Aku menatapnya lagi. Putih. Kecil. Terdapat garis kebiru-biruan yang tampak. Juga garis-garis merah kecil bercabang-cabang. Tipis. Sangat tipis.
Aku menatapnya lagi. Dingin. Berkilauan. Dari kejauhan nampak ketajamannya. Perak menyilaukan.
‘Bagaimana jika benda itu menyentuh benda tipis tadi? Garis-garis merahnya akan terputus kemudian membiarkan sesuatu di dalamnya mengalir bukan? Jika aku menekannya semakin dalam garis kebiruan juga akan ikut terputus bukan? Temukan aku beberapa jam kemudian dan kulitku akan berwarna biru pucat dengan genangan merah di sekitarku. Jantungku berhenti berdetak, aku m a t i.’
Ahhh..lagi-lagi suara-suara di kepalaku berdenging, membuatku menggeleng keras. Aku kembali menatap kedua benda itu silih berganti kemudian terdiam sesaat. Tolong sadarlah, ini yang kamu butuhkan untuk saat ini. Hanya kesadaran. Aku mengepalkan tanganku keras sambil memejamkan mata erat-erat. Napasku semakin memburu kemudian benar-benar gulita.
***
Aku memiliki kebiasaan menggunakan kaos berlengan Panjang. Aku tidak suka melihat lenganku yang menampakkan nadiku secara transparan. Mata nakalku akan terus menatapnya jika ia tampak kemudian suara-suara di kepalaku akan berteriak kencang. Aku tidak suka ada benda tajam di sekitarku, terutama jika aku sendiri. Aku benci melihatnya. Aku takut melihatnya. Aku takut akan akibat yang dapat ditimbulkannya.
Pelajaran olahraga hari ini sungguh melelahkan, materi volli. Aku suka olahraga, bukankah olahraga dapat membuat tubuh menjadi sehat? Giliranku bermain sudah habis kemudian digantikan oleh siswa lain. Dalam peluh yang bercucuran aku melihat lenganku tersingkap. Aku menatapnya lama kemudian buru-buru ingin menutupinya kembali sebelum aku mendengar suara sebuah besi berkarat berdetakan satu sama lain. Pak Salman sang pengurus kebun sekolah sedang sibuk menyiangi tanaman dengan gunting tanaman yang begitu besar. Meski sudah berkarat, namun ia masih tajam seperti baru. Yahh tajam. Aku memandanginya semakin dalam, hingga tak terasa waktu berjalan beberapa menit kemudian bergantian memandang lenganku yang belum sempat aku tutupi. Suara di kepalaku kembali bertalu-talu. Tolong, jangan sekarang. Aku mohon sadarlah..ucapku pada suara-suara itu. Aku mencengkram celana olahragaku erat-erat sambil memejamkan mata. Mataku terasa panas sekali.
“Anyelir, kamu kenapa?”tiba-tiba seseorang membubarkan pertentangan dalam jiwaku.
Aku membuka mata “ahh tidak apa-apa”jawabku sambil tersenyum kikuk.
“kamu menangis? Matamu berair dan merah”
“aku hanya mengantuk. Hoaammm…ini sangat membosankan”ujarku sambil berpura-pura menguap dan kemudian tertawa lebar. Dia pun ikut tertawa.
Ya benar, hanya itu yang dapat aku lakukan. Hanya itu pertahanan diriku. Jika tidak, aku hanya akan disebut g i l a.
***
Itu adalah kisah kelamku bertarung dengan diriku sendiri. Telah menjadi kebiasaan dan semua tetap berada dalam kendali. Monster paling mengerikan tak pernah menampakkan dirinya lagi. Setidaknya sebelum bencana itu terjadi…
Apa yang paling mengerikan dalam hidupku?
Ingin tampak baik-baik saja. Selalu ingin menyenangkan orang lain. Oleh karena itu sulit mengambil keputusan.
Ketika aku memutuskan A apakah semua orang akan bahagia? Apakah itu adalah pilihan terbaik? Tidak akan ada yang tersakiti? Semua akan baik-baik saja bukan?
Aku akan menghabiskan waktu berjam-jam memikirkannya, merutuki diri. Jika aku memutuskan A, si B akan tersakiti. Tetapi jika aku tidak mengambil A, si C akan dirugikan. Maka suara-suara di kepala itu akan berteriak lantang. Setiap keputusan yang berlapis-lapis nan sulit, maka tanpa sadar aku menciptakan monster lagi.
Kamu tahu apa yang paling menyakitkan dari semua itu? Pulang ke r u m a h.
***
“kamu tahu kan nak, ibu sudah tidak punya uang lagi”wanita paruh baya menangis terpatah-patah.
Terlihat seorang remaja tanggung mengemasi barang-barangnya, mengambil beberapa lembar kaos dan celana kemudian dimasukkan ke dalam tas kecilnya.
“kamu mau kemana nak?”tanya wanita itu lagi. Dia tidak menghiraukan dan hanya menepis kasar tangan wanita itu. Ia berlalu dan tak terlihat lagi.
Aku?
Aku hanya menjadi saksi bisu. Menatap semua lakon di depanku. Mengepalkan tanganku erat. Aku ingin sekali melangkah. Mendekati wanita itu dan memintanya untuk tidak menangis lagi. Aku ingin mendekati remaja itu kemudian berteriak di hadapannya. Tetapi semua itu hanya ingin. Aku berjalan dengan wajah datar masuk ke kamarku.
Aku masuk ke dalam kamar mandi, terduduk di sana sambil menatap putihnya dinding. Tanpa sadar mataku memanas, ia mengalir lolos menggenangi cekung di pipi. Aku mencengkram bajuku erat, menggigit bibirku tak kalah eratnya, membiarkan banjir terjadi dimana-mana. A k u b e n c i d i r i k u s e n d i r i.
***
Aku juga beban berat.
Aku…bahkan tidak bisa menghidupi diriku sendiri. Memberi makan diriku sendiri. Aku juga meminta banyak hal seperti remaja tanggung itu. Meski terbilang penting, tetapi aku merasa aku adalah beban. Beban yang sangat berat. Aku…benci diriku.
Benda dingin berkilauan yang selalu aku simpan di dalam ruangan sempit berukuran 4x4 ini semakin dekat dengan lengan bersih kepunyaanku. Apa yang akan terjadi jika aku melakukan ini? Apakah beban akan semakin ringan? Apakah remaja tanggung itu akan tersadarkan? Inilah sebabnya aku terkadang benci sendiri, aku takut pada diriku sendiri di kesendirian. Namun terkadang, aku muak pada keramaian, muak pada topeng-topeng yang tampak. Oleh karena itu aku hanya ingin satu hal…Aku memejamkan mata erat, ia semakin dekat. Kemudian gulita lagi, aku kembali memasuki dimensi itu. Monster itu datang kembali.
Aku melihat wanita paruh baya tadi menangis sesenggukan, ia sendirian. Beberapa keluarga dan tetangga duduk di dekatnya, memandangnya prihatin. Di depan mereka ada sesuatu yang ditutupi kain, mayat. Dan itu aku. Pandanganku menembus kain yang menutupi tubuhku, luka menganga di pergelangan tangan. Aku pucat. Benar-benar pucat. Wanita itu masih sendirian tanpa remaja tanggung itu. Beberapa mulai bubar, keluargaku, tetangga, teman-temanku.
“kasian ya anak lelakinya pergi dari rumah, anak perempuannya mati bunuh diri”cuap ibu-ibu berperawakan gemuk ketika keluar dari rumah.
“iya, kasian sekali dia”sambil menatap iba.
“anaknya stress kali yaa, udah gila mungkin”
Beberapa teman-temanku juga menangis sesenggukan.
“aku tidak tau masalah apa yang ia hadapi hingga menjadi seperti ini. Dia selalu tampak baik-baik saja”
“dia terlihat pantang menyerah, aku tidak tau dia selemah ini menyerah pada hidupnya”
“dia selalu tampak bahagia tetapi malah membuat keputusan bodoh dalam hidupnya”
“dia..”CUKUP!!
Aku sudah cukup mendengarnya. Aku kembali di ruangan 4x4. Aku tidak selemah itu. Psikiater mengatakan padaku bahwa aku lebih kuat daripada siapapun karena mampu melawan teriakan-teriakan membunuh di kepalaku, mampu menjalani hidupku. Aku tidak pernah mempercayai itu. Aku merasa lemah harus berhadapan dengan monster yang tak lain adalah diriku sendiri. Kini aku paham, aku benar-benar lebih kuat daripada orang lain. Aku hanya lelah. Aku harus tetap hidup, meski aku membenci diriku sendiri. S a n g a t.
***
Komentar
Posting Komentar