H I J R A H
Artinya Pindah. Maksudnya berpindah dari kegelapan menuju ke arah yang
lebih baik. Sering disebut hidayah, dan dinantikan bukan mencari. Namun keliru,
hidayah itu menanti untuk ditemukan yang sebenarnya telah ada dalam diri. Di umur
yang semakin bertambah, tentulah kesadaran diri meningkat. Di saat teman
sebayaku mulai menata hati serapi buku
perpustakaan dan diterangi beribu lilin, aku malah merasa hatiku menggelap.
Pembeda manusia dengan makhluk lainnya adalah nurani,
perasaan. Maka manusia disebut makhluk yang sempurna. Maka tak heran dan
wajarlah jika ada perasaan tertarik kepada lawan jenis. Allah swt memang
menciptakan manusia berpasang-pasangan demi kehidupan yang bahagia, tentram,
dan harmonis tentu saja dalam ikatan yang diridhoi Allah yaitu pernikahan.
Zaman sekarang, mungkin sedang
tren nikah muda. Bagi orang-orang yang mampu, hal tersebut tentu baik-baik saja
namun bagaimana jika menikah karena keterpaksaan? Yah ini Indonesia, negara
Timur dengan paham Barat yang menjadi kiblat. Sungguh ironi memang. Namun,
menikah di usia yang seharusnya tentu lebih baik dari segalanya bukan? Lalu bagaimana
menyikapi perasaan yang muncul begitu saja? Perasaan yang amat wajar bagi usia
para remaja. Tak ada yang patut disalahkan. Menurut yang aku baca, kita hanya
perlu mencinta dalam diam dan menyatakannya kepada Allah hingga saatnya tiba
dimana kita telah siap berada dalam ikatan halal. Aku memahaminya betul. Lalu bagaimana
denganku sekarang?
Aku
menutup buku harianku. Keluh kesah yang selalu menghantui setiap hariku. Aku bukan
manusia robot yang tak punya perasaan. Tentu aku pernah mencinta, namun selalu
dalam lindungan-Nya. Bukankah mencintai dalam diam itu lebih baik? Mungkin sebuah
alasan untuk cinta tak sampai. Hingga akhirnya ku menutup hati dan membentengi
diri dengan berlapis baja dan gunung es. Namun beberapa waktu yang lalu...
***
Ku
lihat teman-temanku tertawa cekikikan di belakangku. Apa ada yang salah
denganku? Sedangkan lelaki di hadapanku entah bagaimana tubuhnya telah dipenuhi
peluh yang entah diguyur oleh siapa. Aku hanya menatapnya heran.
“kalo
gitu aku duluan ya!”kata lelaki sipit di depanku. Aku hanya mengangguk. Dia pun
mengambil arah di sebelah kananku. Kemudian setelah beberapa langkah, berbalik
arah dan melewati sebelah kiriku “salah jalan”ucapnya cengengesan. Kemudian berlalu.
Aku tertawa pelan melihat tingkah laku lelaki yang lebih muda dariku itu.
“dia
kenapa sih?”tanyaku kepada teman-temanku saat mereka duduk di sampingku.
“lagi
salting tuh dia pfft”jawab salah satu temanku masih dengan sisa-sisa tawanya.
Aku
menatap punggung lelaki tadi dari kejauhan.
***
Saat
ini kelasku tengah dihebohkan dan digemparkan oleh sesuatu yang tak aku sukai. Aku
mencoba tak peduli dan tetap memasang wajah datar. Khasku ketika ada seseorang
yang menyukaiku. Aneh? Ya aku tahu. Tapi itu adalah caraku untuk mempertahankan
diri. Memasuki bangku universitas aku sungguh tak tertarik dengan romantika
remaja belasan tahun. Namun belum beberapa bulan, ada seseorang yang mengusik
ketenanganku dan melipat gandakan baja serta es yang membentengi hatiku. Aku terbilang
orang cuek, dingin, dan kasar. Sifat-sifat yang teman sekolahku minta diubah. Aku
sedang masa percobaan namun dia merusak segalanya. Sifat lamaku kembali dan aku
sungguh tak peduli. Dengan jelas kupatok batas, dengan kasat mata kulayangkan
tatapan kebencian, dengan kasarnya kuucapkan penolakan. Aku sedikit terkesan
dengannya yang tak goyah meski telah kupasang jarak ratusan kilo. Cara yang
sebelumnya selalu ampuh. Yang kudapati malah kata-kata pujiannya saat ia
membicarakanku dengan teman yang lain. orang ini sudah gila.
Pernah
suatu hari aku sedang butuh pertolongan, entah sial atau takdir dia adalah
orang yang dimintai tolong oleh semua orang. Dengan berat hati, ku minta
pertolongannya. Dan dia dengan senang hati menolong. Aku sudah seperti orang
jahat. Datang padanya saat butuh dan dia selalu siaga walau pergantian hari
telah di depan mata serta menempuh jarak yang tidak dekat. Belakangan aku tahu,
dia orang yang baik. Baiklah, menjadikan adik tidak masalah.
Dia : tugas bahasa
indonesia kamu udah jadi belum?
Aku : udah
Dia : boleh nyontek?
tanpa banyak bicara langsung ku
kirimkan tugasku.
Dia : makasih. J
Otak jail kembali muncul.
Aku : masama diks.
Aku
tahu dia takkan menyukai panggilan itu. Dengan demikian aku berharap dia akan
mengakhiri segalanya. Ternyata benar.
“kamu
manggil dia ‘adik’ ya?”tanya temanku
“iya”jawabku
“ya
ampun kamu jahat banget sih”kata teman yang lainnya dengan wajah ngeri.
“aku
kan memang lebih tua dari dia”jawabku. Kedua temanku hanya menatapku heran
sambil geleng-geleng kepala.
Berbagai
modus dan tabiat anehnya kurasa telah berkurang, sepertinya dia telah menyerah.
Percayalah terbesit rasa senang dan sedikit.. kecewa? Ah aku tidak bermaksud
kecewa. Hanya saya semudah itu dia menyerah. Setidaknya bagiku, meski
teman-temanku mengatakan aku sudah terlalu sulit. Ini baru 2 bulan dan dia
bilang aku terlalu sulit? Maka memang lebih baik untuk mengakhiri segalanya
karena aku tak butuh kalimat sayang dan cinta dari anak kecil. Sungguh aku tak
begitu mengenalnya. Aku hanya tahu namanya dan sering lupa wajahnya yang khas. Kemudian
dia datang membawa sekelabat bisik-bisik tentang aku dengan dia. Aww sungguh
aku tak suka. Atas dasar apa dia mengatakan menyukaiku?
***
Kau bisa
prediksi apa yang terjadi sekarang?
Dia
ternyata anak muda yang gigih dan tak mudah menyerah. Aku pun tak tahu senjata
dan kekuatan apa yang ia gunakan hingga meluluhlantahkan dinding baja dan
gunung es dalam hatiku. Semua mencair mungkin oleh panasnya kota hasil globalisasi. Dan entah mengapa semua berjalan
menjadi... aku tahu tak semestinya namun aku menyukainya. Tahu rasanya orang
yang melanggar peraturan? Separuh hatinya takut dan separuh lagi dipenuhi rasa
senang yang sulit dijelaskan. Mengambil keputusan bukanlah hal yang mudah. Teman
yang sudah kuanggap saudara sudah berulang kali memperingati. Aku tetap
berusaha memberi batasan untuk hatiku, namun yang terjadi sungguh
mencengangkan. Apa ini yang dimaksud cinta itu buta? Cinta? Apa aku harus
menyebutnya demikian? Terlalu cepatkah? Umurku 18. Apa terlalu cepat? Hm sepertinya.
Hatiku terus berjalan jauh meski otak sudah memperingatkan tentang batas. Sudah
dengan jelas menunjukkannya, berteriak dengan keras. Tapi apalah daya hati yang
separuhnya telah diambil makhluk bermata sipit itu, hatiku menjadi tuli dan
buta.
Siang
dan malam terus kupanjatkan doa. Meminta petunjuk atas segalanya. Karena aku
tahu ini salah. Jalan ini salah. Tapi aku tetap menelusurinya. Sang Maha Kuasa
telah beri jawaban, namun aku seakan tutup mata akan jawaban itu. Sungguhlah manusia
makhluk yang tak pernah puas dan menginginkan segala sesuatu sejalan dengannya.
Aku kembali menemukan fakta bahwa perasaan adalah satu-satunya hal/hormon/organ
yang tak dapat dikontrol oleh otak maupun oleh sum-sum tulang belakang. Berkali-kali
keputusan itu akan kuambil dan berkali-kali pula ribuan setan menari di
sekitarku. Aku tak sanggup. Mungkin aku terlalu membencinya dahulu hingga kini
aku terlalu mencintainya.
Aku
merasa hatiku semakin menggelap seiring dengan semakin bersinarnya hati teman
sebayaku. Aku semakin mendekatkan diri pada-Nya namun tahu sebuah kesalahan
yang membayangi. Seluruh dunia seakan bekerja sama dengan para malaikat dengan
memunculkan berbagai petunjuk. Namun ku sungguh telah terperdaya, rencana yang
telah matang-matang kususun ambruk seketika ketika melihatnya. Apa aku terlalu
bodoh? Ataukah aku kurang pengalaman? Bagiku dia terlalu baik dan hampir sempurna
untuk ukuran seorang kekasih. Aku tahu ia menyayangiku begitu pun aku. Semoga aku
tak terperdaya. Semoga yang ia perlihatkan bukan sekadar ilusi semata. Ilusi yang
memunculkan berbagai imajinasi yang menenggelamkan.
***
“aku
takut. Aku salah”kataku sambil menatap bintang-bintang.
“aku
lebih salah”kata seorang teman yang berada di sampingku, juga menatap bintang.
“aku
tahu ini salah namun aku tetap menjalaninya”
“sudah
tak bisa berhenti. Aku salah telah masuk dalam kurungan ini”
“dan
tak bisa kembali”
“sulit
untuk keluar”
“intinya
harusnya memang tak dimulai”
“heh
aku bodoh! Perasaan bodoh”
“salah
kita?”tanyaku? bodoh! Tentu saja.
“sudah kutau salah jalur tapi
tetap menjalaninya”katanya tersenyum kecut.
“sudah
dibutakan dan tak tahu dengan jalur apa bisa selamat”
“hijrah”katanya
kemudian.
“udah
kepikiran tapi entah mengapa belum siap”kataku.
“ntar
tersiksa sendiri. Rindu sama dia”
“emang
harusnya gak pernah dimulai”
“aku
berharap dia pertama dan terakhir”kataku lagi sambil memejamkan mata.
“jangan
bilang begitu”kata temanku. Kulihat matanya berkaca-kaca.
“kenapa?”tanyaku
bingung.
“aku
tak mungkin bersamanya”jawabnya. Hening beberapa saat.
“lalu
mengapa kamu memulainya jika tak berharap dia yang terakhir?”tanyaku.
“aku
tak tahu”jawabnya singkat. “tidak bisakah dia pindah keyakinan?”tanyanya
frustasi. Aku hanya diam dan tetap memandang bintang. Tak tahu harus berkata
apa.
***
Pertemuan
dengannya. Sudah kurancang seribu kata dalam otak. Namun luruh seketika hanya
dengan lihat wajah dan perlakuannya. Aku tetap ingin genggaman erat ini. Tetap butuh
bahunya untuh jadi sandaran. Senang dengan tatapan penuh kasih sayangnya. Mendengar
melodi yang sangat aku suka dari organ yang kadang menyiksanya. Ya Allah,
maafkan aku jika aku terlalu mencintainya. Tetap dekap aku. Aku tak ingin
mencintainya melebihi aku mencintai-Mu.
***
������
BalasHapus