Bel
istirahat baru saja berbunyi. Aku mendengarnya sebagai suara malaikat penolong
dimix dengan suara peri-peri kecil
bernyanyi dalam film-film animasi. Aku melangkah keluar kelas dengan wajah
entah apa namanya. Setengah merah setengah coklat. Merah? Merah karena marah
dan malu dan mungkin saja menyesal.
***
“apa?
Aku gak salah dengar tuh? Ikmal melawan guru?”aku begitu terkejut mendengar
sebuah gossip panas yang beredar di sekolah. Ikmal melawan guru. Ikmal
bertengkar dengan guru. Guru killer
musuh semua siswa. Guru sejarah itu? Ini gila.
“iya,
aku liat sendiri dengan kedua mataku. Aku juga tidak tahu pasti apa penyebab
kejadian itu. Yang jelas Ikmal marah besar. Ia sampai keluar kelas dengan wajah
merah semerah air”jawab Silvie, teman sekelas Ikmal.
“Ampun
deh! Sejak kapan air warnanya merah? Yang ada air itu bening”Windy menimpali
“tau
nih Silvie. Kalo bermajas tuh yang bener dikit dong! Yang warna merah itu kan
darah bukan air”
“maksudnya
tuh air darah. Kalian sih, belum juga selesai udah dipotong-potong aja kayak
lintasan kereta api”Silvie membela diri.
Dari
percakapan di atas, dapat disimpulkan bahwa pasti nilai bahasa Indonesia Silvie
begitu buruk. Terutama untuk materi majas. Lupakan nilai bahasa Indonesia
Silvie. Sekarang di mana keberadaan Ikmal? Gossip ini begitu cepat menyebar dan
tentu saja berkembang biak dengan mudahnya. Seperti makhluk hidup, anak tidak
akan pernah semirip induknya. Walaupun ada beberapa sifat yang sama. Begitu
pula dengan gossip ini. Ini adalah rumus para wartawan gossip.
***
Kejadian
tadi begitu cepat menyebar. Padahal yang menyaksikan kejadian tersebut hanya 34
pasang mata dikurangi 2 pasang dariku dan guru sejarah itu. Walau demikian,
cerita itu kini menyebar entah ke berapa ratus pasang telinga. Tentu saja,
cepat atau lambat cerita ini akan terdengar di telinga Julie. Entah apa yang
akan dikatakannya. Apa yang akan dikatakannya? Bodoh! Dia tidak akan peduli.
Berhenti berpikir dirimu begitu penting untuknya.
“Hey
si pelanggar peraturan!”
“Hey!
Baru saja aku memikirkanmu, sekarang kamu sudah berdiri di depanku”
“ciee…
yang mikirin aku. Ngapain kamu mikirin aku? Mending kamu mikirin tuh
pelanggaran yang kamu lakukan. Kamu fikir itu baik?”
“kamu
sendiri. Kamu pikir bolos itu baik?”
“enggaklah”
“enggak
baik, tapi tetap kamu lakukan”
“gak
ada hubungannya. Kenapa kamu bisa ngelakuin hal sebodoh itu?”
“kamu
sendiri dulu kenapa bisa bolos?”
“karena
aku bosan di sekolah”
“mungkin
dengan alasan yang sama. Aku juga bosan dengan pelajaran yang begitu
tenang”nah! Jawaban apa lagi ini? Sekarang aku bisa mendapati wajah Julie hanya
menatapku setengah tidak percaya. “biasa aja kali ngeliatinnya. Kamu pikir aku
hantu apa?”
“menurut
kamu,kamu tidak akan mendapat hukuman
apa?”tanyanya lagi tanpa mempedulikan gurauanku.
“paling
juga diskors”
“diskors?
Dan kamu masih bisa berbicara sesantai itu? percaya sama aku, kamu pasti juga
akan dapat hukuman di rumah”
“iya,
percaya kok”
“kamu
ngelakuin pelanggaran seberat itu dan menanggapinya sesantai ini? Alasan kamu
juga sungguh tidak jelas. Sangat tidak jelas. Bosan dengan ketenangan? Itu
bukan alasan. Aku tidak percaya. Dia guru yang paling ditakuti di sekolah ini.
Kamu akan mendapatkan hukuman dua kali lipat”
“kamu
tahu, mungkin kata-kata kamu dulu benar. Dimarahin sama orang yang disuka itu
gak enak. Walaupun dulu, aku tak begitu percaya” apalagi ini? Ya allah, aku pikir
aku sudah gila. Ini yang dinamakan menyatakan perasaan? Perubahan wajah Julie
terlihat sangat jelas. Wajahnya yang tadi merah sekarang makin merah. Dia
kemudian pergi. Apakah aku berbuat salah?
***
“kamu
tahu, mungkin kata-kata kamu dulu benar. Dimarahin sama orang yang disuka itu
gak enak. Walaupun dulu, aku tak begitu percaya”
Apa
sih yang dikatakan orang ini? Aku rasa dia menjadi sedikit stres karena masalah
ini. Lebih baik aku meninggalkannya sendiri untuk menenangkan pikiran.
***
Sesuai
perkiraan, aku mendapati hukuman yang setimpal yaitu diskors. Mungkin hukuman
itu dapat sedikit meredakan rasa bersalahku. Ini pelanggaran norma susila.
Pelanggarnya menanggung rasa bersalah mendalam. Setelah vonis skors itu, aku
memutuskan untuk mencari Julie. Untuk meminta izin karena tidak akan bertemu
denganku selama beberapa hari. Ingin rasanya aku tertawa sendiri memikirkan
kelakuan bodohku ini.
“jadi
kamu diskors berapa hari?”Tanya Julie padaku begitu aku memberitahunya mengenai
hukuman itu.
“4
hari. Aku dapat libur lebih awal. Ini akan menjadi libur yang berharga
bagiku”jawabku jujur
“jadi,
kita ketemunya setelah libur dua minggu yaa. Aku lupa sebentar lagi kan liburan
kenaikan kelas”
“yup!
Setidaknya, aku tidak harus menerima raportku sendiri”
“kenapa?
Bukankah kamu selalu juara kelas?”
“mungkin
tidak lagi. Kamu sendiri kan yang bilang, kalau berhubungan dengan guru itu
berbahaya sekali. Hukuman bisa menjadi dua kali lipat”
“aku
tidak melihatnya menjadi masalah bagi nilaimu”
“tentu
saja masalah. Sudahlah, tidak usah diperdebatkan masalah itu. kamu jangan
kangen-kangen ya sama aku kalau liburan nanti”balasku menggoda.
“iihh..
Gak akan terjadi” Mungkin benar.
***
2 Minggu 4 hari kemudian….
“bagaimana
sekolah 4 hari plus libur 2 minggu tanpa melihat wajahku yang tampan ini?”Tanya
Ikmal padaku saat kami berdua sedang bersantai di taman sekolah.
“ternyata
rasanya sepi. Hidupku dipenuhi hingar-bingar masalah dan aku tak tahu akan
menceritakannya kepada siapa”jawabku jujur.
“bukankah
kamu punya banyak teman?”
“yaa..
tapi mereka tidak bisa menjaga rahasia sebaik dirimu. Kamu tahu sendiri mulut
wanita itu kemana-mana.”mungkin bukan itu alasan sesungguhnya. Namun, hanya
kata itu yang mampu terucap
“jadi,
kamu Cuma kangen curhat doang nih?”
“ya
enggaklah”jawabku spontan. “aku juga kangen ditraktir makan sama kamu,
ditemenin ke toko buku, dan masih banyak lagi”. Bagian masih banyak itu yang
juga aku bingung.
“ooohh..
kamu kehilangan teman jalan gitu?”
“lebih
dari itu”
“oh
ya?”
“iya,
aku juga merasa kehilangan sesosok kakak yang selama ini menemaniku”. Benarkah?
***
2
Minggu 4 hari kemudian….
“bagaimana sekolah 4 hari plus
libur 2 minggu tanpa melihat wajahku yang tampan ini?”Tanyaku pada saat aku dan
Julie sedang bersantai di taman sekolah.
“ternyata rasanya sepi. Hidupku
dipenuhi hingar-bingar masalah dan aku tak tahu akan menceritakannya kepada
siapa”
Tentu saja, teman curhat. “bukankah kamu punya banyak
teman?” tanyaku kemudian. Sebenarnya pertanyaan yang sebenarnya adalah ‘bukankah
kamu punya Dirham?’
“yaa.. tapi mereka tidak bisa
menjaga rahasia sebaik dirimu. Kamu tahu sendiri mulut wanita itu kemana-mana.”
Benar-benar teman curhat.
Setidaknya mungkin itu menjadi nilai plus tersendiri untukku. “jadi, kamu Cuma
kangen curhat doang nih?”tanpa sadar aku mengeluarkan isi pikiranku.
“ya enggaklah” oh ya? Ada yang
lain? Sungguh?apakah mungkin….
“aku juga
kangen ditraktir makan sama kamu, ditemenin ke toko buku, dan masih banyak
lagi”. Tentu saja. Terlalu banyak berharap sungguh menyakitkan.
“ooohh.. kamu kehilangan teman jalan
gitu?”
“lebih dari itu”apakah ini
sebuah harapan lainnya? ‘lebih dari itu’? apalagi yang lebih dari itu selain…
“oh ya?”suaraku terdengar tidak
sabar
“iya, aku juga merasa kehilangan
sesosok kakak yang selama ini menemaniku”. Ya, kali ini KAKAK. Selain teman
curhat, aku juga sesosok kakak. Aku merasa seperti sosok itu adalah malaikat
pencabut nyawa.
***
Komentar
Posting Komentar