Sangkar itu adalah rumahku
Rumah yang tiap tetes air mataku merujuk kerinduan
Rumah yang tiap tetes keringatku mengisyaratkan aku ingin lari
Sangkar emas yang indah
Aku sadar tak pernah ada dewi jahat di sana
Aku tahu yang ada demi kekokohan kaki menopang langkahku
Aku yakin hanya pencegahan pada berbulir-bulir keringat
Aku percaya tak ada niat ada tetesan bening
Cara. Proses. Tata laksana. Mungkin salahnya di sana
Bukan salah, keliru.
Mengapa aku betah teronggok diam?
Bagaimana aku kuat tak sadarkan diri?
Kebiasaan berkata.
Tak pernah tahu aku rindu keringat
Menatap iri pada mereka terbang bebas dengan peluh menetes
Aku sekarang tahu arti pertanyaanku
Semua tanyaku kink terjawab
Mengapa hidup ini hambar?
Bukan, bukan hidup yang hambar
Tapi aku yang tak tahu cara menikmati hidup
Bukan, bukan tak tahu
Aku tahu betul. Namun organ ini seakan terpasung pada tempatnya
Bag begitu kuatnya otot melekat pada tulang belulang
Apakah aku marah?
Pantaskah aku marah?
Lalu jika aku marah, kenapa?
Lalu apa?
Tak kan ada yang berubah.
Aku tahu.
Mungkin berubah.
Menjadi mimpi buruk bagiku.
Hanya seutas tali melengkung yang mereka lihat
Tanpa tahu segumpal benang kusut tak berbentuk teronggok dalam diam
Diam.
Diam tak bersuara. Tak bergerak.
Namun hirup oksigen
Tak ada yang bisa aku lakukan.
Titik.
Terima kasih.
Di sebuah kamar kost sempit nan pengap diiringi deraian kipas angin, 14 Maret 2017
Komentar
Posting Komentar