BOLOS…Aku baru
mengenal kata itu kemarin. Sungguh menegangkan. Pembuktian selanjutnya tentang
kelambatan otakku bekerja. Aku tak mengerti apa yang aku kerjakan, sampai di
rumah aku baru mengerti bahwa aku telah melakukan pelanggaran sekolah yang
cukup berat. Bolos. Pelanggaran norma susila ternyata, aku dirundung perasaan
bersalah siang malam hingga pagi ini. Entah apa yang akan terjadi denganku hari
ini. Itu masih menjadi misteri. Aku tak begitu takut akan hukuman di sekolah,
yang aku takuti hanyalah jika sekolah memutuskan memanggil orang tuaku. Bisa
mati aku. Bodohnya lagi, aku bolos untuk pelajaran bahasa inggris. Guru yang
kenal baik dengan orang tuaku. Aku juga tak tahu apa yang teman-temanku katakan
mengenai kami-kami yang bolos. Alasan bolos yang sungguh tak masuk akal. Bosan.
Sungguh besar dampak kata itu. Pada apapun.
Dari dulu, aku
selalu merutuki orang-orang yang bolos. Aku pikir sekarang rutukan itu harus
ditujukan kepadaku sendiri. Sekarang, tidak ada gunanya menyesal. Bersiaplah
menyongsong hari berat ini. Gerbang sekolah sungguh menakutkan. Terbuat dari
besi besar dengan api membara di sekelilingnya. Halusinasi. Akibat rasa takut luar
biasa. Seharusnya tadi aku menjalankan rencanaku saja. Pura-pura sakit.
Benar saja,
hari ini teman-temanku sibuk menjelaskan seluruh detail cerita kemarin. Dan
seperti biasa aku tak peduli. Tapi percayalah, dalam hati aku merasa was-was.
Cuek dan tidak peduli hanya sampul semata. Tapi sungguh keajaiban, jam
istirahat telah lewat tapi hukuman yang ditakutkan tak kunjung menghampiri.
Baguslah. Sepertinya Tuhan menerima penyesalanku. Kabar buruk, hukuman tak
perlu didapat dari sekolah. Sekarang aku sedang dihukum, oleh ketua seksi
keamanan.
“Apa sih yang
kamu pikirkan kemarin? Bolos? Benar-benar, aku yang selalu merutuki anak-anak
nakal karena bolos, sekarang temanku sendiri yang bolos” (percayalah, aku juga
merasakan hal yang sama) “kamu sudah gila apa? Untung saja tak ada guru yang
melihat, jadi kamu tidak dihukum. Dan waktumu untuk kabur bagus sekali, jam
sholat. Bagus sekali. Aku kecewa sama kamu, aku pikir selama ini kamu cewek
baik-baik yang gak akan ngelanggar peraturan sekolah sampai seberat itu”oceh
si ketua seksi keamanan ini sambil
berparadoks ria. Sekarang aku dan dia sudah jadi tontonan satu kelas.
“iya, kemarin
aku salah. Khillaf” untuk kali ini masih kujawab dengan santai. Aku kembali
menatap notebookku. Secepat kilat ia
menutup notebook itu. “kamu gila ya?
Kamu mau rusakin ini apa? Kalau mau marah, marah aja. Gak usah sampe ngerusak
barang juga kali.”
“kamu masih
sadar gak sih? Kamu itu udah ngelanggar peraturan sekolah. Pelanggaran berat..”
Tunggu, kenapa dia hanya marah kepadaku? Aku
tak sendiri.
“kok kamu Cuma
marah sama aku? Aku kan gak sendiri. Masih ada windy, Nayla, Nindy, Keysa sama
Feni. Kok kamu ngomelnya sama aku?”aku mulai marah.
“itu bukan
masalahnya sekarang. Yang jadi masalah adalah kenapa kamu sampe bolos? Apa kamu
masih mau ngulangin lagi?”
“bagiku itu
masalah. Kamu langsung datang marah-marah tentang pelanggaran tata tertib. Dan
Cuma sama aku?”
“itu tandanya
aku respek sama kamu. Aku khawatir sama
kamu. Kamu tau gak sih, aksi kamu kemarin itu mengkhawatirkan”
“aku gak bawa
bom waktu ya, ini gak semengkhawatirkan itu. Kamu aja yang melebih-lebihkan.
Jadi, kamu gak respek gitu sama anak-anak lain?”
“aku juga
respek, khawatir. Tapi aku lebih khawatir sama kamu lebih dari yang lain”kali
ini ia mengatakannya dengan wajah memerah. Entah karena marah atau malu. “kamu
keterlaluan. Moral kamu kemana sih? Pancasila kamu kemana? Kenapa tabiat kamu
semakin hari semakin buruk?”
Kehilangan
moral? Pancasila? Tabiat buruk? Aku rasa dia sudah gila. Aku pergi. Sudah tidak
ada gunanya berdebat dengannya. Aku butuh ketenangan. Meski kelas itu telah
tenang namun aku tak nyaman.
“Apa sih yang
ada di pikirannya? Otaknya udah geser apa ya?”entah kenapa mataku mulai
berkaca-kaca. “jangan nangis”kataku
dalam hati.
“Hai Julie!”seru
seseorang di belakangku.
“oh hai Ikmal!”jawabku
sesantai mungkin.
“kamu nangis
ya? Mata kamu merah tuh.”
“dibentak-bentak
sama orang yang disuka itu gak enak ya”kalimat itu tiba-tiba terlontar dari
bibirku. Entah mengapa aku merasa bisa memercayai orang ini. “Dirham, dia tba-tiba
aja datang ke tempat aku dan marah-marah. Aku tahu aku emang udah buat
kesalahan ,tapi bisa kan dia gak usah marah-marah gitu?”. Air mataku mulai
berlinang.
“kalo cowok
marah itu, tandanya dia sayang. Mungkin diam-diam dia juga suka sama kamu”.
Ingin sekali rasanya aku tertawa mendengar kata-kata Ikmal. Suka? Itu gak
mungkin. Selama ini aku yang suka sama dia. Aku yang udah kasih seribu kode ke
dia. Tapi dia tak pernah mengerti.
“emang kamu buat kesalah apa sih? Sampe buat Dirham marah-marah gitu.”lanjutnya.
“aku
bolos”jawabku singkat.
“Bolos?”Ikmal
sudah dalam posisi berdiri. “kamu bolos? Julie, kamu sadar gak sih? Itu
melanggar peraturan sekolah. Aku mungkin bukan murid yang baik, tapi aku gak
pernah bolos”
“kok kamu jadi
marah sama aku sih? Aku kan curhat sama kamu. Tapi kamu malah ikutan marah”
Ikmal sungguh menyebalkan. Tiba-tiba aku merasa Ikmal membawaku ke dalam
pelukannya. Terasa hangat dan nyaman, aku kemudian menangis sejadi-jadinya.
***
Aku
masih diliputi rasa marah. Anak itu selalu bisa mengatur moodku. Dan sekarang dia membuat moodku menjadi begitu buruk. Dari kemarin. Sejak aku tahu dia telah
membolos. Hari ini aku putuskan untuk menasihatinya, tapi aku marah-marah. Dan
sekarang dia marah kepadaku. Mungkin dia akan mengira aku pilih kasih.
Aku
tak tahu dimana tepatnya keberadaan Julie sekarang. Tapi teman-teman sekelasku
yang tadinya berencana ingin membujuk Julie malah berhenti. Mereka mengintip ke
luar kelas. Ada yang di pintu, di jendela, dan lain-lain. Otakku tak dapat
bekerja lagi untuk menghasilkan rasa penasaran. Aku tak peduli. Sampai kudengar
Nindy berkata, “mereka berpelukan”. Aku cepat-cepat meninggalkan tempatku dan
turut bergabung.
Pemandangan
tragis. Aku melihat Julie berpelukan dengan Ikmal. Aku merasakan wajahku memanas.
Darahku mendidih sampai ke ubun-ubun. Aku langsung menyibak kerumunan dan
mendatangi tempat Julie. Sesampai di sana, dengan kasar kutarik tangan Julie.
“kamu
itu apa-apaan sih? Berpelukan di sekolah. Itu melanggar peraturan
sekolah.”semburku. entah mengapa hanya kata itu yang keluar dari bibirku.
“peraturan.
Pelanggaran. Bukankah aku sudah melanggar peraturan sekolah lebih banyak dari
ini?”dengan air mata berlinang, ia mencoba menarik tangannya dari cengkramanku.
Namun, tak akan kulepas.
“Dirham,
kamu menyakitinya”sela Ikmal.
Aku
hanya menatapnya tajam dan segera membawa Julie pergi dari tempat itu.
***
Aku
tak tahu, seberapa benci dia kepadaku. Yang jelas ini keterlaluan. Dengan
tiba-tiba, dia menarik tanganku pergi dari Ikmal. Sekarang, aku tengah duduk di
bangkuku sambil menatap kosong kepada Guru pelajaran Kewarganegaraan. Aku tak
mengerti sehuruf pun dari yang ia katakan. Aku tidak dapat berkonsentrasi. Aku
pikir hal ini akan buruk, mungkin akan melanggar peraturan sekolah lagi. Tidak
berkonsentrasi saat belajar. Mungkin itu pelanggaranku selanjutnya. Maka
kuputuskan untuk menuju UKS.
***
Julie
tiba-tiba ingin masuk UKS. Sepertinya hari ini ia benar-benar tidak sehat.
Entah mengapa aku merasa bersalah,aku merasa turut serta dalam membuat hari
buruk bagi Julie. Maka, kuputuskan akan meminta maaf kepadanya. Setelah
pelajaran usai, kuputuskan menuju UKS.
“Julie,
aku mungkin kasar sama kamu hari ini.
Aku minta maaf!”
***
“Julie, aku
mungkin kasar sama kamu hari ini. Aku
minta maaf!”
Apa yang ia
lakukan sekarang? Minta maaf? Setelah semua yang ia lakukan?
“aku udah
maafin kamu. Sekarang aku mau istirahat, kamu bisa pergi” si Bodoh kembali
muncul. Semudah itu? Aaa~ mengapa aku begitu bodoh? Aku begitu mudah menerima.
Semuanya.
Tiga minggu
berlalu, semuanya kembali seperti biasa. Namun sekarang, tak ada lagi kode, tak
ada lagi curi-curi pandang dan tak ada lagi senyum-senyum sendiri di kelas.
Setelah semua yang terjadi tiga minggu
lalu, tepatnya saat di UKS. Aku berencana untuk mulai menutup hati untuk
Dirham. Untuk sekarang mungkin belum sepenuhnya berhasil. Tapi aku selalu
mencoba.
“Hai Julie!”
suara bass yang kukenal. Ikmal.
“kamu itu aneh
ya, datang di saat-saat tertentu dan gak tau datangnya darimana. Hahah”
Akhir-akhir
ini, aku selalu ditemani Ikmal. Aku merasa nyaman berada di dekatnya dan
menceritakan segala hal kepadanya. Dia bagaikan sesosok Kakak laki-laki yang
selama ini kuidam-idamkan namun tak kumiliki.
***
“gimana masalah
sama Dirham?”
“udah baikan”
“baguslah. Marahan
sama orang yang disuka itu pasti gak enak”
“banget. Tapi… aku
udah buat resolusi baru. Gak suka lagi sama Dirham”
“kenapa?”
“kalo
dipkir-pikir, suka sama temen sekelas sendiri gak enak”
Entah mengapa aku
merasa senang.
“Ikmal, ke kantin
yuk!”kudengar namaku dipanggil.
***
Komentar
Posting Komentar