CINTA KETINGGALAN KERETA
Tak terdefinisikan
Perasaan yang tak terdifinisikan
Kereta melaju semakin cepat nan semakin jauh
Meninggalkanku terpuruk di sini
Sunyi senyap… tak ada siapa-siapa selain rel kereta
****
Mentari
memasuki celah-celah kamarku, menusuk kulit kuning langsatku tepat di wajahku.
“hooaaamm”
sinar mentari menggantikan alarm yang teronggok di depan kasur
Pagi
yang cerah untuk memulai hari baru, mengukir kenangan dalam sebuah buku tebal
pemberian Tuhan. Kuayunkan kakiku menuju kamar mandi dan segera bersiap ke
sekolah tercinta bertemu puluhan makhluk ciptaan Tuhan. Sebelumnya perkenalkan
aku Diah. Aku kelas dua SMA dan Umurku 15 tahun, tidak, tahun ini akan 16
tahun. Tapi sebelum tanggal yang ditentukan, umurku masih 15 tahun. Aku ingin
membahas mengenai namaku terlebih dahulu. Lembar pertama buku tebalku. Namaku
aneh dan jujur saja aku tak begitu menyukainya. Bayangkan saja dalam sehari
begitu banyak orang yang menyebut namaku agar tak menyebut nama orang lain.
Contohnya
“tau
gak sih dia itu begini.. begitu.. bla bla” terdengar suara bisik-bisik di bawah
pohon manggis. Tentu yang dimaksud bukan aku, tapi orang lain yang tak ingin ia
sebut namanya.
“Diaaaahh……..cepat
sarapan bentar lagi jam tujuh. Jangan lelet Diaaahh!!” pengganti alarm kedua,
menandakan aku harus segera berangkat sekolah.
***
Di
sekolah indah nan permai, halaman hijau terhampar luas sejauh mata memandang.
Bangunan-bangunan bertingkat berdiri di antaranya. Di dalamnya ratusan manusia
berlalu-lalang bagai kereta api. Langkah pertamaku tepat memasuki sekolah.
Sekolah tercinta saksi bisu lika-liku kehidupanku.
“haayy
Diaahh!!”suara tak asing terdengar di telingaku. Oh dia, kuberbalik dan
tersenyum lebar ke arahnya. Kemudian melangkah lagi.
Sampai
di kelas, aku disambut hiruk pikuk teman sekelasku yang berbicara keras-keras menyeimbangi kerusuhan
itu. Terdengar seperti suara peri-peri
kecil menyanyikan lagu pengantar tidur. Aku memutuskan bergabung dengan sekelompok
cewek yang terlihat serius berbincang-bincang. Aku yakini mereka sedang
membicarakan seseorang, karena itulah kebiasaan keempat cewek tersebut. Geng
Gosip, begitu kami menyebutnya. Terdengar samar-samar suara salah satu di
antara mereka
“jadi,
Ferly lagi Pedekate sama adek kelas itu?”
“iya,
bayangin aja kata Doni, sahabat dekat Ferly, kalau Ferly tiap hari smsan sama
dia, telfon-telfonan, BBMan, dan antar jemput lagi. Rumah mereka kan searah”
tentu kata “dia” itu bukan untukku, tapi untuk orang lain. Aku mendekat.
“haayy..
lagi ngomongin apa sih?” seketika, keempatnya diam.
“gak
kok, kepo deh. Jangan ada yang bilang-bilang”sahut Indah, salah seorang di
antara mereka
Aku
mengernyit “gak usah sok rahasia-rahasiaan deh, aku udah tau kok kalian lagi
ngomongin apa, orang tadi aku denger sendiri”
“hah??
Jadi kamu denger?” mereka menelan ludah.
“Kamu gak papa kan Di? Aku tau kamu gak suka sama Ferly, tapi siapa yang
bisa menjamin waktu tak memberi kamu rasa itu ke dia”katanya lagi. Plakkk!! Aku
seperti ditampar, memutar memori beberapa bulan yang lalu.
***
“kamu
ngerti gak sih Di, aku tuh sayang banget sama kamu. Harusnya kamu sadar itu,
temen-temen juga udah bilang itu ke kamu kan? Terus kamu sok cuek bebek sama
perasaan aku. Pikirin perasaan aku dong Di, aku harus nembak kamu berapa kali
lagi sih? Aku butuh kejelasan”suara Ferly menggema ke seluruh penjuru ruangan.
Sekarang ia tengah berdiri di atas meja guru. Menggumamkan sesuatu yang tidak
jelas tadi.
“kamu
tuh lagi ngomongin apaan sih Fer?? Aku minta kamu turun sekarang! Kamu gak malu
apa?”pintaku
“aku
gak akan turun sebelum kamu jawab
pertanyaan aku”ia tetap memaksa.
Asal
kalian tahu, saat ini Ferly sedang menderita Syndrom perasaan tak
terdefinisikan nomor 11, jatuh cinta pada teman sendiri. Akibat keisengannya,
menjadi perasan nyata. Membuat kelas XI Ilmu Alam 2 menjadi gaduh. Aku sendiri
yang menjadi korbannya tak tahu harus bagaimana. Aku menyukainya sebagai teman.
Tak lebih. Maka kuputuskan,
“berhenti
berlaku kekanak-kanakan gini Fer, kalau kamu minta jawabannya, aku bakalan
jawab sekarang.” Jeda sejenak, semua menarik nafas. “kita temenan, aku, kamu,
semuanya, kita temen. Gak lebih. Kalau kamu gak terima kamu bisa jauhin aku”
jawabku sambil meninggalkan kelas, meninggalkan penduduk ruang bahasa Indonesia
menganga selebar mungkin memandangi punggungku.
***
“wooyy!!
Jangan ngelamun deh! Katanya tadi mau denger gossip”kata Nila, cewek yang lain.
“emang
ada berita terbaru apa sih?” tanyaku dengan penasaran dibuat-buat
“tapi,
jangan cemburu yah. Inget! Kamu sendiri yang udah nolak dia, so jangan marah kalau
Ferly sekarang punya gebetan baru. Adek kelas sih, tapi lumayanlah~”
“oh
yah? Bagus dong! Jadi, dia gak bisa ngangguin aku lagi. Aku turut senang”
BOHONG. Jangan percaya! Semua yang kukatakan ini bohong. Sebuah kebohongan
besar. Aku tak senang.
***
Esok
pagi, aku berangkat ke sekolah tidak seperti biasanya. Hari iini aku lebih
ceria, entah apa penyebabnya. Sampai akhirnya, seseorang mengagetkanku,
“eh,
udah denger berita terbaru belum?”Tanya Linda, salah satu temanku
“gakk,
emang ada apaan sih,? Pak Jamal lagi sakit? Kita gak jadi ulangan Matematika?”
“bukan,
bukan itu. Ini lebih wow lagi. Tau gak sih kemaren, Ferly sama Tia, si adek
kelas gebetannya itu udah jadian. Mana jadiannya so sweet banget lagi. Jadi
kemaren tuh……” dan cerita selanjutnya aku tak mendengarkan lagi. Entah mengapa
telingaku tak berfungsi dengan baik lagi. Sel-sel sarafku tak dapat menerima
rangsangan dan meneruskannya ke otak. Darahku berhenti berdesir, ia membeku,
kurasakan untuk pertama kalinya otot jantungku berteriak kelelahan, dan otot
lurik di hatiku berteriak membutuhkan pertolongan pertama.
Entah
mengapa semua rasa itu timbul saat mendengar berita indah tadi. Merubah segala
suasana, dunia menjadi terbalik 360 derajat. Aku tak mengerti apa yang terjadi.
Kutub utara mencair, dan airnya merebak tak menyisakan sejengkal tanah pun
dalam bumi yang bulat ini. Menenggelamkanku dalam segala rasa bersalah,
menyesal, cemburu. Semua menjadi satu dan tak tertahankan.
Beginikah
rasanya cemburu? Lalu, kemana sajakah aku dahulu? Mengapa aku baru merasa
sakitnya sekarang?? Seperti selalu kata pepatah, penyesalan datang terlambat.
****
Kereta itu kini melaju cepat, aku sadar aku
terlambat. Untuk sepersekian detik, waktuku terbuang. Meninggalkanku mematung
dir el kereta api dengan iler yang masih membasahi wajahku, pohon-pohon
bergetar turut berduka. Aku baru merasakan ditinggalkan kereta, walau awalnya
aku tak ingin naik kereta api, aku ingin sekali naik pesawat. Tapi, setelah
kereta itu melaju pergi meninggalkanku, separuh jiwaku terasa pergi. Aku telah
menyia-nyiakan kereta yang kan membawaku ke kampung halamanku. Aku telah
terlelap begitu lama, terlena dalam alam mimpi.
Komentar
Posting Komentar