Aku
16 tahun, seorang remaja laki-laki. Bertahun-tahun berjuang hidup berdampingan
dengan sel-sel yang selalu tumbuh kembang bersamaku. Sedikit banyak orang yang
mengira aku bukan orang Indonesia asli karena mataku coklat muda dan kulitku pucat
sepucat orang luar negeri. Padahal aku keturunan Medan-Garut, tanpa gen bule
sedikit pun. Kulit pucatku bukan hanya karena aku jarang keluar ruangan tapi
juga karena sel darah merah di tubuhku berkurang, sehingga tak ada jejak
hemoglobin di tubuhku. Yang ada hanya sedikit memar yang sedikit sedikit
menghiasi lengan, dada atau betisku. Selain sel darah merahku, trombosit juga
menjadi korban sel jahat itu. Sudah 10 tahun aku berkutat dengan mereka
sehingga aku paham betul apa yang mereka lakukan di tubuhku.
Aku
sempat HAMPIR mendapatkan donor sumsum tulang belakang. Aku pikir hidupku akan
menjadi lebih baik ternyata Allah berkata lain. Si pendonorku tiba-tiba
kecelakaan dan beliau meninggal dalam keadaan tulang-tulang yang remuk. Sebuah
cobaan. Ujian. Aku butuh sesuatu dari tubuhnya yang kemudian dengan sekejap
mata dibuat hancur sehancur-hancurnya. Harapanku hancur Bersama dengan
hancurnya tubuh orang itu. Ini terlalu kebetulan bukan? Allah benar-benar
menunjukkan kuasa-Nya. Jika dia yang berkehendak tidak ada yang bisa dilakukan
oleh manusia biasa sepertiku atau manusia sehebat dokter pun takkan mampu.
Akhirnya aku kembali menjalani rutinitas menunggu donor. Penantianku berjalan
Bersama pertarungan sel kanker dan bahan-bahan kimia memuakkan di tubuhku.
Hingga akhirnya bahan kimia yang kalah dan sel kanker memenangkan pertarungan
untuk memiliki tubuhku seutuhnya. Akhirnya aku hanya bisa diam di tempat yang
sama dengan infus melekat di tangan. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Aku
sudah tidak butuh kemoterapi, aku tidak butuh donor lagi. Aku hanya butuh
semangat untuk menjalani hari-hari menunggu hari terakhirku di bumi, yang entah
kapan.
Aku
juga masih manusia biasa dan aku masih remaja dengan hormone yang belum stabil
sehingga tentu saja masa-masa depresi dan frustasi masih sempat bergentayangan
terutama ketika harapanku yang membumbung tinggi tiba-tiba dihempaskan ke dasar
terdalam. Aku akhirnya paham betul berharap pada manusia adalah yang terburuk.
Bukan karena manusianya yang ingkar namun juga karena takdir terkadang tidak
mendukung. Hingga akhirnya aku belajar banyak bahwa kepasrahan dan kembali
kepada-Nya adalah jalan terbaik. Jalan satu-satunya mungkin. Aku sudah berusaha
semampuku. Sudah tidak ada lagi harap. Maka berserah kepada-Nya adalah jalan
yang terbaik. Menjalani hidup dengan kesedihan hanya akan membuatku semakin
membuat Allah rugi menciptaku. Maka aku putuskan untuk menjalani hidupku
sebahagia mungkin, setidaknya sedikit bermanfaat menurut jangkauanku.
Beberapa
bulan terakhir aku mencoba membawa seorang kawan kembali sepertiku, meski dia
punya kemungkinan bahagia lebih besar dariku. Namun penerimaan orang
berbeda-beda. Pemikiran setiap manusia berbeda terutama dalam menyikapi hal
sebesar ini. Aku sempat gagal, dia sempat menyerah pada hidupnya. Beruntung,
Allah masih sayang padanya dan masih memberinya kesempatan untuk benar-benar
kembali. Memikirkan matang-matang setiap tindak tanduknya berikutnya. Berserah
kepada-Nya bukan berarti harus membuat kita menyerah dan berputus asa, apalagi ingin
menemui Allah lebih cepat dari rencana-Nya. Bukannya bertemu dengan-Nya, yang
ada hanya mendapat murka-Nya. Aku merasa gagal menjadi seorang teman.
***
Aku
bersyukur masih diberi kesempatan hidup di dunia ini. Setidaknya pernah
mengukir bahagia di wajah mama dan papa. Aku sendiri juga masih heran mengapa
mereka tak berencana memberiku seorang adik sehingga bila aku tiada nanti akan
ada yang menggantikanku. Aku bersyukur masih memiliki mama dan papa yang begitu
menyayangiku. Aku bersyukur masih bisa menggunakan baju yang bagus, masih bisa
makan yang enak, masih bisa tertawa dan bersenda gurau dan masih bisa beribadah
dengan aman. Aku bersyukur masih memiliki banyak kawan yang menyayangiku. Sambil memikirkan semua kenikmatan yang masih
Allah berikan kepadaku tiba-tiba hujan turun membasahi taman belakang gubuk
sore itu. Aku mencoba menggerakkan kursi rodaku secepat yang aku bisa namun
dengan hujan yang tiba-tiba mengguyur deras tanpa peringatan itu menghalangi
pandanganku. Aku merasakan kursi rodaku berjalan lebih cepat, seseorang
mendorongku. Seseorang dengan tangan kekar. Manusia bermata hitam, Pekat.
“terima
kasih”kataku padanya yang basah kuyup karenaku. Dia hanya menatapku kemudian
melengos pergi. Pekat. Remaja seusiaku itu sedikit banyak membuatku kagum.
Kehidupannya tidak begitu baik. Sangat tidak baik mungkin dan dia tetap tegar
kokoh berdiri. Dia mengisolasi diri. Bukan karena dia sombong dan tidak ingin
berteman tapi aku rasa dia melakukannya untuk kebaikan Bersama. Penyakitnya
tidak punya obat seperti kebanyakan kami. Penyakitnya selalu membuatnya
dipandang rendah dan menjijikkan oleh banyak orang -kecuali penghuni sunshine
shelter tentunya-. Dia tidak pernah dijenguk siapapun. Aku mendengar kabar
burung bahwa mamanya -setelah menurunkan segala penyakit itu- memang
membuangnya di tempat ini. Penyakitnya yang dengan mudahnya menular dengan
berbagai cara membuatnya menjaga jarak dengan orang lain. Namun dia pandai
melukis. Kesendiriannya membuatnya melakukannya. Akhinya madam Mentari mencoba
untuk menjual beberapa lukisannya yang bagiku selalu penuh arti. Dia seusia
denganku, memiliki penyakit yang tidak membuat orang simpati padanya dan dia
menghasilkan uang. Dia lebih kuat dari kami semua.
“Lentera,
kamu kok basah? Habis main hujan-hujan?”Pelita tiba-tiba datang sambil
berteriak-teriak.
“tadi
tidak sengaja kehujanan”ucapku jujur.
“yaudah
aku antar ke kamar yah. Kamu harus ganti baju”anak perempuan bermata senada
dengan Pekat itu mendorong kursi rodaku menuju kamar.
***
Kemarin
aku melihatnya. Dia. Sosok yang aku tangkap sebagai sinyal memperingatkan. Aku
tahu waktuku sebentar lagi. Apakah ini hari-40 atau H-100? Entahlah. Allah Yang
Maha Baik sudah memberiku peringatan. Memperbanyak taubat dan melakukan segala
hal yang ingin kulakukan sepertinya akan menjadi persiapan yang baik.
***
“Lentera mau ke rumah sakit?”tanya
Pelita di teras gubuk.
“tidak Pelita. Aku mau pulang ke
rumah sebentar. Aku rindu rumahku”ucapku jujur.
“kamu harus janji untuk
kembali”ucapnya lagi dengan mata berkaca-kaca.
“aku akan kembali”ucapku sambil
tersenyum.
“kak Lentera berangkat kapan?”tanya
Binar.
“hmm..mungkin lusa, atau minggu
depan”jawabku.
Iya.
Aku ingin pulang. Aku kembali memikirkan tempat terbaik untuk menutup usia di
rumah sendiri atau di tempat ini? Aku masih akan memikirkannya nanti. Aku juga
ingin berkunjung ke rumah kakek di kampung dan ke makam nenek. Haruskah aku
meminta dibaringkan di sana? Tetapi sebelum itu masih terdapat beberapa hal
yang ingin aku selesaikan di sini. Sebagai persembahan terakhirku.
***
“ngapain lo di sini?’suara ketus
yang berasal dari seorang anak laki-laki bertubuh gempal.
“emang gak boleh?”aku bertanya
balik. Kulihat dia mengambil ancang-ancang untuk beranjak. “Pendar..”panggilku,
menghentikan gerakannya.
“paan?”tanyanya
semakin ketus.
“aku
mau tanya kenapa kamu bisa ada di sini?”
“lo
Cuma mau nanya itu doang? Pertanyaan gak bermutu”katanya lagi dan mulai ingin
beranjak.
“anggap
saja itu pertanyaan terakhirku Pendar”dia menghentikan gerakannya sekali lagi.
Dia mengecek jam yang melekat di pergelangan tangannya.
“beberapa
kali lagi lo ajak gue ngomong kayaknya lo bakal berhasil bikin gue
mati”ujarnya. Kemudian benar-benar pergi. Pendar, anak bertubuh gempal karena
pembengkakan di segala sisi tubuhnya akibat penyakit itu selalu saja ketus
terhadap semua orang. Tidak seperti Pekat yang mengisolasi diri karena tidak
ingin menulari orang lain, dia memang tidak ingin bersosialisasi. Dia membenci
orang lain dan aku bisa paham itu.
***
Hari
ini aku berkesempatan untuk berkunjung ke kamar Pekat, meskipun tanpa
sepengetahuannya tentu saja.
“lo
gila ya? Ngapain sih masuk sini?”omelnya ketika dia melihatku di depan sebuah
kanvas di ruangan itu. Dia baru saja selesai mandi,
“Cuma
mau lihat-lihat”ucapku ringan. Aku menggerakkan kursiku menuju ke sebuah
lukisan yang aku rasa sudah selesai, dengan cepat dia mengambilnya.
“jangan
sentuh apapun!”ucapnya defensive. Aku menatapnya,.
“kamu
tau kan Pekat, kamu tidak harus mengisolasi diri seperti ini. Penyakit mu tidak
akan menyebar hanya dengan berinteraksi dengan kami”ujarku.
“tau
apa lo”ucapnya jutek sambil meletakkan lukisannya secara terbalik agar aku
tidak melihat objek dalam lukisan tersebut,
“aku
baca di internet”ucapku jujur. Dia terkekeh.
“gue
Cuma males ngobrol sama kalian”ujarnya kemudian.
“aku
tau alasanmu bukan itu”
“jangan
sok tau. Jangan ngerasa tau segalanya, Lo gak tau apa-apa”
“intinya
aku tidak mau melihatmu mengisolasi diri seperti itu. Cobalah melihat dunia
lebih jelas dengan sedikit bercengkrama. Kita semua tau penyakitmu yang
menakutkan itu tidak akan menular hanya dengan bersentuhan”ucapku sambil
mengulurkan tangan ingin bersalaman. Aku melihat keraguan di matanya. Mata kami
bertatapan. Kemudian dia melengos menuju lemari pakaiannya. “anggap saja itu
pesan terakhirku. Kamu hebat Pekat, aku tau itu”kataku kemudian mulai
menggerakkan kursi rodaku keluar ruangan.
***
“Lo
dari kamarnya Pekat?”seseorang tiba-tiba bertanya kepadaku sekaligus mendorong
kursi rodaku. Tanpa menoleh pun aku sudah tau siapa dia.
“iya”jawabku
sambil menahan senyum.
“ngapain?”tanyanya
lagi.
“Cuma
ngobrol”
“kasi
pesan terakhir?”
“mungkin”
Hening.
“mami
papi aku ninggalin aku di sini supaya mereka bisa leluasa cari uang yang banyak
tanpa harus melihat seorang anak yang selalu ngos-ngosan. Detak jantungnya saja
hilang timbul membuat orang terkaget-kaget”ucapnya bercerita tanpa diminta. Dia
melihat jam yang melekat di pergelangannya, aku tau karena dia mengangkat
tangannya.
“tak
usah diceritakan jika itu akan menyakitimu”ucapku akhirnya. Menggali kenangan
terburuknya adalah kesalahan.
“masih
normal kok, Cuma nurun dikit”ucapnya lagi “mereka ngebuang gue. Mempermalukan
keluarga punya anak tidak normal”ingin sekali kusela kalimatnya barusan.
Abnormal? Kita hanya sedikit berbeda. “bikin ribet doang. Mungkin kalau gue
udah mati membusuk di sini baru mereka nengokin. Gue tau mereka investasi di
sini, kasi duit buat Madam Mentari. Emang gue peduli”ucapnya terluap emosi.
Membuatku sedikit takut. Dia melirik kembali jamnya kemudian menarik napas
Panjang.
Kini
aku sedikit paham, dia juga tidak banyak berinteraksi karena detak jantungnya
yang tidak kuat. Perubahan emosi sedikit saja akan sangat mempengaruhinya. Aku
jadi merasa bersalah menanyakan hal seperti kemarin. Bagaimana bila tiba-tiba
jantungnya berhenti berdetak karena emosi yang tidak stabil? Ini bukan lebay,
ini serius. Tidak seperti penyakit jantung lainnya, aku rasa dia sedikit lebih
ekstrim.
“mau
aku ajarin control emosi? Supaya angka di jammu selalu stabil”ujarku akhirnya.
“yakalii”dia
terkekeh. Aku diam. “gimana caranya coba?”tanyanya kemudian. Aku tersenyum
***
“aku
pikir kamu mau pergi minggu ini”Pelita membuyarkan lamunanku pada sore hari di
pintu masuk gubuk.
“tidak
jadi. Aku masih ada urusan”ucapku sambil tersenyum.
“dengan Pendar?”tanyanya.
“dengan
semuanya”aku menimbang-nimbang sesuatu yang ingin aku katakan “setelah aku
pikir-pikir aku akan pergi minggu depan”bukan. Bukan itu yang ingin aku
katakan.
“hmm..
asal balik lagi kan?”tanyanya.
“mungkin..”ucapku
menggantung kalimat “..tidak”ucapku akhirnya.
“Lentera…”ada
nada kesedihan di sana. Oh tidak, aku tidak ingin ada yang bersedih.
“kamu
bisa minta ibu kamu antar ke rumah ku. Aku akan ada di sana”kataku akhirnya.
Aku sudah memikirkannya, aku sempat tumbuh besar di rumah dan aku ingin kembali
ke sana, meniti menit-menit terakhirku di sana. Hening mewarnai kami. Kami
sama-sama memandang lurus ke depan, ke arah lorong yang dihiasi lilin-lilin
cantik dan berbau harum. Aku akan merindukannya.
“kamu
ngdeketin Pendar kemudian pergi begitu saja?”aku rasa dia sudah mulai paham.
Aku terkekeh, kulihat matanya berkabut. “Lentera… kamu…”dia menunjuk wajahku.
“aku antar kamu ke wc. Cuci wajahmu, penuh darah”ucapnya berusaha tegar sambil
mendorong kursi rodaku. Aku memegang cairan basah di bawah hidungnya. Aku
tersenyum
***
Kepasrahan
pada Pencipta bukanlah arti menyerah dan berputus asa pada hidup. Kamu sudah
melakukan tugasmu dengan baik. Melakukan tugas Lentera, menerangi mereka yang
membutuhkan.
Madam
Mentari
Komentar
Posting Komentar