Anak
baru di Sunshine Shelter hari ini adalah seorang anak berambut ekor kuda dan
tampak masih sangat muda dibandingkan anak-anak gubuk lainnya. Tatapannya
kosong. Benar-benar kosong. Namanya Sabit, yang artinya cahaya. Namun sepertinya
dia tidak bercahaya seperti namanya. Dia cenderung mendung. Mendung yang sangat
pekat, gelap, hitam dan seperti sebentar lagi akan mengguyur seluruh alam
semesta. Anak-anak sunshine shelter berbondong-bondong memandangnya dari
celah-celah dimana mereka bisa melihatnya.
“kira-kira
dia sakit apa?”bisik seorang anak.
“dia
tampak sehat, kecuali jiwanya”balas yang lain dengan berbisik juga.
“jadi
dia sakit jiwa?”timpal seorang anak lagi.
“maksudmu..gila?”tanya
seseorang sambil memiringkan telunjuknya di dahi.
“dia
tampak menyedihkan”balas yang lain.
“mungkin
kita bisa bantu dia”kali ini Binar.
“sepertinya
yang ini sulit”ucap Pelita.
Ting
nong
Suara
jam besar di aula membubarkan anak-anak penasaran itu. Mereka harus kembali ke
aktivitas yang seharusnya. Belajar.
***
Semua
yang ada di sekeliling Sabit terasa asing. Tempat apa lagi ini? Banyak
anak-anak berlalu Lalang dan selalu menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu. Bukan
tatapan aneh seperti yang biasa ia dapatkan, namun tetap saja ia masih harus
berhati-hati. Setiap ada anak yang mendekatinya ia akan beringsut menjauh.
Mencoba menahan diri. Meredam suara tertahan. Hingga suatu hari seseorang
benar-benar membuatnya meledak.
Ketika
Sabit berjalan sendirian di Lorong yang sunyi sambil memfokuskan pandangan ke
lantai yang dingin, tanpa sengaja seseorang berbadan besar menabraknya hingga
badannya yang lemah jatuh tersungkur.
“sorry..sorry
gue gak sengaja”seorang Lelaki bersuara berat. Lelaki itu mengulurkan tangannya
mencoba membantu Sabit. Adrenalin di tubuh Sabit terasa ingin meledak,
berproduksi begitu lancar. Dia bergeming hingga lelaki itu semakin mendekat.
“aaaaaaaaaaa”teriaknya
sekencang mungkin. Sabit tidak ingin mengingat, tapi memori buruk itu terputar
lancar di kepalanya. Kepalanya terasa berdenyut. Dia berkeringat hebat. Membuat
Pekat -lelaki itu- panik setengah mati. Tiba-tiba Lorong dipenuhi grasak grusuk
dari berbagai penjuru.
“Pekat!”teriak
seseorang.
“Pelita,
aku enggak ngapa-ngapain dia”ucap Pekat panik.
Binar
yang juga datang bersama Pelita merasa otaknya diperas untuk bekerja lebih
cepat. Seorang gadis 11 tahun tersungkur dan berteriak seakan pita suaranya
sebentar lagi akan putus sambil menjambak rambutnya. Kedua, pekat berbicara
kepada Pelita padahal yang memanggilnya adalah Binar. Ketiga, sejak kapan Pekat
menggunakan aku-kamu? Oke itu tidak penting sekarang. Sebenarnya apa yang
terjadi dengan bocah manis itu? Seseorang kemudian datang menyibak kerumunan.
Madam Mentari.
“Sabit..
tidak apa-apa. Ayo ikut sama Madam”Madam Mentari mencoba mendekat.
Sabit
masih tampak ketakutan, dia bergetar hebat, matanya menutup erat namun air mata
sudah membanjiri wajahnya. Sekelumit memori laknat itu masih terputar di
kepalanya. Rasanya dia ingin lompat dari Gedung tertinggi negeri agar semua
memori buruk itu pergi. Bagaimana mungkin dia bisa hidup seperti ini? Ada
sesuatu yang menekan dadanya. Rasanya sangat sesak. Sabit sudah berteriak
kencang berkali-kali membuatnya tampak seperti manusia yang benar-benar gila. Kini
dia hanya mampu menggigit bibirnya hingga berdarah. Cukup. Siapapun yang
mengontrol pemutaran memori di otaknya, tolong hentikan. Sabit lelah. Rasanya
begitu menyesakkan dan menyiksa. Kemudian dia jatuh dalam kegelapan.
***
“sumpah
gue shock banget. Kita gak sengaja berbenturan waktu jalan. Gue nunduk ke bawah
ngeliatin lantai terus tiba-tiba aja nabrak orang. Kayaknya gak keras banget
sih benturannya tapi dianya udah jatoh aja. Pas mau gue tolongin, dia kayak gak
mau gitu terus tiba-tiba dia teriak kenceng banget. Kuping gue bisa budek
sumpah tapi gue lebih panik lagi daripada mikirin kuping. Gue gak tau apa-apa
dan gak ngelakuin apa-apa. Sumpah deh”Pekat bercerita panjang lebar tentang
pengalaman mengerikan yang dialaminya tadi.
Pelita
dan Binar diam sejenak. Mencoba menganalisa.
“jangan-jangan
dia ngira kamu mau perkosa dia”ujar Binar asal membuat Pekat melotot padanya.
“mungkin
dia alergi cowok”Pelita ikutan nyeletuk. Membuat Binar dan Pekat bertatapan
kemudian tertawa terbahak-bahak. “ihh aku serius tau. Dia kayak ketakutan gitu.
Apa jangan-jangan dia traumatic?”Pelita kembali menganalisa membuat Binar dan
Pekat diam. Bisa jadi, pikir mereka.
“apa
dia bener ngira dia mau diperkosa ya?”Pekat kembali bertanya-tanya.
“atau
jangan-jangan dia pernah diperkosa”Binar menambahkan.
“terus
dia trauma sama cowok”ujar Pelita sambil melirik Pekat.
“kamu
tau kan aku gak berniat begitu?”tanya Pekat sambil menatap Pelita.
“aku
kan tidak menuduhmu. Aku sepenuhnya percaya dengan ceritamu”jawab Pelita.
“sejak
kapan kamu ber aku-kamu, Pekat?”Binar menyudahi pembicaraan saat itu.
***
Sabit.
11 tahun. Kisah hidup yang tidak seindah Namanya. Post-traumatic stress
disorder. Di usia yang sangat muda Sabit harus menjalani hidup dihantui
memori buruk. Memori yang sangat buruk bagi anak perempuan di usia dini. Memori
yang membuatnya menutup diri dari lingkungannya. Usianya masih terlalu muda
untuk meredam dan mengontrol segala perasaan itu. Ditambah lingkungan yang
selalu menjudge dan memandang dirinya aneh. Semua seolah berkolaborasi
membentuk kehidupan yang kelam bagi Sabit.
Dulu kehidupannya indah, ibunya
bekerja sebagai buruh pabrik namun mereka masih hidup berkecukupan. Ayahnya
mungkin hanya tukang becak namun selalu mengajarkan pada Sabit arti bersyukur. Hidupnya
sempurna walau ia hanya seorang diri tanpa saudara. Kemudian seseorang datang
menghancurkan hidupnya. Seorang bejat dan penjahat kelamin. Seseorang yang
sungguh menjijikkan dan membuat Sabit juga jijik akan dirinya sendiri. Kala itu
usianya 6 menuju 7 tahun, masih belum mengenal banyak hal. Namun seseorang yang
kamu kenal karena hampir setiap hari kamu melihatnya melakukan hal tidak
senonoh disertai kekerasan. Semua itu terjadi hanya tepat di samping rumahmu
sendiri, di rumah sebelah. Itulah yang dirasakan Sabit kecil. Awalnya dia tidak
tahu menahu ketika orang tersebut mulai menggerayangi tubuhnya, mulai memegang bagian-bagian
yang tidak seharusnya, dia hanya menerima semuanya. Tidak tahu apa yang
sebenarnya terjadi. Hal tersebut terjadi beberapa kali hingga ketika usianya
cukup 7 tahun dia mulai menyadari beberapa hal. Bahwa hal tersebut tidak
seharusnya terjadi, dia akhirnya menyadari bahwa hal tersebut merupakan
pelecehan seksual. Akhirnya Sabit menolak untuk pertama kalinya dan merasa
jijik pada dirinya sendiri yang pernah diperlakukan seperti itu. Babak baru
akhirnya tercipta, terjadi pergulatan dan orang tersebut akhirnya menggunakan
kekerasan, Perlakuan kasar yang ia dapat di usia muda ditambah pelecehan-pelecehan
yang ia terima membuat syarafnya tidak berjalan normal lagi sejak saat itu. Dia
terluka, tubuhnya lebam sana sini dan dia ditinggal begitu saja tanpa busana. Sejak
saat itu Sabit tidak pernah keluar rumah lagi.
Awalnya dengan otak polosnya dia masih
berani keluar ke sekolah namun setelah berita memalukan dan tatapan jijik dari
orang-orang kepadanya membuatnya tidak tahan lagi. Sabit tidak ingin mengingat
tapi setiap detik dari memori itu selalu berputar dalam kepalanya diwarnai
dengan tatapan aneh dari orang-orang di sekitarnya. Tidak tahukah mereka? Sabit
yang tersakiti di sini. Sabit juga tidak ingin hal tersebut terjadi padanya. Tanpa
perlu tatapan jijik dari mereka pun, Sabit sudah merasa jijik pada dirinya
sendiri. Mereka menghakimi Sabit. Mereka terlalu focus pada Sabit, seorang
bocah yang dilecehkan secara seksual dan mendapat tindak kekerasan. Mereka
melupakan si pedofil laknat yang dengan bebasnya menghirup udara segar di luar
sana, masih bisa tertawa bahagia tanpa rasa bersalah telah menghancurkan hidup
seorang anak yang seharusnya masih memiliki masa depan yang panjang. Masa depan
kini hanya angan-angan, masa depan Sabit sudah direnggut manusia bejat itu. Dia
tidak mendapatkan apa yang Sabit dapatkan. Dia hidup bahagia sedangkan Sabit hidup sengsara. Dia melanjutkan
hidupnya sedangkan Sabit berjuang untuk tidak mengakhiri hidupnya. Dia tertawa
bahagia bersama temannya sedangkan Sabit menjadi manusia terasing dan terlalu
menjijikkan untuk disentuh, walau sekadar diajak berbicara. Dia melupakan semua
yang terjadi seiring nafsunya yang terpuaskan sedangkan Sabit tidak pernah bisa
melepaskan memori busuk itu. Dunia sangat tidak adil. Sabit adalah korban yang
beralih menjadi tersangka, tersangka untuk hidupnya sendiri. Nyatanya dia yang
terpenjara.
Belum selesai sampai di situ, seluruh
lapisan bumi dan seisinya sepertinya memang bekerja sama mengancurkan Sabit.
Ibunya meninggal setahun kemudian. Istri yang telah mati yang berarti
penghasilan keluarga juga terkuras, anak yang gila dan reputasi yang memalukan
membuat ayah Sabit stress berat. Dia kemudian berubah menjadi seseorang yang
tidak Sabit kenal. Setiap malam ia pulang dalam keadaan mabuk. Setiap hari
mereka tidak punya apapun untuk dimakan. Persetan dengan semua itu, toh Sabit
juga tidak pernah merasa lapar lagi. Selanjutnya adalah memori terburuk dalam
jejak hitam hidup Sabit. Dia tidak ingin mengingat lagi.
***
Hari itu adalah hari Sabtu, tepatnya
jadwal bertemu dengan psikiater. Pelita percaya di balik hidup setiap orang
terdapat jiwa yang kurang sehat. Seberapa besar pun ia akan mengelak. Bahkan
seorang seceria Binar pun tidak menutup kemungkinan memiliki kepingan hitam
dalam dirinya. Karena itulah madam Mentari mendatangkan psikiater ke Sunshine
Shelter setiap minggu.
“aku penasaran apa yang dokter Joe katakan
terntang dia”kata Binar sambil menunjuk Sabit dengan dagunya.
“dia sakit Binar. Lo tau itu”kali ini
Pekat menjawab.
“kenapa kalian tidak membantunya?”tanya
Pendar. Walau tidak tinggal di sunshine shelter lagi, Pendar tidak pernah melewatkan
jadwal bertemu psikiater.
“dia sulit sekali”ucap Pelita.
“gue juga dulunya terasa tidak mungkin. But
see? gue bisa hidup lebih baik sekarang”ucap Pendar bersemangat. Ketiga
temannya menatapnya.
“kali ini beda”ucap Pelita lagi sambil
memandangi Sabit. “dia tidak ingin didekati siapapun. Dia seperti trauma kepada
semua orang. Dia membenci orang lain”lanjutnya.
“kalian pikir gue dulunya mau dideketin
sama orang lain? Kalian pikir gue gak benci orang lain?”tanya Pendar retorik
membuat ketiganya terdiam “kalau bukan karena Lentera…”Pendar kemudian
menghentikan ucapannya melihat perubahan di wajah teman-temannya terutama di
wajah Pelita “sorry maksud gue..”dia mencoba memperbaiki suasana namun
sepertinya sulit sekali.
“besok Minggu yang artinya libur. Ketemu
sama Lentera yuk! Sudah lama kita tidak ke sana”ucap Pelita berusaha ceria.
“sepulang gereja gue nyusul”kata Pendar
masih canggung.
“titip salam buat Lentera yah”ucap Pekat.
“kamu gak pernah jengukin Lentera. Kamu
gak bakal kenapa-kenapa kalau keluar dari sini Pekat”ujar Binar.
“Lentera bakal sedih kalau kamu tidak ikut
lagi”ucap Pelita.
“oh baiklah. Gue Cuma belum siap nemuin
Lentera dalam bentuk lain”
“dia ada, pekat. Hanya saja kamu Cuma bisa
liat makamnya”tutup Pelita.
***
Minggu ini seperti biasa dr Joe akan pergi
bertemu anak-anak manis dan luar biasa di Sunshine Shelter. Tempat mengabdi
favoritenya. Setiap hari Sabtu dr Joe akan berbelanja aneka mainan meskipun
sebagian besar dari mereka bukan anak usia taman kanak-kanak lagi tapi dr Joe masih
melihat mereka sebagai anak-anak tangguh yang hidupnya diberkati keistimewaan.
Kabarnya seorang anak baru telah datang lagi di tempat itu. Seorang anak yang
sepertinya harus membutuhkan kerja ekstra darinya. Selama ini dia hanya datang
setiap minggu karena anak-anak itu tidak memiliki masalah yang terlalu serius
dengan kejiwaannya. Mereka hanya butuh konseling setiap minggu, tidak ada yang
membutuhkan terapi intens. Meski seorang anak bernama Kirana sering mengganggu
pikirannya. Seorang penderita histrionic. Minggu ini dia akan melihat
perkembangan anak itu dan memutuskan dia butuh terapi atau tidak. Bukan perkara
mudah sebenarnya. Gangguan yang dialaminya terlalu rumit diselesaikan secara
medis. Dibutuhkan keinginan dari penderita itu sendiri untuk sembuh, meski
hampir semua masalah gangguan mental harus dimulai dari keinginan penderita itu
sendiri tapi kasus yang ini berbeda. Mereka terkadang tidak menyadarinya dan
kemungkinan besar akan menolak dengan keras diagnose tersebut. Di lain sisi,
gangguan ini akan mengganggu penderita dalam berhubungan social. Dr Joe merasa
butuh seorang malaikat untuk menerima segala tindak tanduk penderita histrionic
itu sendiri dan tentunya akan menjadi boomerang bagi penderita. Dia akan lebih
tersakiti dan akan lebih menderita.
Dr Joe tidak sabar untuk bertemu dengan
seorang anak baru yang kabarnya bernama Sabit. Post-traumatic stress
disorder, kata Madame Mentari. Meski belum menerima pemeriksaan yang intens
tapi dr Joe tidak pernah meragukan diagnose Madam Mentari. Hari ini mari kita
lihat.
***
Sesi minggu ini berjalan lancar
seperti biasanya. Binar yang selalu berbinar meski memiliki beberapa titik
kelam, Pelita si pesimis yang sepertinya mulai membaik dengan kehadiran
teman-temannya dan juga energi positif dari Binar, Pekat yang konsisten sejak
awal, dingin, cuek dan tidak banyak bicara bahkan setelah pertemuan yang sudah
berpuluh-puluh kali, dia anak yang sangat keras. Dan Pendar, dia bahkan
melebihi ekspektasi siapapun, dia berubah, sangat berubah, seorang anak kasar
yang terlalu malas buka mulut sudah bertransformasi menjadi anak yang lebih
ceria meski gaya bicaranya tidak berubah. Kirana yang sepertinya benar-benar akan
dr Joe pindahtempatkan ke suatu rumah sakit. Dr Joe sengaja menaruh Sabit di
bagian paling terakhir. Dia ingin memiliki waktu lebih banyak dengan anak baru
itu.
Tiba giliran Sabit. Dia dituntun
oleh seorang pengasuh di Sunshine Shelter. Tatapannya kosong. Benar-benar
kosong. Wajahnya datar. Seakan-akan ruhnya sudah pergi meninggalkan raganya.
Mendengar cerita masa lalunya begitu kelam serta tak ada perawatan medis yang
ia dapatkan membuat dr Joe mahfum dengan kondisi anak itu.
“halo Sabit. Perkenalkan saya Joe.
Bagaimana kabarmu hari ini?”sapa dr Joe ceria dan dia tau dengan pasti bahwa
Sabit tidak akan menjawabnya. Sabit tidak mengalihkan tatapannya. Dia masih
beku.
“saya tahu ini sulit buatmu tapi
saya ingin membantumu, setidaknya izinkan jiwamu mendengarkanku”lanjutnya. Dr
Joe merasa harus berhati-hati untuk setiap gerakannya. Dia trauma pada lelaki
dan dr Joe sangat paham akan itu. Sangat wajar. Dr Joe mengamati lamat-lamat
wajah bundar nan lucu itu. Bagaimana seonggok daging yang menyebut dirinya
manusia tega melakukan hal bejat pada gadis sepolos ini? Di usia yang terlalu
dini. Lalu bagaimana mungkin seorang yang menyumbangkan gennya tega melakukan
hal di luar nalar pada gadis yang dia panggil anak? Dunia tentu sudah berubah,
dunia sudah sangat kejam.
Akhirnya sesi hanya diisi dengan dr Joe
yang berbicara terus menerus untuk menarik perhatian Sabit. Setelah beberapa lama,
Sabit akhirnya diantar keluar. Ibarat penyakit kanker, dia sudah stadium akhir.
Dia bahkan tidak mengizinkan dirinya untuk ditolong lagi. Sepertinya dia harus
ikut dengan Kirana. Saat mengantar Sabit keluar ruangan, dr Joe mendapati
Pelita, Binar, Pekat dan Pendar masih duduk di kursi tunggu di depan ruangan.
Setelah Sabit sudah dalam jarak aman mereka dengan segera mendatangi dr Joe.
“dr Joe dia kenapa?”Binar memulai
pertanyaan. Pertanyaan yang sangat polos.
“dia sakit”jawab dr Joe singkat.
“sakit apa?”tanya Pelita
“Post-traumatic stress disorder”
“itu maksudnya apa dok? Gila?”tanya
Pendar. Ekspresi wajah dr Joe berubah. “emm..maksud aku..gangguan
kejiwaan?”ekspresi dokter Joe belum berubah. Oh yeah, Pendar bodoh. Sejak awal
pertemuan dr Joe sudah menekankan kepada mereka semua bahwa tidak semua orang
dengan gangguan mental dapat disebut gila. Itu adalah stigma masyarakat yang
harus segera dihapuskan. Gangguan mental berupa banyak jenis, depresi, bipolar,
bahkan narsisme juga gangguan mental. Dan mereka tidak disebut gila, mereka
bukan orang gila. Sama seperti mereka-mereka ini, mereka kanker, tumor,
gangguan organ tapi tidak disebut orang-yang-sebentar-lagi-akan-mati. Karena
mereka sama-sama berbeda dari manusia-yang-terlihat-normal pada umumnya sehingga
harus lebih saling memahami. Mereka hanya berbeda sasaran gangguan. Stigma
buruk seperti kata ‘orang gila’ bukan diucapkan oleh orang yang baik.
“maaf dok”akhirnya hanya itu yang keluar
dari mulut Pendar.
“lain kali jangan diulangi”ucap dr Joe
“apa yang Sabit rasakan tidak pernah ada di dalam nalar kalian, kalian mungkin
hanya melihatnya sebagai orang yang aneh atau bahkan ORANG GILA…”dr Joe menekan
pada kata ‘orang gila’ dan melihat Pendar yang langsung menunduk “…tapi di
balik itu ada alasan dan ada cerita. Dia
pernah berjuang keras untuk dirinya sendiri, namun karena dia sendiri dan
lawannya terlalu banyak dalam hal ini masa lalunya yang buruk, stigma masyakat,
ejekan dan segala bentuk hal buruk yang diterimanya akhirnya dia kalah. Sabit
kalah, karena dia sendirian. Dia masih terlalu kecil untuk berjuang sendirian
melawan kejahatan yang begitu banyak dan bertubi-tubi, akhirnya dia tumbang.
Jiwanya meninggalkannya. Jika Pendar akan merasakan sakit luar biasa ketika
Jantungnya kesakitan maka Sabit sudah tidak bisa merasanya lagi. Kalian
berjuang untuk sesuatu yang berbeda-beda, tapi sebenarnya sama. Disesuaikan
dengan level kalian masing-masing”
“jadi Sabit butuh teman?”pertanyaan tak
terduga dari Binar. Membuat dr Joe terdiam, mungkin Sabit tidak butuh ikut
dengan Kirana.
“ya kalian makhluk social. Suka atau tidak
suka, kalian memang harus berteman. Mungkin dokter akan butuh banyak bantuan
kalian. Tetap jaga kesehatan ya”tandas dr Joe sambil mengurai senyum lebar. Mulai
besok, sesi psikiatri di sunhine shelter akan berjalan setiap hari.
***
Setahun setelah ditinggal ibunya,
hidup Sabit dan ayahnya terlunta-lunta. Kadang makan kadang tidak. Ayahnya juga
kadang kalah berjudi. Hingga pada usia 9 tahun, Sabit didandani ayahnya dan
dibawa keluar rumah. Sabit tidak menolak, dia sudah terlalu Lelah dengan
hidupnya. Ternyata ayahnya membawanya ke tempat Pekerja Seks Komersial. Sabit
dia jadikan tumbal. Toh dia juga sudah rusak, sudah tidak suci lagi, begitu
pemikiran ayahnya kala itu. Sabit dibawa ke kamar kemudian sesaat kemudian
lelaki berusia sekitar 40 tahun datang menemuinya. Sabit kembali terguncang.
Kehadiran lelaki asing dan ingin melakukan yang tidak-tidak padanya memberikan
sinyalir ke otaknya yang sudah lama tidak bekerja. Dia akhirnya hanya bisa berteriak
seperti orang kesetanan. Setelah kejadian itu Sabit makin hancur. Dia mendekam
di kamar seperti orang ketakutan. Bertahun-tahun. Sebelum dia dipertemukan
dengan Sunshine Shelter.
***
Kamu adalah cahaya yang dipadamkan oleh
orang-orang di sekitarmu dengan cara yang kejam.
-Madame Mentari
Komentar
Posting Komentar