Langsung ke konten utama

S A B I T



            Anak baru di Sunshine Shelter hari ini adalah seorang anak berambut ekor kuda dan tampak masih sangat muda dibandingkan anak-anak gubuk lainnya. Tatapannya kosong. Benar-benar kosong. Namanya Sabit, yang artinya cahaya. Namun sepertinya dia tidak bercahaya seperti namanya. Dia cenderung mendung. Mendung yang sangat pekat, gelap, hitam dan seperti sebentar lagi akan mengguyur seluruh alam semesta. Anak-anak sunshine shelter berbondong-bondong memandangnya dari celah-celah dimana mereka bisa melihatnya.
            “kira-kira dia sakit apa?”bisik seorang anak.
            “dia tampak sehat, kecuali jiwanya”balas yang lain dengan berbisik juga.
            “jadi dia sakit jiwa?”timpal seorang anak lagi.
            “maksudmu..gila?”tanya seseorang sambil memiringkan telunjuknya di dahi.
            “dia tampak menyedihkan”balas yang lain.
            “mungkin kita bisa bantu dia”kali ini Binar.
            “sepertinya yang ini sulit”ucap Pelita.
            Ting nong
            Suara jam besar di aula membubarkan anak-anak penasaran itu. Mereka harus kembali ke aktivitas yang seharusnya. Belajar.
***
            Semua yang ada di sekeliling Sabit terasa asing. Tempat apa lagi ini? Banyak anak-anak berlalu Lalang dan selalu menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu. Bukan tatapan aneh seperti yang biasa ia dapatkan, namun tetap saja ia masih harus berhati-hati. Setiap ada anak yang mendekatinya ia akan beringsut menjauh. Mencoba menahan diri. Meredam suara tertahan. Hingga suatu hari seseorang benar-benar membuatnya meledak.
            Ketika Sabit berjalan sendirian di Lorong yang sunyi sambil memfokuskan pandangan ke lantai yang dingin, tanpa sengaja seseorang berbadan besar menabraknya hingga badannya yang lemah jatuh tersungkur.
            “sorry..sorry gue gak sengaja”seorang Lelaki bersuara berat. Lelaki itu mengulurkan tangannya mencoba membantu Sabit. Adrenalin di tubuh Sabit terasa ingin meledak, berproduksi begitu lancar. Dia bergeming hingga lelaki itu semakin mendekat.
            “aaaaaaaaaaa”teriaknya sekencang mungkin. Sabit tidak ingin mengingat, tapi memori buruk itu terputar lancar di kepalanya. Kepalanya terasa berdenyut. Dia berkeringat hebat. Membuat Pekat -lelaki itu- panik setengah mati. Tiba-tiba Lorong dipenuhi grasak grusuk dari berbagai penjuru.
            “Pekat!”teriak seseorang.
            “Pelita, aku enggak ngapa-ngapain dia”ucap Pekat panik.
            Binar yang juga datang bersama Pelita merasa otaknya diperas untuk bekerja lebih cepat. Seorang gadis 11 tahun tersungkur dan berteriak seakan pita suaranya sebentar lagi akan putus sambil menjambak rambutnya. Kedua, pekat berbicara kepada Pelita padahal yang memanggilnya adalah Binar. Ketiga, sejak kapan Pekat menggunakan aku-kamu? Oke itu tidak penting sekarang. Sebenarnya apa yang terjadi dengan bocah manis itu? Seseorang kemudian datang menyibak kerumunan. Madam Mentari.
            “Sabit.. tidak apa-apa. Ayo ikut sama Madam”Madam Mentari mencoba mendekat.
            Sabit masih tampak ketakutan, dia bergetar hebat, matanya menutup erat namun air mata sudah membanjiri wajahnya. Sekelumit memori laknat itu masih terputar di kepalanya. Rasanya dia ingin lompat dari Gedung tertinggi negeri agar semua memori buruk itu pergi. Bagaimana mungkin dia bisa hidup seperti ini? Ada sesuatu yang menekan dadanya. Rasanya sangat sesak. Sabit sudah berteriak kencang berkali-kali membuatnya tampak seperti manusia yang benar-benar gila. Kini dia hanya mampu menggigit bibirnya hingga berdarah. Cukup. Siapapun yang mengontrol pemutaran memori di otaknya, tolong hentikan. Sabit lelah. Rasanya begitu menyesakkan dan menyiksa. Kemudian dia jatuh dalam kegelapan.
***
            “sumpah gue shock banget. Kita gak sengaja berbenturan waktu jalan. Gue nunduk ke bawah ngeliatin lantai terus tiba-tiba aja nabrak orang. Kayaknya gak keras banget sih benturannya tapi dianya udah jatoh aja. Pas mau gue tolongin, dia kayak gak mau gitu terus tiba-tiba dia teriak kenceng banget. Kuping gue bisa budek sumpah tapi gue lebih panik lagi daripada mikirin kuping. Gue gak tau apa-apa dan gak ngelakuin apa-apa. Sumpah deh”Pekat bercerita panjang lebar tentang pengalaman mengerikan yang dialaminya tadi.
            Pelita dan Binar diam sejenak. Mencoba menganalisa.
            “jangan-jangan dia ngira kamu mau perkosa dia”ujar Binar asal membuat Pekat melotot padanya.
            “mungkin dia alergi cowok”Pelita ikutan nyeletuk. Membuat Binar dan Pekat bertatapan kemudian tertawa terbahak-bahak. “ihh aku serius tau. Dia kayak ketakutan gitu. Apa jangan-jangan dia traumatic?”Pelita kembali menganalisa membuat Binar dan Pekat diam. Bisa jadi, pikir mereka.
            “apa dia bener ngira dia mau diperkosa ya?”Pekat kembali bertanya-tanya.
            “atau jangan-jangan dia pernah diperkosa”Binar menambahkan.
            “terus dia trauma sama cowok”ujar Pelita sambil melirik Pekat.
            “kamu tau kan aku gak berniat begitu?”tanya Pekat sambil menatap Pelita.
            “aku kan tidak menuduhmu. Aku sepenuhnya percaya dengan ceritamu”jawab Pelita.
            “sejak kapan kamu ber aku-kamu, Pekat?”Binar menyudahi pembicaraan saat itu.
***
            Sabit. 11 tahun. Kisah hidup yang tidak seindah Namanya. Post-traumatic stress disorder. Di usia yang sangat muda Sabit harus menjalani hidup dihantui memori buruk. Memori yang sangat buruk bagi anak perempuan di usia dini. Memori yang membuatnya menutup diri dari lingkungannya. Usianya masih terlalu muda untuk meredam dan mengontrol segala perasaan itu. Ditambah lingkungan yang selalu menjudge dan memandang dirinya aneh. Semua seolah berkolaborasi membentuk kehidupan yang kelam bagi Sabit.
            Dulu kehidupannya indah, ibunya bekerja sebagai buruh pabrik namun mereka masih hidup berkecukupan. Ayahnya mungkin hanya tukang becak namun selalu mengajarkan pada Sabit arti bersyukur. Hidupnya sempurna walau ia hanya seorang diri tanpa saudara. Kemudian seseorang datang menghancurkan hidupnya. Seorang bejat dan penjahat kelamin. Seseorang yang sungguh menjijikkan dan membuat Sabit juga jijik akan dirinya sendiri. Kala itu usianya 6 menuju 7 tahun, masih belum mengenal banyak hal. Namun seseorang yang kamu kenal karena hampir setiap hari kamu melihatnya melakukan hal tidak senonoh disertai kekerasan. Semua itu terjadi hanya tepat di samping rumahmu sendiri, di rumah sebelah. Itulah yang dirasakan Sabit kecil. Awalnya dia tidak tahu menahu ketika orang tersebut mulai menggerayangi tubuhnya, mulai memegang bagian-bagian yang tidak seharusnya, dia hanya menerima semuanya. Tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Hal tersebut terjadi beberapa kali hingga ketika usianya cukup 7 tahun dia mulai menyadari beberapa hal. Bahwa hal tersebut tidak seharusnya terjadi, dia akhirnya menyadari bahwa hal tersebut merupakan pelecehan seksual. Akhirnya Sabit menolak untuk pertama kalinya dan merasa jijik pada dirinya sendiri yang pernah diperlakukan seperti itu. Babak baru akhirnya tercipta, terjadi pergulatan dan orang tersebut akhirnya menggunakan kekerasan, Perlakuan kasar yang ia dapat di usia muda ditambah pelecehan-pelecehan yang ia terima membuat syarafnya tidak berjalan normal lagi sejak saat itu. Dia terluka, tubuhnya lebam sana sini dan dia ditinggal begitu saja tanpa busana. Sejak saat itu Sabit tidak pernah keluar rumah lagi.
Awalnya dengan otak polosnya dia masih berani keluar ke sekolah namun setelah berita memalukan dan tatapan jijik dari orang-orang kepadanya membuatnya tidak tahan lagi. Sabit tidak ingin mengingat tapi setiap detik dari memori itu selalu berputar dalam kepalanya diwarnai dengan tatapan aneh dari orang-orang di sekitarnya. Tidak tahukah mereka? Sabit yang tersakiti di sini. Sabit juga tidak ingin hal tersebut terjadi padanya. Tanpa perlu tatapan jijik dari mereka pun, Sabit sudah merasa jijik pada dirinya sendiri. Mereka menghakimi Sabit. Mereka terlalu focus pada Sabit, seorang bocah yang dilecehkan secara seksual dan mendapat tindak kekerasan. Mereka melupakan si pedofil laknat yang dengan bebasnya menghirup udara segar di luar sana, masih bisa tertawa bahagia tanpa rasa bersalah telah menghancurkan hidup seorang anak yang seharusnya masih memiliki masa depan yang panjang. Masa depan kini hanya angan-angan, masa depan Sabit sudah direnggut manusia bejat itu. Dia tidak mendapatkan apa yang Sabit dapatkan. Dia hidup bahagia sedangkan  Sabit hidup sengsara. Dia melanjutkan hidupnya sedangkan Sabit berjuang untuk tidak mengakhiri hidupnya. Dia tertawa bahagia bersama temannya sedangkan Sabit menjadi manusia terasing dan terlalu menjijikkan untuk disentuh, walau sekadar diajak berbicara. Dia melupakan semua yang terjadi seiring nafsunya yang terpuaskan sedangkan Sabit tidak pernah bisa melepaskan memori busuk itu. Dunia sangat tidak adil. Sabit adalah korban yang beralih menjadi tersangka, tersangka untuk hidupnya sendiri. Nyatanya dia yang terpenjara.
Belum selesai sampai di situ, seluruh lapisan bumi dan seisinya sepertinya memang bekerja sama mengancurkan Sabit. Ibunya meninggal setahun kemudian. Istri yang telah mati yang berarti penghasilan keluarga juga terkuras, anak yang gila dan reputasi yang memalukan membuat ayah Sabit stress berat. Dia kemudian berubah menjadi seseorang yang tidak Sabit kenal. Setiap malam ia pulang dalam keadaan mabuk. Setiap hari mereka tidak punya apapun untuk dimakan. Persetan dengan semua itu, toh Sabit juga tidak pernah merasa lapar lagi. Selanjutnya adalah memori terburuk dalam jejak hitam hidup Sabit. Dia tidak ingin mengingat lagi.
***
Hari itu adalah hari Sabtu, tepatnya jadwal bertemu dengan psikiater. Pelita percaya di balik hidup setiap orang terdapat jiwa yang kurang sehat. Seberapa besar pun ia akan mengelak. Bahkan seorang seceria Binar pun tidak menutup kemungkinan memiliki kepingan hitam dalam dirinya. Karena itulah madam Mentari mendatangkan psikiater ke Sunshine Shelter setiap minggu.
“aku penasaran apa yang dokter Joe katakan terntang dia”kata Binar sambil menunjuk Sabit dengan dagunya.
“dia sakit Binar. Lo tau itu”kali ini Pekat menjawab.
“kenapa kalian tidak membantunya?”tanya Pendar. Walau tidak tinggal di sunshine shelter lagi, Pendar tidak pernah melewatkan jadwal bertemu psikiater.
“dia sulit sekali”ucap Pelita.
“gue juga dulunya terasa tidak mungkin. But see? gue bisa hidup lebih baik sekarang”ucap Pendar bersemangat. Ketiga temannya menatapnya.
“kali ini beda”ucap Pelita lagi sambil memandangi Sabit. “dia tidak ingin didekati siapapun. Dia seperti trauma kepada semua orang. Dia membenci orang lain”lanjutnya.
“kalian pikir gue dulunya mau dideketin sama orang lain? Kalian pikir gue gak benci orang lain?”tanya Pendar retorik membuat ketiganya terdiam “kalau bukan karena Lentera…”Pendar kemudian menghentikan ucapannya melihat perubahan di wajah teman-temannya terutama di wajah Pelita “sorry maksud gue..”dia mencoba memperbaiki suasana namun sepertinya sulit sekali.
“besok Minggu yang artinya libur. Ketemu sama Lentera yuk! Sudah lama kita tidak ke sana”ucap Pelita berusaha ceria.
“sepulang gereja gue nyusul”kata Pendar masih canggung.
“titip salam buat Lentera yah”ucap Pekat.
“kamu gak pernah jengukin Lentera. Kamu gak bakal kenapa-kenapa kalau keluar dari sini Pekat”ujar Binar.
“Lentera bakal sedih kalau kamu tidak ikut lagi”ucap Pelita.
“oh baiklah. Gue Cuma belum siap nemuin Lentera dalam bentuk lain”
“dia ada, pekat. Hanya saja kamu Cuma bisa liat makamnya”tutup Pelita.
***
Minggu ini seperti biasa dr Joe akan pergi bertemu anak-anak manis dan luar biasa di Sunshine Shelter. Tempat mengabdi favoritenya. Setiap hari Sabtu dr Joe akan berbelanja aneka mainan meskipun sebagian besar dari mereka bukan anak usia taman kanak-kanak lagi tapi dr Joe masih melihat mereka sebagai anak-anak tangguh yang hidupnya diberkati keistimewaan. Kabarnya seorang anak baru telah datang lagi di tempat itu. Seorang anak yang sepertinya harus membutuhkan kerja ekstra darinya. Selama ini dia hanya datang setiap minggu karena anak-anak itu tidak memiliki masalah yang terlalu serius dengan kejiwaannya. Mereka hanya butuh konseling setiap minggu, tidak ada yang membutuhkan terapi intens. Meski seorang anak bernama Kirana sering mengganggu pikirannya. Seorang penderita histrionic. Minggu ini dia akan melihat perkembangan anak itu dan memutuskan dia butuh terapi atau tidak. Bukan perkara mudah sebenarnya. Gangguan yang dialaminya terlalu rumit diselesaikan secara medis. Dibutuhkan keinginan dari penderita itu sendiri untuk sembuh, meski hampir semua masalah gangguan mental harus dimulai dari keinginan penderita itu sendiri tapi kasus yang ini berbeda. Mereka terkadang tidak menyadarinya dan kemungkinan besar akan menolak dengan keras diagnose tersebut. Di lain sisi, gangguan ini akan mengganggu penderita dalam berhubungan social. Dr Joe merasa butuh seorang malaikat untuk menerima segala tindak tanduk penderita histrionic itu sendiri dan tentunya akan menjadi boomerang bagi penderita. Dia akan lebih tersakiti dan akan lebih menderita.
Dr Joe tidak sabar untuk bertemu dengan seorang anak baru yang kabarnya bernama Sabit. Post-traumatic stress disorder, kata Madame Mentari. Meski belum menerima pemeriksaan yang intens tapi dr Joe tidak pernah meragukan diagnose Madam Mentari. Hari ini mari kita lihat.
***
            Sesi minggu ini berjalan lancar seperti biasanya. Binar yang selalu berbinar meski memiliki beberapa titik kelam, Pelita si pesimis yang sepertinya mulai membaik dengan kehadiran teman-temannya dan juga energi positif dari Binar, Pekat yang konsisten sejak awal, dingin, cuek dan tidak banyak bicara bahkan setelah pertemuan yang sudah berpuluh-puluh kali, dia anak yang sangat keras. Dan Pendar, dia bahkan melebihi ekspektasi siapapun, dia berubah, sangat berubah, seorang anak kasar yang terlalu malas buka mulut sudah bertransformasi menjadi anak yang lebih ceria meski gaya bicaranya tidak berubah. Kirana yang sepertinya benar-benar akan dr Joe pindahtempatkan ke suatu rumah sakit. Dr Joe sengaja menaruh Sabit di bagian paling terakhir. Dia ingin memiliki waktu lebih banyak dengan anak baru itu.
            Tiba giliran Sabit. Dia dituntun oleh seorang pengasuh di Sunshine Shelter. Tatapannya kosong. Benar-benar kosong. Wajahnya datar. Seakan-akan ruhnya sudah pergi meninggalkan raganya. Mendengar cerita masa lalunya begitu kelam serta tak ada perawatan medis yang ia dapatkan membuat dr Joe mahfum dengan kondisi anak itu.
            “halo Sabit. Perkenalkan saya Joe. Bagaimana kabarmu hari ini?”sapa dr Joe ceria dan dia tau dengan pasti bahwa Sabit tidak akan menjawabnya. Sabit tidak mengalihkan tatapannya. Dia masih beku.
            “saya tahu ini sulit buatmu tapi saya ingin membantumu, setidaknya izinkan jiwamu mendengarkanku”lanjutnya. Dr Joe merasa harus berhati-hati untuk setiap gerakannya. Dia trauma pada lelaki dan dr Joe sangat paham akan itu. Sangat wajar. Dr Joe mengamati lamat-lamat wajah bundar nan lucu itu. Bagaimana seonggok daging yang menyebut dirinya manusia tega melakukan hal bejat pada gadis sepolos ini? Di usia yang terlalu dini. Lalu bagaimana mungkin seorang yang menyumbangkan gennya tega melakukan hal di luar nalar pada gadis yang dia panggil anak? Dunia tentu sudah berubah, dunia sudah sangat kejam.
Akhirnya sesi hanya diisi dengan dr Joe yang berbicara terus menerus untuk menarik perhatian Sabit. Setelah beberapa lama, Sabit akhirnya diantar keluar. Ibarat penyakit kanker, dia sudah stadium akhir. Dia bahkan tidak mengizinkan dirinya untuk ditolong lagi. Sepertinya dia harus ikut dengan Kirana. Saat mengantar Sabit keluar ruangan, dr Joe mendapati Pelita, Binar, Pekat dan Pendar masih duduk di kursi tunggu di depan ruangan. Setelah Sabit sudah dalam jarak aman mereka dengan segera mendatangi dr Joe.
“dr Joe dia kenapa?”Binar memulai pertanyaan. Pertanyaan yang sangat polos.
“dia sakit”jawab dr Joe singkat.
“sakit apa?”tanya Pelita
Post-traumatic stress disorder”
“itu maksudnya apa dok? Gila?”tanya Pendar. Ekspresi wajah dr Joe berubah. “emm..maksud aku..gangguan kejiwaan?”ekspresi dokter Joe belum berubah. Oh yeah, Pendar bodoh. Sejak awal pertemuan dr Joe sudah menekankan kepada mereka semua bahwa tidak semua orang dengan gangguan mental dapat disebut gila. Itu adalah stigma masyarakat yang harus segera dihapuskan. Gangguan mental berupa banyak jenis, depresi, bipolar, bahkan narsisme juga gangguan mental. Dan mereka tidak disebut gila, mereka bukan orang gila. Sama seperti mereka-mereka ini, mereka kanker, tumor, gangguan organ tapi tidak disebut orang-yang-sebentar-lagi-akan-mati. Karena mereka sama-sama berbeda dari manusia-yang-terlihat-normal pada umumnya sehingga harus lebih saling memahami. Mereka hanya berbeda sasaran gangguan. Stigma buruk seperti kata ‘orang gila’ bukan diucapkan oleh orang yang baik.
“maaf dok”akhirnya hanya itu yang keluar dari mulut Pendar.
“lain kali jangan diulangi”ucap dr Joe “apa yang Sabit rasakan tidak pernah ada di dalam nalar kalian, kalian mungkin hanya melihatnya sebagai orang yang aneh atau bahkan ORANG GILA…”dr Joe menekan pada kata ‘orang gila’ dan melihat Pendar yang langsung menunduk “…tapi di balik itu ada alasan dan ada cerita.  Dia pernah berjuang keras untuk dirinya sendiri, namun karena dia sendiri dan lawannya terlalu banyak dalam hal ini masa lalunya yang buruk, stigma masyakat, ejekan dan segala bentuk hal buruk yang diterimanya akhirnya dia kalah. Sabit kalah, karena dia sendirian. Dia masih terlalu kecil untuk berjuang sendirian melawan kejahatan yang begitu banyak dan bertubi-tubi, akhirnya dia tumbang. Jiwanya meninggalkannya. Jika Pendar akan merasakan sakit luar biasa ketika Jantungnya kesakitan maka Sabit sudah tidak bisa merasanya lagi. Kalian berjuang untuk sesuatu yang berbeda-beda, tapi sebenarnya sama. Disesuaikan dengan level kalian masing-masing”
“jadi Sabit butuh teman?”pertanyaan tak terduga dari Binar. Membuat dr Joe terdiam, mungkin Sabit tidak butuh ikut dengan Kirana.
“ya kalian makhluk social. Suka atau tidak suka, kalian memang harus berteman. Mungkin dokter akan butuh banyak bantuan kalian. Tetap jaga kesehatan ya”tandas dr Joe sambil mengurai senyum lebar. Mulai besok, sesi psikiatri di sunhine shelter akan berjalan setiap hari.
***
            Setahun setelah ditinggal ibunya, hidup Sabit dan ayahnya terlunta-lunta. Kadang makan kadang tidak. Ayahnya juga kadang kalah berjudi. Hingga pada usia 9 tahun, Sabit didandani ayahnya dan dibawa keluar rumah. Sabit tidak menolak, dia sudah terlalu Lelah dengan hidupnya. Ternyata ayahnya membawanya ke tempat Pekerja Seks Komersial. Sabit dia jadikan tumbal. Toh dia juga sudah rusak, sudah tidak suci lagi, begitu pemikiran ayahnya kala itu. Sabit dibawa ke kamar kemudian sesaat kemudian lelaki berusia sekitar 40 tahun datang menemuinya. Sabit kembali terguncang. Kehadiran lelaki asing dan ingin melakukan yang tidak-tidak padanya memberikan sinyalir ke otaknya yang sudah lama tidak bekerja. Dia akhirnya hanya bisa berteriak seperti orang kesetanan. Setelah kejadian itu Sabit makin hancur. Dia mendekam di kamar seperti orang ketakutan. Bertahun-tahun. Sebelum dia dipertemukan dengan Sunshine Shelter.
***

Kamu adalah cahaya yang dipadamkan oleh orang-orang di sekitarmu dengan cara yang kejam.

-Madame Mentari

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Laporan Fisika (Arus & Tegangan)

MENGUKUR ARUS DAN TEGANGAN LISTRIK I.                    Tujuan:   Mengetahui cara mengukur arus dan tegangan listrik II.                 Landasan Teori 1.       Hukum Ohm              “ besar kuat arus yang mengalir dalam suatu penghantar berbanding langsung dengan beda potensial antar ujung-ujung penghantar , asalkan suhu penghantar tetap . “                 Hukum ohm menggambarkan bagaimana arus, tegangan, dan tahanan berhubungan.  George ohm menentukan secara eksperimental bahwa jika tegangan yang melewati sebuah tahanan bertambah nilainya maka arusnya juga akan bertambah nilainya. Begitu juga sebaliknya. Hukum ohm dapat dituliskan dalam rumus seb...

I WANT TO DIE BUT I WANT TO EAT TEOKPOKKI Part 1

Dari: diriku Untuk: diriku   saya minta maaf! *** Sebelumnya saya mau review sedikit tentang buku yang sangat excited saya pesan. Sejujurnya ini kali pertama saya memesan buku secara online , ikut pre-order dan nungguin sampe beberapa puluh hari. Saya benar-benar ingin berterima kasih kepada Baek Se Hee yang telah sangat berbaik hati berbagi kisahnya dan menuliskannya dalam sebuah buku. Awalnya saya mengetahui buku itu karena direkomendasikan oleh boygroup Korea Selatan, BTS tapi pada saat itu hanya ada versi hangeul beberapa lama kemudian saya melihat postingan seorang psikiater yang saya ikuti di twitter dan ia diberi tanggung jawab menuliskan kata pengantar pada buku tersebut. Setelah itu tentu saja saya langsung mencari tahu buku yang sudah diproduksi dalam Bahasa Indonesia tersebut. Melihatnya langsung membuat saya sangat senang, awalnya saya berpikir akan membacanya dalam waktu satu hari saja, nyatanyaaa…buku setebal 236 halaman tersebut harus saya baca berha...

CINTA KETINGGALAN KERETA (cerpen)

CINTA KETINGGALAN KERETA Tak terdefinisikan Perasaan yang tak terdifinisikan Kereta melaju semakin cepat nan semakin jauh Meninggalkanku terpuruk di sini Sunyi senyap… tak ada siapa-siapa selain rel kereta ****                 Mentari memasuki celah-celah kamarku, menusuk kulit kuning langsatku tepat di wajahku.                 “hooaaamm” sinar mentari menggantikan alarm yang teronggok di depan kasur                 Pagi yang cerah untuk memulai hari baru, mengukir kenangan dalam sebuah buku tebal pemberian Tuhan. Kuayunkan kakiku menuju kamar mandi dan segera bersiap ke sekolah tercinta bertemu puluhan makhluk ciptaan Tuhan. Sebelumnya perkenalkan aku Diah. Aku kelas dua SMA dan Umurku 15 tahun, tidak, tahun ini akan 16 tahun. Tapi sebelum ta...