Saat usia
sudah menginjak kepala tiga, maka kamu akan mulai mendengar dengungan-dengungan
aneh yang sangat mengganggu. Suara ibu-ibu yang masih memiliki hubungan darah
denganmu mulai mendominasi. Sangat berisik.
“kapan
nikah? Usia sudah 30 kamu belum menikah? Kamu tentu tidak mau jadi perjaka tua
kan? Kapan nikah? Kapan nikah?”
Walau
mereka sudah lenyap dari pandanganku namun suara mereka masih terus terdengar.
Meninggalkan gema di telinga.
“kapan nikah?”
Tanpa mereka
ketahui, pertanyaan itu juga menari-nari dalam kepalaku. Bertanya pada diriku
sendiri apakah sesulit itu bertemu jodoh? Apakah berbulan-bulan di laut membuat
jodohku lari takut diserang hiu? Usia 31 bukanlah usia lelaki sepertiku masih
sendiri. Di tanah kelahiranku, usia itu harusnya sudah mewujudkan cita-cita
orang tua menimang cucu. Namun apa daya, tulang rusuk berbentuk manusia indah
itu tak kunjung menghampiri sementara aku tak memiliki banyak waktu untu
mencari.
Semua
saudaraku telah menikah, bahkan adikku yang bisa dibilang pengangguran sudah
menemukan tulang rusuknya. Mungkin benar ocehan anak belasan tahun “yang selalu
ada akan kalah dengan yang tersayang”. Aku mungkin bisa memberikan semua yang
wanita inginkan, kecuali satu hal “selalu ada”. Semacam udara buatku. Tak terlihat,
tak tersentuh, tak terjangkau.
***
Laut
biru adalah kawanku. Indahnya membuatku sering lupa dimana aku berada. Aku
bukan makhluk berinsang yang dapat hidup di dalamnya. Sungguh mengecewakan.
Rasanya aku ingin berjelajah di sana ketika pertanyaan-pertanyaan mengerikan
itu datang lagi.
Teringat
saudara sepupuku dengan semangat 45 memberi tahuku tentang wanita-wanita yang
akan ia kenalkan padaku. Bertahun-tahun aku tolak caranya, namun sekarang aku
rasa aku memang membutuhkan bantuannya. Ternyata aku tak sanggup mencari tulang
rusukku sendiri. Yang bisa aku lakukan hanya membawa lelaki dengan wanitanya
berpindah dari tempat ke tempat. Menyusuri kawan biruku ini.
Saudara
sepupuku selalu mempromosikan diriku, katanya aku tampan, banyak uang, baik. Lelaki
idaman para wanita tentu takkan sulit mencari jodoh untukku. Aku hanya bisa
tersenyum masam mendengarnya. Ia tak tahu bahwa ada satu hal yang tak dapat
kupenuhi.
***
“Salma
bagaimana? Kau tak suka? Dia itu perawat, cantik meski dia kurang tinggi tapi
itu takkan jadi masalah bukan?”suara sepupuku terdengar seperti menggunakan
pengeras suara dari seberang sana.
“entahlah,
aku hanya merasa kurang cocok dengan dia. Mungkin bukan dia”jawabku lesu sambil
tetap menatap kawan biruku.
“bukan
dia lagi? Wanita seperti apa sih yang kau suka?”tanyanya terdengar putus asa.
Aku
hanya tersenyum dan berpikir dia mungkin akan segera menghentikan aksi Mak
Comblangnya. Aku bersyukur ia tak bisa melihat senyumku “aku tak memiliki tipe
wanita”
“kamu
tahu kan bahwa sudah ada 10 wanita yang
kukenalkan padamu dan ada 1001 alasanmu menolak mereka. Populasi wanita single
non janda di kampung ini sudah hampir habis. Aku bahkan sudah mencari ke
kampung lain, tapi kau masih saja menolaknya”gerutu sepupuku itu.
“maafkan
aku! Kalau begitu lebih baik kita hent...”
“oohh,
tidak..tidak.. aku akan mencari untukmu. Aku tak mau orang sesempurna dirimu
menjadi perjaka tua. Baiklah, kita selesai sampai di sini untuk hari
ini”kemudian ia menutup telponnya.
Dia
masih belum menyerah juga. Seperti yang ia katakan tadi sudah lebih dari 10
wanita yang ia kenalkan padaku dan aku belum merasa pas dengan mereka. Sebagai
lelaki yang hampir sempurna (kata sepupuku tadi) aku tentu mencari wanita yang
tepat. Menikah itu sekali seumur hidup, tak mungkin aku menikah dengan
sembarang orang. Terkadang aku juga berpikir untuk apa aku menikah? Aku masih
memliki teman untuk membuatku tertawa, aku masih memiliki kawan biruku dalam
diam, aku masih bebas mendedikasikan hartaku untuk kebahagiaan orang tuaku dan
untuk amal. Sementara jika aku menikah? Mungkin aku takkan sebebas itu. Namun,
selalu ada satu saat yang membuatku benar-benar ingin memiliki teman hidup.
***
Jadwal
pulang tahunan ke rumah. Telingaku sudah kupersiapkan mendengar
dengungan-dengungan itu lagi. Mendengar pertanyaan yang sama setiap tahunnya
dan mendengar rengek tangis para keponakanku. Selamat tinggal kawan biruku! Aku
akan segera kembali dan menceritakan keluh kesah keluargaku lagi.
Sesampai
di rumah, sepupuku langsung menyambutku.
“yakin
tidak mau dengan Salma?”tanya sepupuku.
“hei,
aku baru sampai rumah dan kau langsung menanyakan itu?”tanyaku sambil sedikit
bergurau.
“tapi
benar kamu tidak suka dengan Salma?”dia tidak menghiraukan candaanku dan
memilih tetap bertanya.
“tidak”jawabku
akhirnya.
“aahh,
Adrian!”aku meninggalkannya berdiri memasang tampang kesal.
Acara
kumpul keluarga telah tiba. Tanpa ada aba-aba atau grasak-grusuk pertemuan
keluarga seperti ini biasanya memang sangat cepat terbentuk. Mereka hanya
tinggal melihat tanggal yang telah mereka lingkari pada tanggal dan bulan yang
sama tiap tahunnya, dan segera berangkat. Aku bersyukur memiliki keluarga yang
‘sangat’ menyayangiku seperti mereka.
“Adrian,
istrinya Andry akan segera melahirkan loh”. Tante Meli segera memulai
mengompori manusia-manusia dalam ruangan itu.
“wah,
benar Adrian. Kalau kamu kapan akan memberikan kami keponakan?”
“tak
perlu keponakan, cukup menantu yang kamu berikan. Satu lagi anggota keluarga”
Aku
hanya tersenyum sambil garuk-garuk kepala mendengarnya. Mencoba memberikan kode
kepada sepupuku.
“aduh
tante-tante,anggota keluarga baru itu masih dalam pencarian. Kalian sabar dulu
yaa! Mungkin anggota keluarga baru berbentuk bayi akan lebih cepat kalian
dapatkan daripada yang berbentuk menantu”kata sepupuku sambil sedikit
menyindirku. Aku hanya tertawa kecil mendengarnya.
“kamu
mencari calon istri seperti apa sih Adrian?”kali ini seorang Pamanku yang
bertanya.
Sepertinya
acara kumpul keluarga dengan tema ‘Memintaku Menikah’ masih terus berlanjut.
Bukan hanya para ibu yang tertarik, bahkan sekarang para lelaki juga sudah
tertarik.
“aku
tidak memiliki kriteria tertentu, Om”jawabku.
“kalau
begitu mau om kenalkan dengan keponakan teman om?”satu lagi Mak Comblang baru.
“waah!
Boleh tuh om. Dikenalkannya secepatnya yaa!”sepupuku itu langsung semangat 46
kembali. “anaknya cantik kan om?”lanjutnya.
“tentu
saja cantik”
Mereka
akhirnya berbicara mengenai wanita itu. Aku tidak mendengar lagi apa yang
mereka bicarakan. Aku kembali berjelajah dalam duniaku sendiri. Apakah aku
begitu menyedihkan sehingga mereka semua sangat semangat mencarikanku jodoh?
Apakah aku benar-benar tak sanggup mencari jodohku sendiri?
***
Hari
pertemuan tiba. Tidak seperti wanita-wanita yang dikenalkan sepupuku selama ini
yang mana aku bertemu dengan sebagian di antara mereka –jika sempat di
Makassar. Kali ini aku akan bertemu dengannya di Kendari, kota tempatku
bertugas. Wanita yang dikenalkan Om ku itu. Melihat foto yang diberikan padaku,
soal fisik tak perlu ditanya. Masalahnya adalah usianya yang masih sangat muda.
Dia masih menginjak usia 19 tahun. Aku tak yakin apakah dia mau denganku yang
sudah berusia 31 tahun. Perbedaan usia kami sangat kontras. Aku juga tidak
mencari pacar tapi seorang istri. Melihat usianya yang begitu muda, dia mungkin
masih seperti remaja pada umumnya yang masih ingin menikmati masa mudanya
dengan mengemas kisah cintanya dalam ikatan yang tidak terlalu serius.
***
Untuk
pertama kalinya dalam sejarah hidupku, aku dapat tersenyum tidak jelas karena
wanita. Ternyata seperti ini yang dirasakan para pemuda-pemudi. Dari dulu aku
selalu menganggap mereka berlebihan mengekspresikan cintanya tapi mungkin aku
harus mengubah pandanganku. Tidak seperti perkiraanku sebelumnya. Semua
ekspektasiku meleset. 100%. Bahkan ekspektasiku bahwa dia adalah wanita yang
cantik salah. Dia lebih dari wanita cantik, dia adalah bidadari. Usianya
mungkin 19 tapi kepribadiannya sangat dewasa. Mira, nama wanita itu. Pada
pertemuan pertama aku resmi jatuh cinta.
***
Wanita
yang tepat itu ternyata di antar Allah melalui tangan Pamanku, bukan dari
sepupuku yang selama ini selalu mencarikanku wanita. Namun aku tetap berterima
kasih kepadanya. Setelah hampir 2 tahun menjalin kasih, keluargaku mulai
kembali mendesak agar aku segera menikah. Memang persyaratan 2 tahun yang lalu
antara aku dan Mira adalah kami tidak akan segera menikah. Dia ingin
menyelesaikan kuliahnya terlebih dahulu. Kini, setelah hampir 2 tahun dia akan
segera lulus. Dia 21, aku 33.
***
Selama
2 tahun keluargaku hanya mengenal Mira saja dan hanya beberapa kali mereka
bertemu. Mereka belum mengenal keluarganya. Yang mereka ketahui hanyalah bahwa
Mira adalah keponakan teman pamanku. Mereka tidak tahu satu hal bahwa Mira
adalah anak Bos Pamanku. Awalnya aku tidak melihatnya menjadi satu masalah.
Sampai keluargaku mulai mengorek lebih dalam mengenai Mira.
Mira
sama sepertiku, masih keturunan Bugis. Bedanya, dia keturunan bangsawan
sementara aku hanyalah lelaki biasa yang berkawan dengan lautan. Dalam adat
kami, bangsawan bugis selalu mendahului nama mereka dengan kata “Andi”. Suatu
kehormatan yang selalu bangsawan junjung tinggi. Pemberian kata “Andi”
tergantung orang tua mereka. Jika bangsawan menikah dengan sesama bangsawan
maka bisa dikatakan anaknya adalah bangsawan tulen. Jika lelaki bangsawan
menikah dengan wanita biasa, anaknya juga tetap diberi gelar “Andi”. Jika
wanita bangsawan menikah dengan lelaki biasa, maka seperti yang masyarakat
lakukan anaknya tidak diberi gelar “Andi”.
Melihat
silsilah keluarga Mira, keluargaku mulai khawatir. Di tanah Bugis, dibutuhkan
keberanian besar bagi seorang lelaki biasa untuk bisa meminang gadis keturunan
bangsawan (yang sangat jarang terjadi). Para rakyat biasa sangat merendah
terhadap bangsawan. Lelaki bangsawan yang jatuh cinta dengan wanita biasa
sangat halal. Suatu kehormatan bagi wanita itu. Namun, lelaki biasa jatuh cinta
dengan wanita bangsawan.... Adat di tanah kami sangat keras.
***
Pertemuan
keluarga 2 tahun berikutnya.
“kami
tahu sangat sulit bagimu menemukan wanita yang tepat seperti Mira tapi usiamu
masih terbilang muda untuk disebut perjaka tua. Pamanmu akan segera menemukan
wanita yang tepat untukmu”tema hari ini masih sama seperti tema pembicaraan
tahun-tahun sebelumnya. Walau 2 tahun belakangan, tema itu tidak terlalu sering
diangkat lagi. “masih terbilang muda”?
apa kabar dengan kekhawatiran mereka dulu?
“itu
benar. Kamu masih 33, perjaka tua itu jika umurnya sudah mencapai 40 tahun”kata
tanteku yang lain. Perasaanku mulai tidak enak. Kakiku ingin mengatakan
seharusnya tadi aku tidak melangkah ke tempat ini.
“kamu
tahu kan Mira itu bangsawan yang kedudukannya cukup tinggi. Keluarganya juga
berada. Sementara kita hanyalah masyarakat biasa. Bukankah terlalu muluk jika
kita mengharapkan dia? Mempe bosi*”
mendengar pribahasa yang dikeluarkan seorang tanteku aku seperti ingin meledak.
“itu
benar Adrian, bangsawan seperti Mira tentu keluarganya juga mengharapkan
bangsawan seperti mereka bukan orang biasa seperti kita”
“kita
di mata mereka tidak ada apa-apanya”
“kita
tidak sanggup melamar Mira untukmu”poin utama yang ingin mereka sampaikan dari
tadi telah keluar.
“kita
semua tentu sudah tahu jawabannya, percuma melamar kepada mereka”bintang utama
memainkan perannya. Cukup untuk mengacak-acak organ-organ tubuhku. Berpindah
bukan pada tempatnya.
“Mira
mungkin bukan jodohmu”
***
Tuhan
Maha Adil. Begitu yang selalu kudengar dari orang-orang. Orang baik akan
mendapat kebaikan dan orang jahat akan kena batunya. Tapi mengapa pribahasa itu
tidak berlaku bagi saudara sepupuku? Aku tahu dia. Dia orang yang
sangat..sangat...sangat baik. Tak ada kata untuk menggambarkan kebaikannya. Dia
hampir sempurna. Taat beragama, taat berbagi pada fakir miskin walau kadang ia
tak mampu melakukannya secara langsung, senang berbagi dan selalu menolong
keluarganya yang kesusahan terutama dalam masalah financial.
Hidupnya
terbilang sempurna kecuali satu hal. Mengapa kisah cintanya begitu rumit?
Mengapa orang yang tepat itu tak kunjung datang? Tapi aku percaya Tuhan itu
adil. Akan selalu ada hikmah di balik semua ini. Pribahasa itu juga tak salah.
Orang baik pada akhirnya akan mendapat kebaikan. Jika sekarang ia tidak medapat
kebaikan, mungkin ini bukanlah akhir.
***
“di
era modern ini, sepertiya kekhawatiran keluarga terlalu berlebihan. Adat sudah
tidak sekuat dulu, sudah tidak sekeras di zaman mereka”kata sepupuku yang aku
tahu mencoba menguatkan.
“mereka
lebih tahu adat dibandingkan aku”jawabku lesu.
“jadi
kamu mau menyerah begitu saja?”aku diam “bertahun-tahun kamu mencari wanita
seperti Mira dan setelah kamu menemukannya kamu mau meninggalkannya begitu saja
karena adat tidak jelas?”
“adat
itu jelas, Alila! Sangat jelas. Budaya kita. Jangan karena zaman, kau melupakan
adatmu!”
“aku
bukan melupakannya, tapi ada saatnya adat itu bisa dilanggar. Bukankah tidak
ada salahnya kita mencoba melamar Mira? Kalau Mira juga mencintaimu dia pasti
akan menerimamu tak peduli keluarganya berkata apa.”
“apapun
yang Mira katakan takkan mengubah pendapat mereka. Kamu juga tidak mau kan
keluarga kita menanggung malu karena begitu berani melamar anak bangsawan
kemudian ditolak?”kataku
“kamu
selama ini tidak mencintai Mira sampai dengan mudahnya melepasnya karena
adat?”tuduhnya. aku hanya menatapnya tajam. Ia diam, aku tahu ia mengerti
tatapanku. Soal cinta pada Mira seharusnya tak perlu ia tanyakan. Ia tahu
segalanya tentangku.
“mungkin
kita harus mulai dari awal. Kamu mau wanita yang seperti apa?”
***THE END***
*Mempe Bosi (memanjat
hujan): pribahasa orang bugis yang menyatakan ketidakmungkinan. Seperti lelaki
biasa yang ingin meminang bangsawan,tidak mungkin diterima oleh keluarga
bangsawan itu.
Kamis, 14 Januari 2016
Komentar
Posting Komentar