Malaikat tak bersayap. Ibu. Benar kan?
Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Mengapa disebut tanpa tanda jasa padahal ia mendidik orang-orang dari tidak tahu menjadi tahu. Bukankah pencapaian orang tersebut adalah jasanya?
Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Mengapa disebut tanpa tanda jasa padahal ia mendidik orang-orang dari tidak tahu menjadi tahu. Bukankah pencapaian orang tersebut adalah jasanya?
Lusuh. Sebuah deskripsi tepat untuk wanita paruh baya itu. Baju batik warna hijau tua yang rasanya sudah ia gunakan 3 hari yang lalu. Sepatu plastik harga tiga puluh lima ribu rupiah yang diperkirakan ia belinya di tukang sandal lesehan di pasar becek. Tas merek Gucci KW super berisi berkas-berkas pentingnya. Ia jalan terseok-seok hendak menunggu angkot di pinggir jalan. Hujan semalam berhasil membuat jalanan tak beraspal depan rumahnya menjadi berlumpur, bahkan untuk mengangkat kaki pun terasa sulit. Sebelum berhenti menunggu angkot, ia sempatkan menukar sendal jepit yang ia gunakan dengan sepatu plastik tiga puluh lima ribu rupiahnya. Janji caleg masih belum ditepati, jalanan ke rumahnya belum mulus seperti daerah lain.
Semalam ia tidur larut mengerjakan bahan ajar untuk murid-muridnya. Tak ingin menyusahkan orang-orang berteknologi di rumahnya, ia putuskan menggambar sendiri kartun-kartun aneka buah yang tengahnya berwarna putih untuk diisi dengan berbagai warna oleh murid-muridnya esok. Membuat replica serupa sejumlah 15 buah. Sebanyak itu muridnya. Pukul setengah lima subuh dia bangun pagi-pagi untuk salat dan bersih-bersih rumah, mempersiapkan sarapan untuk anak-anaknya, juga makan siang nantinya sebagai antisipasi jika dia terlambat berada di rumah dan memastikan semua anggota keluarga berangkat sekolah. Semua harus selesai pukul 7 pagi agar ia bisa segera berangkat ke tempatnya mengajar tepat pada waktunya. Jarak sekolah dengan rumahnya yang jauh membutuhkan waktu 30 menit, menunggu angkot pun masih untung jika hanya 15 menit. Semua dilakukan dengan senang hati.
Sekolah sederhana. Meski bagi orang lain entah masih bisa disebut bangunan sekolah atau tidak. Hanya seperti sebuah rumah dengan satu ruang dan satu toilet. Pernah meminta tolong kepada seorang kawan seniman untuk menggambar di dindingnya agar terlihat seperti sekolah betulan. Dindingnya hanya dari kayu. Alasnya hanya tembok dingin yang dialasi karpet tiga puluh ribu satu meter. Terdapat kursi kecil dan meja lipat berjejer di dalamnya. Jumlahnya 15 buah. Terdapat papan tulis mini, rak buku dan mainan yang tidak seberapa. Ya, ini adalah Taman Kanak-Kanak. Di bagian luar terdapat ayunan sederhana yang sejujurnya masih diragukan keamanannya dan sebuah perosotan kecil satu buah. Sekolah pedalaman.
Sarah. Wanita yang kita bicarakan sedari tadi. Ia tiba 30 menit sebelum kelas dimulai, memberikannya sedikit waktu untuk bersih-bersih. Sekolahnya cukup memiliki dua orang guru yang secara sukarela bekerja (dapat gaji tapi bukan PNS) dan tentunya tidak akan mampu membayar tukang bersih-bersih sekolah. Perutnya mulai berbunyi, teringat pagi tadi tidak ikut sarapan bersama anak-anaknya karena sibuk mengurusi cucian yang menggunung. Namun anak-anak sudah mulai berdatangan, waktu terlalu sempit dan tidak ada yang bisa dimakan. Mungkin sarapannya akan ia jamak dengan makan siang nanti, seperti biasanya.
***
Ketika anak-anak usia rata-rata empat sampai enam tahun mulai memasuki kelas dipandu oleh salah seorang rekannya, tiba-tiba seorang pria berperawakan besar dan berambut klimis datang menemuinya.
“kami bisa melihat betapa besar dedikasi anda pada sekolah ini sehingga kami merasa harus lebih memberikan apresiasi kepada anda. Bukankah dengan pindah ke sekolah yang lebih besar akan membuat hidup anda menjadi lebih baik?”tanya pria klimis itu retorik ketika mereka telah berada di taman bermain sekolah.
Sarah memandang lelaki tersebut lamat-lamat. Banyak yang berkelabat di benaknya. Ya, siapa yang tidak ingin memiliki kehidupan yang lebih baik? Memiliki penghasilan lebih, membeli barang-barang yang diinginkannya setidaknya sebanding dengan kerja kerasnya. Dia sudah sepuluh tahun menjadi tenaga pengajar dan belum juga menjadi Pegawai Negeri Sipil. Apakah dengan pindah ke tempat yang lebih baik akan membuatnya lebih mudah menjadi PNS?
“silakan dipikirkan dulu. Jika sudah memutuskan, anda dapat menghubungi saya”kata lelaki itu kemudian.
Semenjak pembicaraan singkatnya dengan lelaki klimis tersebut, Sarah tidak dapat focus dalam mengerjakan apapun. Bahkan sarapan yang akan dijamak dengan makan siangnya pun terlupakan. Mungkin akan dijamak lagi dengan makan malam. Dia akhirnya memberikan tugasnya kepada rekan kerjanya untuk melanjutkan mengajar pada hari itu. Kepalanya terasa berat memikirkan banyak hal.
“eh Bu Sarah apa kabar? Saya dengar ibu kurang enak badan yaa”Seorang ibu bertubuh kurus menghampirinya ketika sekolah telah usai dan anak-anak satu per satu mulai meninggalkan sekolah bersama orang tuanya. “Ini saya ada obat, resep turun temurun dari keluarga. Dijamin manjur untuk mengobati sakit kepala bu”ucapnya lagi sambil menyodorkan sebotol obat.
“aduh Bu Ani terima kasih banyak, padahal saya cuma pusing biasa kok bu”Bu Ani merupakan salah satu orang tua murid Sarah, rumahnya tepat di depan sekolah.
“ah gak papa bu, ibu pasti pusing dan capek menghadapi anak-anak kami yang bandel. Saya mohon maaf yah bu kalau anak kami menyusahkan ibu dan terima kasih sudah mau berbakti pada sekolah dan kampung kami”ujar Bu Ani lagi. Sarah menatap wanita kurus dengan rentang usia sekitar 28-30 tahun itu.
***
Ya hanya sesingkat itu cerita Sarah. Ia tidak pernah menghubungi lelaki berperawakan gemuk itu dan menjalani hari-harinya seperti biasa. Baju yang itu-itu saja, sepatu plastik, tas KW, jadwal makan dijamak berjemaah dan kebisingan murid-murid kampung serta yang paling penting kenyamanan lingkungan yang ia dapatkan. Ini hanya sekolah kecil, sekolah di negeri antah berantah. Anak-anak yang bandel dan sulit dijejali pengetahuan. Penduduk kampung yang ramah, khas orang di kampung, sangat baik hati dan hangat. Semua itu sudah cukup bagi Sarah. Mencoba di sekolah lain mungkin akan menyenangkan, tapi Sarah tahu betul tidak semua orang ingin berada di sini, memiliki pekerjaan dengan tingkat kerumitan yang tidak sebanding dengan pendapatan. Hanya orang-orang yang bekerja dengan hati yang akan bertahan. Jika ia pergi, lalu siapa yang akan mengurusi murid-muridnya yang bandel itu?
***
Di lain sisi lelaki berperawakan gemuk itu hanya terkekeh menatap telepon genggamnya tak pernah menerima panggilan dari nomor yang ia tunggu.
Pahlawan Tanpa Tanda Jasa...
Semua pencapaian adalah hasil kerja keras dari orang itu. Seorang tenaga pengajar hanya mengarahkan semampunya, apakah orang tersebut mengikuti arahan atau tidak semua tetap berada di tangannya. Apapun yang ia dapatkan kemudian, merupakan hasil dari dirinya sendiri.
Pahlawan Tanpa Tanda Jasa...
Semua pencapaian adalah hasil kerja keras dari orang itu. Seorang tenaga pengajar hanya mengarahkan semampunya, apakah orang tersebut mengikuti arahan atau tidak semua tetap berada di tangannya. Apapun yang ia dapatkan kemudian, merupakan hasil dari dirinya sendiri.
Komentar
Posting Komentar