C, dan D dulu deh. Ok here we go.
***
“Eidelweis!!”panggil seseorang. Aku yang merasa terpanggil segera
menoleh.
“oh hai Anyelir!”sapaku pada gadis yang saat itu mengenakan baju
kotak-kotak dan celana jeans.
“kamu habis darimana?”tanya
gadis itu.
“biasalah dari…”
“perpus?”
Aku hanya terkekeh
sejenak. Yap betul sekali aku dari perpustakaan.
“kamu gak cape kapa
belajar mulu? Coba rehat sejenak lah. Gak cape apa saingan mulu sama Camelia?
Mau gimana pun kamu tetep juara kok”
“juara di hati kamu haha”ocehku sambil tertawa meski ada pedih di balik tawa
itu.
Camelia adalah saingan ku sedari awal memasuki kampus.
Aku tidak tau mengapa ia begitu berambisi dengan nilai, toh kalau nilainya
buruk pun dia akan tetap kuliah. Aku? Jika nilai ku rendah sedikit saja, aku
bisa ditendang dari kampus ini. Ibuku takkan sanggup menguliahkanku. Yang aku
butuhkan hanya harus terus berada di peringkat satu di angkatanku dan Camelia
adalah pesaing terbesarku. Tapi dari segala sifat ambisnya itu, aku mendengar
Camelia saat ini sedang menjalani perawatan dengan psikolog. Dia terkena
gangguang cemas? Yang benar saja, seorang camelia mengalami gangguan cemas? Apa
sih yang dia cemaskan? Hidupnya baik-baik saja bahkan sangat sempurna lalu
untuk apa dia merasa cemas?
***
Mataku kembali terbelalak pada lengan baju Anyelir
yang tak sengaja tersingkap. Aku buru-buru menarik lengannya, “you did it?”
tanyaku penuh kesal. Ia segera menarik lengannya dan segera menutupinya.
“Cuma di epidermis, semingguan juga ilang kok
bekasnya”aku tak habis pikir apa yang ada di pikiran anak ini sehingga
sanggup melakukan hal yang sangat dibenci Tuhan. Aku ingin berumpah serapah di
depannya dan menceramahinya Panjang lebar tapi setelah aku pikirkan yang keluar
di bibirku hanya..
“kamu bisa cerita sama aku”
“kamu bisa cerita sama aku”
“okay, kapan-kapan aku cerita ya, aku masuk kelas
dulu”ujarnya langsung
melarikan diri dariku.
***
Hari ini aku memasuki kelas genting, satu-satunya
kelas yang aku dan Camelia ambil bersama alias satu-satunya kelas dimana aku
bisa benar-benar bersaing dengannya. Hari ini dosen yang biasanya tidak masuk
dan digantikan dengan asistennya. Aku tidak tahu apakah asisten ini akan
semembosankan dosenku yang sebelumnya atau malah memberikan kelas yang seru.
Sepanjang kelas sih okok saja sampai tiba-tiba ia meminta kami semua
mengeluarkan selembar kertas. Apa ini? Kuis dadakan?
“saya ingin tahu apakah kalian sudah memikirkan
cita-cita kalian atau belum. Kalian sudah semester 5 yah harusnya sudah ada goals
yang ingin kalian tuju”wawa menarik.
Aku pun menuliskan cita-cita ku menjadi seorang
reporter di sebuah stasiun televisi walau aku pun sadar diri itu sangat tidak
mugkin. Untuk menjadi reporter kamu butuh modal muka yang paling utama dan aku
sudah tidak memasuki kriterianya dilihat dari sisi manapun. Kamu butuh relasi
alias orang dalam karena begitu banyaknya saingan tapi peduli apa itu adalah
goalsku, dari SD sampai sekarang. Sebelum janur kuning melengkung aku akan
terus memperjuangkannya. Kemudian kami diminta mengumpulkan kertas tersebut.
Satu per satu dari kami akhirnya menceritakan impian kita well aku merasa
seperti kelas ini menjadi kelas anak TK dimana terdapat kegiatan mengutarakan
cita-cita.
“Camelia?”wah aku tidak sabar mengetahui
keinginan seorang Camelia. Asdos memperlihatkan sebuah kertas kosong melompong
kecuali nama dan nomor mahasiswa.
“saya kak!, saya Camelia”Ia mengacungkan tangan
tanpa ragu kemudian mulai maju ke depan dan merebut kertas miliknya dari asdos
yang tampak begitu terpana. Yeah dia memang cantic dan modis oh yeah aku tau
itu. Aku sungguh tidak ada apa-apannya jika dibandingkan dengannya.
“seperti yang kalian lihat di kertas ini. Kosong.
Saya gak punya cita-cita. Tiap malam saya selalu mikirin mau jadi apa tapi
tetap saja tidak ada yang masuk di list cita-cita saya. Tepat sekali, saya
hidup tanpa arah dan tujuan. Saya memang ambisius tapi itu hanya untuk
menyenangkan hati orang tua saya, untuk tujuan hidup saya ingin memilih sendiri
tapi belum menemukan yang pas. Terima kasih”ia mengucapkan semuanya dengan
begitu lancar dan tertata dengan rapi seolah-olah ia sudah berlatih ribuan kali
mengucapkannya. Seisi kelas dibuat hening, speechless. Seorang jagoan
Angkatan, yang nilainya selalu tinggi yaa setidaknya di atas rata-rata malah
tidak tahu ingin jadi apa? Waw, aku sangat terkejut.
***
“hai!”saat
ini aku sedang berada di perpustakaan sepeti biasanya saat seseorang tiba-tiba
menyapaku. Camelia? Apakah ini nyata? Atau aku hanya bermimpi. Dia tertawa
dengan manis “kenapa sih kayak ngeliat hantu?”tanyanya sambil tertawa
renyah. Aku menoleh ke belakangku, tidak ada siapa-siapa. Aku menunjuk diriku
sendiri “iya, aku bicara sama kamu. Jangan gitu ah, aku kan gak seserem
kuntilanak”jawabnya lagi sambil bercanda. Aku masih tak bisa berkata
apa-apa.
“aku gak nyangka kamu ramah”pita suaraku bergetar tanpa aku minta.
“aku sudah biasa disalahpahami”jawabnya masih dengan senyum mengembang. Baru kali ini
aku melihatnya tersenyum sesering itu. Biasanya ia memasang wajah datar yang
jutek.
“kamu gak serandom itu ngobrol sama orang lain kan?”tanyaku akhirnya.
“hmm iya”
“terus kenapa ngobrol sama aku?”
“hmm…aku Cuma kagum aja sama kamu”what? Kagum? Aku merasa anak ini benar-benar aneh,
pantas dia ke psikolog. “tentang
tujuan hidup kamu tadi. Aku…hidup mengikuti arus tanpa tujuan hidup yang jelas.
Aku juga pengen kayak kamu dan temen-temen yang lainnya bisa nulis Panjang
lebar dengan sngat antusias ketika ditanya cita-citanya apa. Aku bahkan gak
bisa bayangin mau jadi apa aku. Aku ambis gini untuk apa? Menuju kemana? Aku
ngerasa hidup aku kosong kayak ubi kopong haha”tiba-tiba ia curhat. Wah aku
masih tak habis pikir dengan anak ini. Kami hanya seskali bertegur sapa, hari
ini bisa dibilang hari resmi kami saling berbicara dan ia langsung curhat? Aku
pengen banget deh kayak dia yang bisa curhat ke siapa aja sesuka hatinya.
“well… di hidup kita pasti kita punya sesuatu yang
kita senangi dan hal-hal yang buat kita pengen ngelakuinnya terus. Kamu suka
ngapain aja?”tanyaku mulai ikut terbawa arus.
“aku enggak tau,,, aku suka nulis, gambar tapi untuk
apa itu semua. Di kepalaku tidak ada dokter, guru, perawat, pramugari seperti
yang lainnya”
“goals itu kan
gak harus pekerjaan yang kayak gitu. Kamu bisa jadi penulis, kamu bisa jdi
graphic designer”ia tiba-tiba tertawa kecil. Aku jadi merinding dengan anak
aneh ini.
“aku Cuma suka ngelakuin semua itu eidelweis,
banyak orang bisa nulis. Banyak orang bisa gambar. Aku gak ada apa-apanya
dibanding mereka semua. Setitik pun. Aku ngerasa gak bisa jadiin semua itu
goals, hanya sebatas hobi aja.”aku terdiam, tak tahu harus bilang apa. “akhir-akhir
ini aku ke psikolog. Mungkin kamu udah tau, aku mengalami gangguan kecemasan.
Aku cemas banget sama masa depanku. Aku
gatau mau jadi apa sampe gatau mau ngejar apaan. Aku capek jika
mengikuti keinginan orang tuaku lagi. Aku ingin menjalani hidupku sendiri, aku
ingin memilih jalan hidupku sendiri tapi aku takut. Aku takut memilih, apakah
pilihan yang aku ambil udah paling tepat? Gimana kalau aku salah milih? Aku
takut ngadepin dunia. Takut banget. Aku berasa jadi pecundang yang gak bisa
ngadepin kerasnya dunia”ia mulai menitikkan air mata. Camelia yang aku
kenal ternyata serapuh daun-daun musim gugur, ia bungkus rapi dengan sikapnya
yang sedingin es.
“aku juga gatau mau ngomong apa. Tapi gak semua orang
bisa menemukan goalsnya dengan cepat. Mungkin kamu butuh waktu lebih lama lagi
untuk tahu tujuan hidup kamu apa. Mungkin bukan sekarang karena kamu belum
siap, tapi mungkin aja nanti saat kamu sudah mengalami pahit getir kehidupan”aku gatau lagi ngomong apaan, apakah bisa membuat dia
tenang atau membuatnya semakin sedih. Di saat seperti ini aku butuh Anyelirr.
Aku bukan anak psikologi yang ngerti mau ngomong apa tiap orang curhat.
“terima kasih ya Camelia, aku cabut dulu”ia mengatakannya setelah menyeka air matanya kemudian
berdiri dari kursinya. Meninggalkanku terdiam mematung. Begitu saja?
Ternyata kita bener-bener gatau apa aja yang dialami
orang lain. Di luarnya mungkin terlihatkuat tapi nyatanya begitu rapuh. Begitu
pula orang-orang melihat kita. Camelia ngeliat aku enak sudah punya tujuan
hidup, tapi aku pun masih bingung apakah mampu mewujudkannya dengan segala
keterbatasan yang aku punya. Aku selalu ngerasa insecure tiap
deket-deket orang macem Camelia itu. Dia terlalu cantic, terlalu kaya untuk aku
yang biasa-biasa saja. Aku pikir hidupnya sudah sempurna ternyata ia masih
punya banyak kekhawatiran. Kita bener-bener gak bisa ngejudge orang
lain, kita semua punya kekhawatiran kita masing-masing.
Komentar
Posting Komentar