Keluarga lengkap, kasih sayang penuh dari segala penjuru, kebutuhan ekonomi yang lebih dari cukup, teman yang banyak, segala kriteria untuk mencapai kebahagiaan sudah sempurna terpenuhi. Itulah kehidupan Amrah Ma’wa, seorang gadis biasa-biasa yang lahir dari keluarga yang sempurna. Ia merasa sangat bersyukur dengan kehidupan yang ia punya. Jika reinkarnasi nanti ia tetap memilih untuk menjadi Amrah Ma’wa dengan kehidupan yang ia jalani sekarang. Amrah hidup di sebuah kompleks perumahan elit, ayahnya adalah seorang Jaksa dan ibunya adalah wanita kuat yang mengerjakan banyak hal di rumah yang bagi Amrah merupakan pekerjaan terberat dari seluruh pekerjaan yang ada di muka bumi. Amrah memiliki seorang kakak perempuan bernama Annisa yang berprofesi sebagai Polisi Wanita.
Amrah selalu merasa kagum dengan profesi ayah dan kakaknya. Ayahnya yang bekerja sebagai Jaksa memang sangat jarang berada di rumah. Pagi, siang, sore dan malam waktunya dihabiskan di kantor dan lapangan. Ia bertindak sebagai pembasmi kejahatan, membuat banyak keputusan penting sebelum sampai ke meja hakim yang tentunya menjadi penentu kehidupan orang tersebut kelak sehingga ayahnya harus berhati-hati dan tidak boleh salah dalam memutuskan. Amrah sangat bangga dengan ayahnya yang bekerja untuk kebenaran, melindungi keadilan di negeri ini dan menumpas kejahatan. Meskipun itu juga berarti Amrah sangat jarang bertemu dengan ayahnya.
Kemudian kakak perempuannya yang memilih polisi sebagai pekerjaannya. Annisa merupakan gadis feminine pada umumnya sehingga saat pertama kali mengetahui keinginan Annisa menjadi polisi membuat seluruh anggota keluarga mereka terkejut. Namun sekarang Annisa benar-benar bisa memberikan bukti nyata bahwa ia mampu menumpas kejahatan meskipun ia adalah perempuan. Sekarang bukan lagi zaman hanya lelaki yang boleh memegang senjata, perempuan juga bisa melakukannya. Amrah kagum pada sosok kuat kakaknya yang rela berdiri di atas kebenaran meskipun banyak yang memusuhi. Negeri mereka sedang kacau balau, apparat hokum seperti ayah dan kakaknya terkadang tidak dipercayai bahkan sering diolok-olok. Tak pernah mereka bayangkan bagaimana perasaan Amrah dan Ibunya beserta keluarga serupa yang lain ketika ayahnya dan terutama kakaknya berada di lapangan untuk bertugas, doa selalu terkirimkan untuk keduanya. Terutama dengan fakta masyarakat yang semakin anarkis dan bisa saja melakukan berbagai macam cara membuat keluarga semakin ketar-ketir. Annisa bahkan tidak pernah di rumah ketika hari besar datang, ia harus siap siaga menjaga orang lain di luar sana dan memastikan mereka menjalani hari raya dengan aman dan damai. Tahun berganti dan keluarga sudah semakin terbiasa dengan ketidakhadiran Annisa pada perayaan apa pun. Bagi Amrah, Annisa dan teman sejawatnya adalah orang-orang yang hebat.
Amrah sendiri selalu merasa khawatir akan masa depannya. Ia adalah gadis biasa-biasa saja, ketika ia mengatakannya ia tidak mencoba untuk merendah tetapi ia memang benar-benar biasa. Tak ada yang special darinya. Ia selalu belajar keras lebih dari yang lain tetapi nilainya tetap hanya berada di skala rata-rata membuatnya sangat minder dengan kedua sahabatnya. Ia belajar satu minggu sebelum ujian, mengulang kembali pelajaran sepulang sekolah, malam sebelum sekolah pun ia masih sempat membaca mengenai materi yang akan dipelajari besoknya tetapi tetap saja nilainya biasa-biasa saja. Bukannya ia tidak bersyukur hanya saja ia merasa ia layak mendapatkan sesuatu yang lebih. Seorang kawannya bahkan sangat santai dan jarang belajar tetapi setiap ujian nilainya tetap memasuki jajaran tertinggi di kelasnya. Apakah memang otaknya yang biasa-biasa saja? Namun bukankah hasil takkan menghianati usaha sementara dia sudah berusaha sebegitu kerasnya?
***
25 Maret 2012
“Ayah belum pulang yah bu?”tanya Amrah pada ibunya di meja makan.
“belum, mungkin nginap di kantor lagi. Akhir-akhir ini sedang banyak kasus”jawab ibu.
“kalau kak Annisa?”
“dia sudah tidur, sepertinya Lelah sekali. Akhir-akhir ini dia sangat kelelahan. Ibu jadi khawatir apa nanti dia bisa dapat suami atau tidak”permasalahan yang selalu dikhawatirkan seluruh Ibu di penjuru negeri mengenai anak perempuannya yang sudah berusia matang namun tak kunjung menikah.
“nanti kalau udah ketemu jodohnya bakal nikah kok bu. Tenang aja”ucapan yang ke-583 kalinya Amrah ucapkan pada ibunya.
“tapi tetap saja Amrah, usia kakakmu sudah 27 tahun. Apakah itu tidak terlalu tua untuk wanita yang belum menikah? Pacar saja dia tidak punya, bagaimana tidak, dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya”
“sudahlah bu. Mungkin kak Annisa ingin menikmati masa-masa lajangnya dulu, masa meniti karirnya, masa menikmati pekerjaannya. Kalau nanti sudah menikah pasti akan sangat berbeda bu. Biarkan dia nikmati setiap masanya selama yang ia mau”
“tapi teman SMPnya rata-rata sudah menikah semua. Itu si Ani teman SMAnya juga sudah sebar undangan. Ibu suka bingung kalau ditanya orang-orang kapan nimang cucu”
Amrah sebenarnya sudah Lelah dengan pembahasan yang ke sekian kalinya ini. “bu, semua orang punya masanya. Di usia yang sama ada teman Kak Annisa yang sudah punya anak, ada yang sudah menikah dan menikmati masa-masa bersama suaminya, ada yang mempersiapkan pernikahan dan ada pula yang seperti kak Annisa yang masih menikmati karirnya. Semuanya punya masa bu, tak perlu dibandingkan. Mungkin masih bukan waktunya kak Annisa menikah, menimang bayi, mungkin waktunya masih berkutat dalam menikmati karir, menjalaninya dengan hati gembira. Tak ada yang perlu dibandingkan, semua orang punya jalannya masing-masing, semua punya waktunya masing-masing”dan begitulah Amrah selalu mengakhiri pembicaraan yang serupa.
***
30 Maret 2012
“kamu dapat berapa?”
“sumpah yah B+, padahal aku sudah merasa mengerjakan tugas dengan sangat baik. Aku sudah baca lima kali sebelum dikumpulkan tapi masa cuma dikasi B+?”ujar Amrah protes.
“yaelah santai aja kali. Aku malah dapet C biasa aja kok. Cuma tugas secuil, nanti juga bisa diperbaiki di tugas selanjutnya”ucap Khairah tenang, seperti biasa.
“di tugas yang lalu kamu juga ngomong gitu”kata Dhiya Sarkatik. Khairah hanya cengengesan.
Amrah masih tak habis pikir apa yang salah dengan tugasnya padahal ia merasa telah mengerjakannya sebaik mungkin. Dhiya saja yang biasa-biasa saja bisa dapat A- sedangkan dia?
“aku bahkan udah baca tugasku 8 kali sebelum dikumpul”
Ahh, sekeras-kerasnya ia berusaha, orang lain tetap berusaha lebih keras darinya. Maka itu berarti dia harus berusaha jauh lebih keras lagi.
***
“kenapa lo? Lagi ada masalah?”suara berat datang mengganggu rutinitasnya.
“kamu dapat nilai apa di tugas Pak Wijaya?”tanya Amrah tanpa melepas pandangan dari pekerjaannya,
“A”jawab suara berat itu santai. Amrah mendengus kesal.
“kalau kamu?”tanyanya pada seorang yang datang bersamanya. Tanpa melihat pun Amrah tahu dia juga akan ikut kemana lelaki bersuara berat itu pergi.
“A”jawab orang yang ditanya.
“ih sumpah ya, kamu baca tugasnya berapa kali sebelum dikumpul?”
“emang harus dibaca ya? Aku Cuma ngerjain terus kumpul. Ah aku lupa untuk baca ulang sih hehe”ujarnya sambil cengengesan menggaruk kepala yang membuat Amrah ingin sekali menjitaknya. Tidak, ia bahkan berusaha lebih keras tetapi tetap saja ketika berhadapan dengan dua makhluk tidak pekerja keras ini ia selalu kalah.
“nilai lo jelek ya sampe harus ngegambar gitu?”ujar suara berat yang pertama tadi
“B+”jawab Amrah lesu.
“loh itu juga bagus kok. Kukira malah dapat D, habis kamu lesu banget”
“tau nih, gak bersyukur banget sih lo”
Kali ini Amrah benar-benar memukul kepala keduanya dengan buku yang ia pegang sedari tadi. Suara mengaduh tertahan keluar dari bibir keduanya.
“aku tuh udah ngerjain tugasnya Pak Wijaya dua minggu sebelum dikumpul, aku riset berhari-hari, aku baca lima kali sebelum dikumpulin tapi masa nilai aku lebih rendah dari kalian yang sangat tidak berusaha ini sih”
“berarti kamu harus lebih santai lagi. Relax”
“itu sudah mode santai”kedua lelaki itu memutar bola matanya.
“wahh gambar kamu lebih baik dari sebelumnya”akhirnya lelaki itu menyerah dan mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
“lo sedepresi itu ya sampe bukunya hampir penuh gitu?”
Amrah melihat lembaran-lembaran yang telah ia isi. Setiap lembaran menyiratkan rasa sedih, stress dan depresi yang ia alami. Setiap goresan dan coretan yang ia bubuhkan melambangkan kekalutan yang Amrah punya. Bersama dengan terciptanya sebuah gambar yang utuh, sedikit demi sedikit kegaduhan dalam hati Amrah memudar. Terima kasih Zivon, Kasil, sudah mengingatkan.
***
Komentar
Posting Komentar