Hidup bagaikan dua sisi mata uang. Simtetri, dekat namun sangat berbeda.
***
14 Februari 2013
Tetesan air menghantam jalanan menyaingi kegaduhan di luar pagar rumah besar Keluarga Solihin. Sejak pukul tiga sore tadi, rumah besar itu seakan dikepung oleh manusia-manusia yang membawa kamera, berpakaian rapi, alat perekam, microfon serta mobil van besar yang mencetak kantor kebanggaan mereka. Bahkan, ketika hujan deras mulai mengguyur, mereka mengeluarkan payung dan berjas hujan tanpa niat sedikit pun meninggalkan tempat mereka. Puluhan orang itu tanpa henti berteriak-teriak meminta penjelasan walau sudah dua jam tanpa hasil. Mereka tidak bisa menyerah, apabila harus menginap di tempat itu akan mereka lakukan demi secuil informasi penting yang akan mengguncang negeri.
Suasana di dalam rumah tampak tak ada bedanya, grasak grusuk serta wajah-wajah cemas berlalu lalang, telepon berdering bersahut-sahutan.
“reporter-reporter itu sulit diatur, mereka takkan pergi tanpa informasi apa-apa”ucap seorang pria berbadan gempal dengan rambut belah tengah.
“tidak ada informasi yang bisa kita berikan”ucap nada tegas dari lelaki berperawakan menawan dan terhormat.
“saya dengar mereka sudah dalam perjalanan kemari”ucap lelaki lain dengan perut buncit.
“saya hanya akan melewati reporter itu. Yang dapat saya lakukan hanya menebar senyum penuh pesona dan kalian bereskan semuanya”
“tapi pak, sepertinya anda harus meminta maaf kepada masyarakat. Mungkin itu dapat sedikit membantu mengeringkan luka mereka”kembali lelaki berbadan gempal mengingatkan.
“kalau saya minta maaf berarti saya mengakui segala perbuatan yang dituduhkan kepada saya. Itu tugas kalian untuk membuat saya seolah-olah difitnah oleh orang-orang kurang kerjaan itu. Kita belum tahu apa saja yang mereka punya, jadi saya tidak bisa buka mulut”
“baik pak, kami mengerti”
Di luar sana barisan rapat reporter yang haus akan informasi terbelah oleh suara sirine yang dikenali seluruh penduduk negeri. Hal tersebut membuat mereka bersemangat, akhirnya ada pertunjukkan yang bisa mereka suguhkan. Cepat-cepat mereka menyiapkan kamera dan alat perekam lainnya, inilah yang mereka tunggu-tunggu sedari tadi.
***
Dia tidak ingat betul kejadian yang baru saja menimpanya. Rasanya waktu berputar terlalu cepat lebih dari biasanya, ia seperti tersedot dalam lubang hitam dan di sinilah ia sekarang. Kantor polisi. Dia menatap jam yang melekat di dinding ruangan itu, sudah pukul 19.00 yang artinya sudah 12 jam ia meninggalkan rumah dan tak pulang-pulang. Sebenarnya apa yang terjadi? Seingatnya tadi pagi ia berpamitan kepada anak dan cucunya untuk berangkat bekerja, makan siang sebentar dari bekal yang dibuat anaknya kemudian sore-sore seperti biasa ia ke laut untuk mencari kerang yang mungkin bisa dijual atau sebagai menu makan malam. Lalu mengapa ia bisa tiba di kantor polisi? Ia akhirnya ingat bahwa ada hal ganjil yang terjadi padanya sore tadi.
Meskipun pantai tersebut kurang terawat dan banyak sampah-sampah di sekitarnya namun kehadiran ular di daerah tersebut merupakan sesuatu yang amat ganjil. Ia cukup kaget dengan kehadiran hewan bertubuh panjang tersebut dengan mata menatap tajam ke arahnya. Naluri bertahan hidupnya akhirnya menyeret kaki tua rentanya untuk menjauhi hewan tersebut. Ia tahu hewan tersebut takkan tinggal diam membiarkan mangsanya lari. Mungkin ular itu terlalu kelaparan sehingga tubuh yang hanya tinggal tulang dilapisi kulit pun tetap elok di matanya. Kasim, nama lelaki tua itu akhirnya tak kuat lagi berlari. Ia segera menebang akar-akar mangrove yang mencuat dan menggunakannya sebagai senjata melawan ular tersebut. Hari ini dia jadi pembunuh, setidaknya nyawanya masih aman. Dia harus hidup agar anak cucunya bisa makan dan sekolah. Sayangnya, beberapa menit setelah pergumulan dengan hewan panjang, ia menemui masalah baru.
“Pak, anda harus ikut kami ke kantor polisi”tanpa tedeng aling, pria berseragam polisi dan berusia lanjut mengatakan hal mengejutkan kepadanya.
“tapi apa salah saya pak?”apakah membunuh ular juga bisa membuat orang masuk kantor polisi?
“anda telah melanggar UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pasir dan Pulau-pulau terluar. Anda menebang mangrove di daerah yang dilindungi. Sekarang ikut kami ke kantor polisi, anda bisa menjelaskannya di sana”ucap lelaki berseragam itu lagi sambil memasang borgol di tangan Kasim.
Di sinilah Kasim sekarang. Ia sudah menjelaskan semua yang ia alami hari ini, mengenai keputusasaannya menghadapi ular yang seakan sudah sangat siap menerkamnya sehingga harus memukulnya dengan batang mangrove. Harusnya ia memukulnya dengan parang saja tetapi lelaki tua itu terlalu takut melihat darah yang terlalu banyak. Harusnya lebih baik ia saja yang pingsan bersama dengan matinya ular itu. Sekarang ia tak kunjung diizinkan pulang.
***
“Pemirsa, saat ini saya sedang berada di depan rumah Hartono Solihin seorang politikus yang terkenal karena keramahannya dan sangat aktif dalam acara-acara amal…”
“beliau juga merupakan donatur tetap dari beberapa Yayasan panti asuhan di negeri ini…”
“saat ini mobil polisi sudah memasuki gerbang rumah Hartono. Hartono Solihin saat ini tersandung kasus korupsi pembangunan sekolah amal untuk penderita kanker…”
“apakah semua yang dituduhkan kepadanya benar? Apakah selama ini ia hanya memasang topeng malaikat penyelamat dan kemudian tega merenggut hak-hak masyarakat?” apakah….”
“PEMIRSAA, sekarang bisa anda lihat itu adalah Hartono Solihin yang dibawa oleh kepolisian…”
“Pak Hartono…bisa beri penjelasan sedkit pak?”
“Pak, apa benar anda menggelapkan uang pembangunan sekolah amal untuk penderita kanker yang mana uangnya juga banyak berasal dari sumbangan masyarakat?”
“bagaimana perasaan bapak saat ini?”
“kenapa bapak melakukan ini?”
“apakah bapak tidak malu?”
“dimana istri dan anak bapak?”
“pak tolong bicara sedikit saja pak”
“pak hartono..”
“pakk..”
“pak…”
PLAK! Suara pintu mobil dibanting oleh kepolisian.
“tidak ada komentar”hanya itu yang mereka ucapkan.
“pak sedikit saja pak”
“pak..”namun bukan reporter namanya apabila mereka menyerah dan membiarkan mangsa yang mereka tunggui berjam-jam lamanya pergi begitu saja tanpa sedikit pun penjelasan.
Mereka masih saja menggedor-gedor pintu mobil yang membawa Hartono Solihin berharap kaca mobil itu akan terbuka dan mereka akan mendapat doorprize. Sayang sekali, tapi itu takkan terjadi. Wajah Hartono Solihin kembali datar setelah sepanjang perjalanan dari depan pintunya sampai pintu mobil ia mencoba tersenyum ramah. Urusan ini harus segera diselesaikan dengan rapi, batinnya.
***
“Kakekk!!”terdengar suara seorang remaja tanggung di kantor sempit tersebut.
“pak apa yang terjadi pak? Kenapa bisa seperti ini?”seorang wanita paruh baya yang datang bersama remaja tersebut langsung memegang tangan kakek tua itu.
“bapak juga nda tau”ucap Kasim dengan wajah menunduk dalam. Ia sangat malu dan merasa bersalah melihat anak dan cucunya harus datang ke tempat ini karena ia bermasalah. “bapak nda tau kalau ada hukum seperti itu”ucapnya lagi.
“Pak, kakek saya tidak lulus sekolah. Dia mana tahu adanya hukum seperti itu. Bapak harus membebaskannya”kata remaja tanggung tersebut ke Polisi di depannya.
“akan kami pertimbangkan”ucap Polisi tersebut.
“Kenapa harus dipertimbangkan pak? Jelas-jelas kakek saya tidak salah. Dia tidak tahu menahu soal ini, dia buta hukum. Dia hanya mencoba untuk bertahan hidup”
“maka dari itu akan kami pertimbangkan, karena hukum tetaplah hukum. Apabila kakek kamu dibebaskan dengan dalih dia tidak tahu, lalu jika pelanggaran serupa terjadi maka pelanggarnya akan dengan mudah mengatakan tidak tahu. Lalu hukum hanya ada di atas kertas. Yang disalahkan siap? Aparat hukum lagi.”
Remaja itu tersenyum miring “coba bapak lakukan itu pada kejahatan kelas kakap seperti korupsi. Bapak dan teman-teman bapak sangat lurus dan tegas pada kami masyarakat bawah tetapi seakan buta hukum pada orang-orang berpangkat tinggi. Ini yang dinamakan keadilan? Ini tugas bapak?”tangan polisi itu sudah di udara ketika wanita paruh baya meneriakinya.
“KASILL! Kita serahkan semua pada yang berwenang”ucap wanita tersebut dengan wajah merah padam.
“tapi bu…”
“sudah Kasil. Ibu bilang diam”akhirnya ia diam. Namun dalam hatinya, ia tidak akan melupakan kejadian ini.
***
20 Agustus 2013
Hartono Solihin akhirnya divonis 8 bulan penjara dan denda sebesar Rp. 10 Milyar atas tindakan korupsi yang terbukti ia lakukan. Akhirnya ia harus meminta maaf kepada masyarakat atas tindakan yang ia lakukan. Tidak masalah, waktu delapan bulan tidak akan terasa, ia bisa meminta segala faslitas yang bisa membuatnya nyaman. Anggap saja cuti beberapa waktu, toh nanti ia akan dengan mudah kembali. Bukankah masyarakat negeri ini pemaaf? Terutama dengan track recordnya kemarin. Ini hanyalah batu kecil yang membuatnya tersandung. 10 milyar? Ah itu hanya angka yang sangat kecil. Selepas dari sini, ia akan mengumpulkan lebih banyak pundi-pundi rupiah. Sekarang tinggal bagaimana ia memasang wajah penuh rasa bersalah di depan awak media.
“saya meminta maaf sebesar-besarnya atas semua yang telah saya lakukan. Saya tahu saya sangat bodoh telah melakukan hal keji seperti itu. Saya merasa sangat bersalah telah menipu banyak orang. Saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Ini sebagai pembelajaran bagi saya, pembelajaran yang sangat berharga”ucapnya dengan wajah menunduk dalam.
Layar televisi super besar yang menampilkan wajah lelaki berkarisma yang begitu dielu-elukan masyarakat itu segera dibuat gelap oleh remaja lelaki usia belasan. Ia tersenyum miring. Semudah itu. Ia bahkan tidak terlihat tulus sama sekali mengucap maaf. Dan tolonglah jaksa dan hakim yang terhormat, 8 bulan? Apakah ini kasus pencurian uang sebesar 500 ribu? Mereka benar-benar buta. Orang itu sudah mencuri triliunan rupiah. Bahkan denda yang diberikan pun hanya sekian persen dari uang yang ia ambil dengan cara yang amat menjijikkan. Ia merasa sangat muak dengan semua drama ini. Orang itu bukan manusia, setelah delapan bulan nanti dia akan kembali lagi dan menguras lebih banyak lagi. Remaja itu masih terus mencoba berpikir dengan otak cerdasnya, apa hukuman yang tepat bagi orang-orang seperti itu? Sesuatu yang mereka kerjakan itu adalah candu. Mereka tidak akan berhenti sampai bisa membeli satu negara beserta isinya dan ia yang menjadi Tuhannya. Sinting. Hukuman mati? Tentu saja itu akan ditentang habis-habisan para penegak hak asasi, padahal orang-orang itu juga tidak memikirkan hak asasi orang lain. Oh benar, kejahatan tidak harus dibalas dengan kejahatan. Maka dari itu kejahatan terus bertumbuh dan merajalela. Baiklah, mungkin hanya alam dan pencipta-Nya yang bisa menghukumnya. Sayang sekali, ia hanyalah makhluk lemah yang tidak bisa melakukan apa-apa.
“Zivon, mami mau pergi jenguk papi. Ayo ikut!”suara lembut tapi tegas membuyarkan lamunannya.
“Zivon ada kerjaan mi. mami duluan aja”
“sayang, kalau kamu butuh uang, mami pasti kasih. Kamu gak perlu kerja begini”
Ia tersenyum miring kemudian menatap wanita yang tak lain adalah ibunya “kita sudah bicarakan ini puluhan kali. Aku gak bakal mau nerima sepeser pun uang haram dari dia”
“Zivon, dia tetap papi kamu”
“aku gak butuh papi seperti itu”
“Zivon, kamu…”
“Mona, tak usah memaksanya jika tak mau. Ayo berangkat sebelum jam besuk habis”seseorang di lantai bawah menghentikan perdebatan itu. Wanita itu menatap kembali anaknya.
“kamu tahu kan, papi ngelakuin itu semua karena dia sayang sama kita”ia mengucapkan kalimat terakhirnya kemudian pergi.
Zivon tidak kuasa menahan senyum masamnya. Orang itu tega memberikannya uang haram karena sayang padanya? Ia kembali menatap televisi yang sudah gelap. Aku bukan anak-anak yang bisa dibodohi, batinnya.
***
21 Agustus 2013
Ya benar apa yang diharapkan dari hukum negeri ini? Semua sudah timpang, compang camping dan terluka dimana-dimana. Orang miskin seperti Kasim mana punya kuasa mengendalikan semuanya. Walaupun dia benar ataupun salah sedikit, hukum tetaplah hukum. Ia memang bersalah, ia melanggar peraturan maka ia berhak untuk dihukum. Tidak ada yang salah sebenarnya, kecuali dirinya. Ia yang harus putus sekolah sehingga menjadi tuna-pendidikan. Ia yang lebih memilih bekerja daripada menghabiskan jam-jam genting di bangku sekolah. Toh, dia juga tidak mengerti banyak. Akhirnya seperti inilah. Dia juga bukan siapa-siapa, dia bersalah, dia tidak punya kuasa dan tidak punya uang untuk membayar pengacara mahal yang benar-benar membelanya. Semakin dipikir, semakin jelas bahwa ia bersalah telah meremehkan sekolah. Ia dulu merasa sekolah tidaklah penting. Mau bagaimana pun kita sekolah untuk cari kerja dan dapat uang. Kalau bisa mendapat uang tanpa sekolah, kenapa tidak? Begitulah apabila orientasi sekolah hanya untuk uang, bukan ilmunya.
Sekarang ia harus mendekam di penjara selama 2 tahun. Bukan dirinya yang ia pikirkan, tapi keluarganya. Anak dan cucu-cucunya mengandalkannya, lantas sekarang bagaimana? Dia tidak mungkin membiarkan cucu-cucunya putus sekolah. Mereka tidak boleh seperti dirinya. Siang malam, ia hanya memikirkan hal tersebut. Kasil bahkan sudah di tingkat-tingkat akhir sekolah menengah atas, tinggal sedikit lagi. Dia tidak boleh berhenti sekolah. Semua yang ada di benaknya membuatnya benar-benar putus asa.
“hukum di negeri ini indah sekali. Kemarin malam aku menonton orang korupsi triliunan rupiah kemudian divonis 8 bulan sedangkan Kakek hanya karena mengambil beberapa batang mangrove untuk bertahan hidup dan harus ditahan 2 tahun? Ini gila! Kami yang miskin semakin terdesak dan mereka yang kaya semakin kaya”Kasil menggenggam tinjunya sendiri dengan wajah merah padam.
***
sebagai pemirsa yang melihat dari satu sisi kita akhirnya menggeneralisir keburukan yang dilakukan oleh beberapa oknum~
Komentar
Posting Komentar