Langsung ke konten utama

B I N A R



            Aku berbinar, seperti namaku. Kalimat yang sering ditujukan padaku. Aku hanya mencoba memaknai namaku lebih dalam. Setidaknya nama pemberian mendiang ibu bisa aku gunakan sebaik-baiknya. Mengapa aku berada di sunshine shelter? Karena di tubuhku terdapat tumor. Osteosarcoma. Tumor yang menyerang bagian tulang. Pasti kalian berpikir aku bisa sembuh dengan penanganan yang tepat dan cepat, tinggal angkat segala tumor itu. Nyatanya aku terlalu miskin untuk itu semua. Aku tidak akan mencaci ayahku karena tidak punya uang untuk aku berobat. Ayah sudah bekerja siang malam mengojek dari satu daerah ke daerah lainnya, supaya aku bisa sembuh. Apalah daya semua sudah terlambat. Hal terakhir yang bisa dilakukan hanya memotong sebelah kakiku yang terdapat tumor paling besar. Tidak hanya mengangkat tumornya tapi sekaligus memotong kakiku agar tidak menyebar. Namun nyatanya terlambat tetaplah terlambat, sudah menyebar kemana-mana. Ayah merasa sangat bersalah padaku karenanya, namun dibiarkan untuk hidup saja aku sudah bersyukur.
            Aku bersyukur Madam Mentari menemukanku di ujung Lorong yang gelap ketika bocah-bocah perkampungan kumuh membullyku habis-habisan. Pertemuan itu tentu bukan kebetulan belaka namun takdir. Secercah cahaya bagi kehidupanku dengan Ayah. Awalnya Ayah tidak ingin melepaskanku dan tinggal sendiri di rumah namun ketika mengetahui aku akan dibantu dalam pengobatan, tentu Ayah tidak bisa berpikir dua kali lagi. Demi kebaikanku, katanya. Sebenarnya Ayah juga bukan manusia yang sehat, aku pernah menemukan hasil catatan dokter yang menyatakan beliau menderita Paru-Paru basah. Kebiasaan pulang larut malam setiap hari pasti memberi andil dalam hal ini. Ayah terlalu bekerja keras untukku, agar aku bisa sembuh sehingga tidak memperhatikan dirinya sendiri. Aku merasa bersalah padanya. Setiap hari tanpa absen ayah datang menjengukku di gubuk, terkadang juga menginap di sana. Ibu? Dia meninggal saat melahirkanku. Sebagian orang menyebutku pembawa sial karena dengan kelahiranku, Ayah harus kehilangan orang yang sangat dicintainya, sebagian besar penghasilan keluarga kami berkurang karena ibu adalah seorang yang memberi andil paling besar soal penghasilan dengan pekerjaannya sebagai pegawai kantoran, kemudian tinggallah aku dan Ayah dimana Ayah harus bekerja lebih keras dari biasanya untuk menghidupiku, dioper sana-sini pada sanak kerabat kami untuk mengurusku ketika Ayah sedang bekerja. Sudah cukup untuk membuatku disebut sebagai anak pembawa sial. Namun aku percaya Tuhan punya rencana-Nya sendiri. Bukan hak kita untuk suudzon pada-Nya. Meski aku tetaplah anak 13 tahun yang tentunya juga merasa sedih dengan semua ocehan orang-orang di sekitar. Meski sedikit, namun mereka memang ada benarnya.
            Di balik semua kegetiran hidup yang aku alami, aku berusaha untuk hidup dengan penuh kebahagiaan dan senyuman. Hidupku sudah terlalu menyedihkan sehingga tak perlu ditambah dengan kesedihan pula. Banyak yang merasa kagum padaku karena senyum lebar yang selalu aku tebar. Kesedihan sesekali juga menghinggapi dimana Ayah yang tidak peduli pada dirinya sendiri demi aku. Namun dunia tidak perlu tahu aku sedang bersedih. Dunia tidak perlu tahu masalahku. Untuk apa? Jarang di antara mereka yang benar-benar simpati. Untuk apa juga simpati itu? Aku hanya perlu menyebar senyum dan tampak baik-baik saja. Membuat orang lain juga tampak bahagia. Sudah lebih dari cukup bagiku.
***
            “kamu cukup tersenyum selebar mungkin Pelita. Tanpa sadar hatimu juga akan ikut tersenyum. Walau sering dipaksakan namun lama kelamaan juga akan bahagia dengan sendirinya”ucapku suatu sore di belakang gubuk, Bersama seorang anak berjilbab yang dipanggil Pelita. Aku hanya sedikit berbagi tips bahagia dengannya. Bukan berarti hidupku sempurna, setidaknya marilah bahagia. Walaupun terkadang hanya pura-pura. Tapi tak apa, dunia memang penuh dengan kepura-puraan. Real is rare.
            “terkadang untuk terpaksa senyum pun aku merasa sulit Binar. Bagaimana kamu bisa tersenyum sedangkan hatimu sedang meradang?”tanyanya. ya memang sulit jika tak terbiasa.
            “Tarik napas dalam, kemudian hembuskan. Coba tarik kedua ujung bibirmu pelan-pelan. Jika ingin marah lakukan itu juga. Pokoknya berusaha saja bahwa semua baik-baik saja. Just pretend to be happy”jawabku sambil memasang senyum lebar.
            “baiklah akan aku coba”ucapnya lesu.
            “hey jangan lesu gitu dong. Mungkin hidup dengan paksaan itu tidak baik namun memaksakan untuk bahagia rasanya tidak masalah. Tidak jujur, tidak tulus, peduli amat. Yang penting kita terlihat bahagia. Nanti aslinya juga bakal ikut bahagia kok”ucapku menyemangati. Ya aku bahagia, sungguh. Ketika menasihati orang lain seperti ini aku merasa sekaligus juga menampar diriku.
***
            Hari ini ayah datang dengan napas sangat berat, seakan untuk menghirup udara yang gratis ini dia sangat kesusahan. Apakah sakitnya semakin parah? Aku sudah hidup baik di sini namun mengapa ayah masih harus bersusah-susah dan tidak berobat? Aku semakin bersalah dan merutuk diriku sendiri dengan apa yang terjadi pada ayah.
            “ayah gimana kabarnya?”tanyaku basa-basi.
            “ayah baik. Kamu bagaimana Binar?”ayah bertanya balik.
            “aku lebih dari baik yah”jawabku “ayah tidak perlu bekerja terlalu keras, coba perbanyak istirahat. Ayah tampak begitu kelelahan”
            “ayah baik-baik saja Binar. Kamu bisa lihat sendiri kan kalau ayah masih kuat”ucapnya masih dengan ekspresi yang tampak dibuat-buat. Aku rasa aku tau dimana aku mendapatkan bakat kepura-puraan itu. Hatiku terasa sangat nyeri melihat ayah seperti itu. Aku menangis. Namun tidak tampak di pelupuk. Aku menangis hanya untuk diriku sendiri, hanya diriku yang tau. Aku mengulas senyum pada Ayah.
            “ayah lo sakit”ujar seseorang secara tiba-tiba di belakangku. Tepat ketika kami keluar kelas Biologi hari itu. Aku berbalik, Pendar?  Aku memasang wajah bertanya-tanya “gue gak sengaja ngeliat kemarin waktu kalian ngobrol”jawabnya seakan membaca pertanyaan di kepalaku.
            “ohhh”hanya itu yang dapat keluar dari bibirku. Seseorang yang tidak pernah berbicara padamu kemudian tiba-tiba datang dan membicarakan tentang ayahmu. how strange that situation.
            “lo juga tau itu kan?”tanyanya lagi. Aku bertanya dalam hati untuk apa anak ini peduli? Dan sejak kapan?
            “ayah tidak tau kalau aku tau dia sakit”jawabku akhirnya.
            “dia harusnya berobat Binar. Lo mau dia berakhir seperti kita?”katanya dengan nada tinggi. Aku semakin heran dengan anak bertubuh gempal ini. Dia melirik jam di pergelangan tangannya kemudian menarik napas dalam dan menghebuskannya pelan. Bukan salahku kalau dia tiba-tiba meninggal di sini, dia sendiri yang mengajakku bicara. “gue Cuma mencoba peduli. Tapi rasanya gak cocok. Lentera payah kasih tips”ucapnya akhirnya. Menjawab teka-teki yang ada di kepalaku. Jadi kak Lentera…
            “memang tips apa kalau aku boleh tau?”tanyaku memberanikan diri.
            Dia mengangkat bahu “tips supaya gue bisa beradaptasi dan terbiasa dengan penyakit jantung gue. Supaya gak keliatan lemah-lemah banget dan bisa hidup normal”jawabnya “tapi kayaknya gak bakal berhasil”ucapnya dengan nada sedih “yaudahlah lupain aja yang tadi. Gue duluan ya”dia kemudian membawa tubuh gempalnya meninggalkanku. Apa ini misi kak Lentera sebelum pergi? Aku tau dia tidak akan kembali lagi ke sini. Mungkin dia ingin aku membantu.
***
            “ngobrol sama Pendar?”ucap Pelita kaget ketika aku memberi tahu niatku. “dia aja gak mau ngomong sama kita nar. Bagaimana caranya ngobrol sama dia apalagi bantuin”ucapnya lagi pesimis. Pelita, manusia yang selalu pesimis.
            “dia kemarin ngajak aku ngobrol”ucapku lagi.
            “mungkin lagi demam itu”
            “duh kak Pelita, ingat apa yang dikatakan kak Lentera sebelum pergi? Ketika sesuatu itu terlihat begitu negative coba cari segala kemungkinan untuk membuatnya terlihat positif”
            “yaa mau digimanain pun juga emang terlihat negative”jawabnya lagi. Ah anak yang satu ini. Dia menatapku sekali lagi “okay.. okay.. aku bantu”tandasnya menerbitkan secercah senyuman di wajahku.
            “Pelita”tiba-tiba seseorang memanggil. Reflex aku dan Pelita langsung berbalik. Pekat? Kak Pekat, karena dia lebih tua dariku. Dan jaraknya terlampau jauh untuk sekadar memanggil nama.
            “aku gak lagi mimpi kan? Pekat manggil aku?”bisik Pelita di sampingku. Aku heran dengan anak ini, dia terlihat sopan namun tidak pernah memanggil yang lebih tua dengan sebutan ‘kak’.
            “gak tau. Aku rasa aku sedang berhalusinasi. Efek obat mungkin”balasku sambil berbisik.
            “padahal jadwal kemo aku lusa. Berarti harusnya tidak dipengaruhi obat apapun untuk saat ini”dia masih berbisik. Sesosok Pekat akhirnya menghampiri.
            “emm aku..itu..”kami berdua masih terheran-heran “buku matematika kamu ketinggalan di kelas”ucapnya akhirnya sambil memberikan sebuah buku yang aku kenali milik Pelita. Oh Cuma buku toh.
            “makasih Pekat”ucap Pelita sambil mengambil buku yang disodorkan Pekat. Tanpa ba-bi-bu dia langsung melesat pergi. Kami masih tercengang dengan adegan yang barusan terjadi.
***
            “Pendar”panggilku ketika kulihat anak bertubuh tambun itu di lapangan. Kulihat dia kaget melihatku yang berjalan ke arahnya. Kemudian kembali memain-mainkan bola basket di tangannya. Kabarnya dia jadi sering olahraga walau 5 menit kemudian dia bakalan megap-megap kehabisan napas karena Lelah. Masih untung kalau jantungnya tidak nyeri.
            “mau dibantuin hidup normal gak?”tanya Pelita to-the-point. Oke, dibalik wajah innocentnya dia terkadang cukup blak-blakan.
            “caranya?”kali ini Pendar mengalihkan padangan dari bola basketnya.
            “gak tau sih. Makanya kita bantuin cari caranya”ucap Pelita jujur. Pendar hanya bisa ternganga dibuatnya. Yeah, itu kejujuran. Kami juga tidak tau cara membantu Pendar namun setidaknya kami sudah berniat membantunya. Hehe, maafkan kami kak Lentera. Pendar melirik jam di tangannya, apakah sekarang dia sedang marah? Gawat.
            “lo lepas aja jam di tangan lo itu”seseorang tiba-tiba bersuara. Kak Pekat. Aku masih terheran-heran dengannya belakangan ini. Terasa ada yang aneh. Apakah mungkin karena kak Lentera lagi?
            “kalo lo mau lihat gue cepet mati”ucap Pendar dingin. Aku rasa atmosfir sedang tidak baik.
            “kalo lo mau hidup normal lo harus singkirin pikiran-pikiran lo itu. Salah satunya selalu mikir dengan marah lo bisa cepet mati. Tanpa jam itu, lo bisa mati. Cupu!”astaga.. aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Mereka berpandangan sengit. Kemudian tiba-tiba Pendar melepas jam yang ada di pergelangannya. Kini giliran aku dan Pelita yang tercengang. Pekat tersenyum puas. Apa sebenarnya yang terjadi di sini?
            “terus apa?”tanya Pendar menantang. Kali ini Pekat memandangku dan Pelita.
***
            Baru kali ini ada perpisahan yang mengulas senyum bahagia penduduk sunshine shelter. Tanpa tangis dan air mata. Kami sudah terlalu kebal untuk menangis. Pendar akan pergi. Pulang ke rumahnya. Dia mungkin tidak sepenuhnya baik tapi aku rasa dia sudah lebih baik daripada sebelumnya. Dia tampak lebih sehat. Perjuangan lepas pasang jam di pergelangannya serta banyaknya perdebatan panjangnya dengan Pekat tetap tidak membuat semangatnya surut. Ketika dia mulai memegangi dadanya yang kesakitan tentu saja kami akan ketar ketir takut dia kenapa-kenapa namun ternyata Pendar tidak selemah itu. Aku bahagia ada yang bisa pulang ke rumahnya dengan janji akan kembali menengok ke sini. Semua sudah lebih dari cukup.
            “buat lo sama ayah”Pendar memberikan selembar kertas padaku sambil tersenyum. Selain mencoba banyak hal, pelajaran paling intens Pendar adalah tersenyum. Dahulu-dahulu dia memang tidak pernah tersenyum.
            “apa maksudnya ini?”tanyaku masih mempertanyakan deretan kalimat dalam kertas itu.
            “kami memberikan bantuan kepada ayahmu agar dia bisa berobat sebelum sakitnya semakin parah”Lintar, kakak Pendar yang berbicara.
            “tapi kan ayah…”
            “udah tau kok. Sorry kalo gue bocor”ucap Pendar cengengesan. Aku tidak tahu ingin berkata apa. Aku sangat berterima kasih akan semua nikmat yang diberikan Tuhan kepadaku.
            “aku bantuin kamu bukan untuk ini”kataku dengan mata berkaca-kaca.
            “aku tau. Aku hanya ingin berterima kasih”kata Pendar lagi.
            “terima kasih”jawabku akhirnya.
            “aku yang berterima kasih”katanya sambil tersenyum “tetaplah berbinar. Sampai jumpa lagi”tutupnya.
***
Kamu berbinar sehingga terkadang membuat orang lain iri namun kamu mampu membuat mereka menemukan binarnya sendiri.

Madam Mentari.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Laporan Fisika (Arus & Tegangan)

MENGUKUR ARUS DAN TEGANGAN LISTRIK I.                    Tujuan:   Mengetahui cara mengukur arus dan tegangan listrik II.                 Landasan Teori 1.       Hukum Ohm              “ besar kuat arus yang mengalir dalam suatu penghantar berbanding langsung dengan beda potensial antar ujung-ujung penghantar , asalkan suhu penghantar tetap . “                 Hukum ohm menggambarkan bagaimana arus, tegangan, dan tahanan berhubungan.  George ohm menentukan secara eksperimental bahwa jika tegangan yang melewati sebuah tahanan bertambah nilainya maka arusnya juga akan bertambah nilainya. Begitu juga sebaliknya. Hukum ohm dapat dituliskan dalam rumus seb...

I WANT TO DIE BUT I WANT TO EAT TEOKPOKKI Part 1

Dari: diriku Untuk: diriku   saya minta maaf! *** Sebelumnya saya mau review sedikit tentang buku yang sangat excited saya pesan. Sejujurnya ini kali pertama saya memesan buku secara online , ikut pre-order dan nungguin sampe beberapa puluh hari. Saya benar-benar ingin berterima kasih kepada Baek Se Hee yang telah sangat berbaik hati berbagi kisahnya dan menuliskannya dalam sebuah buku. Awalnya saya mengetahui buku itu karena direkomendasikan oleh boygroup Korea Selatan, BTS tapi pada saat itu hanya ada versi hangeul beberapa lama kemudian saya melihat postingan seorang psikiater yang saya ikuti di twitter dan ia diberi tanggung jawab menuliskan kata pengantar pada buku tersebut. Setelah itu tentu saja saya langsung mencari tahu buku yang sudah diproduksi dalam Bahasa Indonesia tersebut. Melihatnya langsung membuat saya sangat senang, awalnya saya berpikir akan membacanya dalam waktu satu hari saja, nyatanyaaa…buku setebal 236 halaman tersebut harus saya baca berha...

CINTA KETINGGALAN KERETA (cerpen)

CINTA KETINGGALAN KERETA Tak terdefinisikan Perasaan yang tak terdifinisikan Kereta melaju semakin cepat nan semakin jauh Meninggalkanku terpuruk di sini Sunyi senyap… tak ada siapa-siapa selain rel kereta ****                 Mentari memasuki celah-celah kamarku, menusuk kulit kuning langsatku tepat di wajahku.                 “hooaaamm” sinar mentari menggantikan alarm yang teronggok di depan kasur                 Pagi yang cerah untuk memulai hari baru, mengukir kenangan dalam sebuah buku tebal pemberian Tuhan. Kuayunkan kakiku menuju kamar mandi dan segera bersiap ke sekolah tercinta bertemu puluhan makhluk ciptaan Tuhan. Sebelumnya perkenalkan aku Diah. Aku kelas dua SMA dan Umurku 15 tahun, tidak, tahun ini akan 16 tahun. Tapi sebelum ta...