Panggil
saja Pendar. Yaa seperti berpendar kadang ada kadang tidak, hanya seperti
bayang-bayang, tak Nampak. Mungkin sebuah nama untuk detak jantungku yang
kadang ada kadang tidak, maksudnya kadang tidak ada detakan untuk beberapa
detik. Atau mungkin sebuah nama untuk keberadaanku dalam keluarga yang dianggap
tidak ada, hanya berpendar. Ada atau tidak, tidak masalah sama sekali. Dahulu
mereka begitu menginginkanku sampai harus bertandang ke panti asuhan dan
mengadopsi seorang anak. Ya sebagai pancingan untuk suami istri kaya raya yang
sudah 10 tahun menikah dan belum memiliki anak. Lantas akan diwariskan kepada
siapa seluruh kekayaan mereka yang tumpah ruah itu? Maka jadilah aku memiliki
seorang kakak bernama Lintar. Dia sekarang 20 tahun dan aku 14 tahun. Awalnya
dia tidak begitu diperhitungkan terutama sejak kelahiranku. Statusnya sebagai
mantan anak panti yang masih tidak jelas asal usulnya memberi jarak berarti
dalam keluarga Herlambang yang terpandang. Namun setelah mengetahui masalah
dalam tubuhku serta usia mami yang tidak lagi muda, dia menjadi anak emas semua
orang. Dia, yang akan mewarisi semua kekayaan yang meluap-luap itu.
Seorang
anak lemah jantung sepertiku takkan mampu melakukan apapun. Pernah sekali saat
di Taman kanak-kanak, seorang kawan yang jail mengagetkanku. Naas aku langsung
kaget setengah mati disertai sesak napas hebat dan jantungku berhenti berdetak
untuk beberapa detik. Kemudian aku pingsan. Setelah kejadian itu anak malang
itu kemudian pindah sekolah karena terlalu takut berhadapan dengan keluargaku
yang super berpengaruh itu. Sedangkan aku yang masih kanak-kanak tentu saja
trauma berat. Karenanya aku harus mendekam di rumah sakit selama 3 minggu.
Akhirnya aku memilih home scholling sejak saat itu. Sejak usia 7 tahun
aku sudah dipasangi jam di pergelangan untuk mengontrol detak jantungku, agar
ketika detaknya mulai membahayakan aku bisa memberi pertolongan pertama pada
diriku. Yakni pergi dari situasi apapun itu dan menyendiri di kamar. Aku pernah
memiliki hewan peliharaan untuk menemaniku bermain. Seekor anak anjing lucu.
Aku tumbuh bersamanya. Seiring waktu dia semakin garang kepada orang asing yang
mencoba mendekatiku. Gonggongannya semakin hari semakin besar membuatku harus
ke rumah sakit lagi untuk ke sekian kalinya. Akhirnya keluargaku membuangnya.
Semua orang yang ada di sekelilingku akan terjebak dalam situasi sulit. Sejak
saat itu aku tidak ingin berteman dengan siapa pun jua. Akibatnya aku jadi
semakin sulit bergaul dan malah membuatku menjadi tempramen. Orang bertanya
baik-baik maka aku akan marah. Aku tidak suka ada yang mendekatiku. Ketika
terjadi sesuatu padaku yang lemah ini maka mereka akan terkena imbasnya. Aku
pemarah dan jantungku lemah sekali. Perpaduan yang sangat pas untuk menuju
kematian.
Meski
kami tidak berbagi gen yang sama, Lintar selalu membantuku dengan tulus. Dia
mengajariku banyak hal hingga suatu hari Eyang memberi kabar tentang Sunshine
Shelter. Lintar marah besar, dia merasa keluarga itu ingin membuangku. Saat itu
dia berumur 16 tahun sehingga tidak ada yang akan mendengarnya. Akhirnya dia
merelakan kepergianku dan berjanji akan menjengukku setiap hari. Sudah 4 tahun
aku di sini dan dia hanya pernah datang empat kali yakni saat natal.
“aku
mau tanya kenapa kamu bisa ada di sini?”
Pertanyaan
seorang anak berkursi roda, Lentera. Aku ada di sini karena aku dibuang. Karena
aku menyusahkan dan tidak berguna sama sekali. Mereka tidak memerlukanku karena
mereka memiliki Lintar yang bisa melakukan apa saja sesuai keinginan mereka.
Tidak sepertiku. Kekayaan yang mereka miliki tidak sanggup membeli sepotong
jantung pun untukku. Tidak ada yang cocok. Nasib AB resus +. Pertanyaan bodoh
Lentera itu cukup untuk menaikkan adrenalinku. Aku tidak suka membahas
keluargaku yang mentereng itu dengan siapapun. Mereka pikir aku akan memiliki
banyak teman di sini. Mereka salah. Tidak ada yang ingin berteman dengan
seorang pemarah sepertiku. Bahkan Kirana yang beberapa waktu lalu sempat aku
tolong. Aku tidak bermaksud making friend dengannya, kebetulan saja aku
lewat ketika ingin ke tempat persembunyianku di atap. Dengan segala sifat
pemarahku, aku masih manusia. Aku tidak ingin digiring polisi untuk menjadi
saksi akan kematian seseorang. Aku tidak ingin dijudge karena tidak
mencegah tindakan bunuh diri.
“dia
akan kembali kok”aku mencuri dengar dari seorang anak perempuan yang bercerita
dengan nada kesedihan. Aku bukan tipe penguping, aku tidak tahu mengapa aku
tertarik pada topik ini.
“dia
lebih sering mimisan lebih dari biasanya. Aku takut…dia tidak akan kembali
dengan badan bernyawa”ucap gadis yang lain.
“Lentera
tampak kuat”timpal yang lain lagi.
“justru
karena saat terakhirlah kita harus terlihat lebih kuat”
“benar
juga”
“jangan
bicarakan hal ini pada Pelita. Aku rasa dia tidak menyadarinya”
“ok”
“sip”
Aku
beku. Manusia penderita Leuikimia stadium akhir itu akan pergi?
“anggap
saja itu pertanyaan terakhirku Pendar”kembali
terngiang kalimat terakhirnya kemarin.
***
Aku
sudah mencari di seluruh penjuru gubuk keberadaan seorang manusia pucat
berkursi roda namun tak kunjung kudapat cahaya mata coklatnya. Kemana dia? Aku
menyusuri satu persatu Lorong gubuk hingga sampai di Lorong terakhir di lantai
teratas. Di sini hanya ada Pekat yang ditinggal satu persatu teman lorongnya
dan tidak tergantikan lagi sampai sekarang. Menambah desas desus aneh bahwa
penyakit tak tersembuhkan itu telah menulari seisi Lorong. Dengan cara apa? Berhubungan
seks? Transfuse darah? Saling bertukar alat mandi? Mereka hanya bergossip tanpa
patokan yang jelas. Asal ada bahan pembicaraan saja. Memuakkan. Yang jelas
tidak ada yang ingin berada di Lorong yang sama dengannya padahal aku rasa dia
orang yang baik, meski aku tetap tidak berminat berteman dengannya. Rasanya
tidak mungkin Lentera ada di sini. Namun ternyata aku salah, dari kamar seorang
Pekat keluarlah sebuah kursi roda yang aku yakini miliki Lentera. Apa misinya
kali ini? Misi perpisahan sebelum mati? Anak itu kebanyakan nonton film tidak
bermutu.
“Lo dari
kamarnya Pekat?”dengan posisiku berada di belakangnya maka langsung saja aku
mendorong kursi rodanya.
“iya”jawabnya
tanpa menoleh. Aku rasa dia tahu siapa aku.
“ngapain?”tanyaku
basa-basi
“Cuma
ngobrol”
“kasi
pesan terakhir?”suara di kepalaku ternyata bervolume besar.
“mungkin”
Hening.
“mami
papi aku ninggalin aku di sini supaya mereka bisa leluasa cari uang yang banyak
tanpa harus melihat seorang anak yang selalu ngos-ngosan. Detak jantungnya saja
hilang timbul membuat orang terkaget-kaget”akhirnya aku mengucapkannya. Untuk
apa? Entahlah. Aku mengangkat tanganku untuk melihat ritme detak jantungku.
Masih bisa.
“tak
usah diceritakan jika itu akan menyakitimu”ucapnya.
“masih
normal kok, Cuma nurun dikit. mereka ngebuang gue. Mempermalukan keluarga punya
anak tidak normal, bikin ribet doang. Mungkin kalau gue udah mati membusuk di
sini baru mereka nengokin. Aku tau mereka investasi di sini, kasi duit buat
Madam Mentari. Emang gue peduli”menceritakannya rasanya membuatnya jadi amat
menyedihkan. Aku melirik jamku sekali lagi. Mulai tidak stabil, aku menarik
napas Panjang kemudian menghembuskannya pelan. Aku harus bertahan. Aku
menggunakan Bahasa lo-gue ketika berinteraksi dengan orang lain. Supaya mereka
tidak betah aja. Itu penjelasan jika kamu penasaran.
“mau
aku ajarin control emosi? Supaya angka di jammu selalu stabil”ucapnya
“yakalii”emang
bisa apa dia. Ucapannya barusan menggeltik
ususku“gimana caranya coba?”namun aku tetap bertanya. Hanya penasaran.
***
Sejak
hari itu aku selalu bertemu dengan Lentera. Dia orang pertama yang aku tunjukkan
tempat persembunyianku di atap. Meskipun itu berarti aku harus susah payah
mendorong kursi rodanya ke atap dan harus memakan waktu berjam-jam. Ingat
jantungku tidak cukup kuat untuk melakukannya. Seorang anak berkursi roda
dengan seorang lemah jantung mencoba untuk naik ke atap. Kombinasi yang pas
sekali. Kami hanya banyak bercerita ketimbang melakukan hal-hal yang berada di
kepalaku. Aku pikir akan ada yoga, meditasi atau apapun yang berasal dari
ajaran agamanya. Nyatanya beberapa hari berlalu dan dia hanya mengajakku
ngobrol. Aku pun sudah menceritakan tentang keluarga Herlambang, tentang Lintar
dan tentang semuanya. Untuk pertama kalinya aku benar-benar punya teman. Aku
bisa bercerita Panjang lebar dengannya. Sebuah kemajuan aku rasa.
“jantung
kamu terlalu bekerja keras kalau kamu suka marah-marah. Padahal dia kelelahan
memompa darah tapi kamu cepat sekali mendidih haha”ucapnya di hari ketujuh kami
Bersama.
“biarin
ajalah. Biar matinya cepet”aku menjawab asal.
“hust!
Gak boleh ngomong gitu”aku tau dia akan mengatakannya. “kamu harus mengubah
sudut pandang kamu akan sesuatu. Kamu selalu memandang negative segala hal
makanya selalu marah-marah”lanjutnya.
“ya
karena emang negative. Susah dipostifin kalik”
“semua
hal punya positif dan negative. Tergantung kamu ingin melihat dari sisi mana”
“emang
apa positifnya gue gagal jantung?”tanyaku akhirnya. Gak ada positifnya.
“sebagai
peringatan. Sebagai peringatan untuk orang lain agar lebih bersyukur dengan
kesehatan yang mereka punya” maksudnya bersyukur karena mereka tidak
semenyedihkan aku? “sebagai peringatan bahwa penyakit seperti itu ada. Jadi
harus lebih berhati-hati. Juga ujian untuk kita. Kita istimewa, diberi ujian
lebih karena Allah tau kita kuat”
“jadi
gue harus ngapain?”
“bersyukur.
Bahagia. Jalani dan sesuaikan diri. Kamu masih bisa hidup lebih baik dari itu
jika kamu bisa menyesuaikan diri Pendar. Kamu hanya menyerah karena satu
alternative telah gagal”
“gimana
caranya adaptasi?”
“aku
tau kamu tau jawabannya”ucapnya sambil tersenyum. “aku hanya ingin kamu hidup
normal. Berinteraksi dan bersosialisasi. Menunjukkan bahwa kamu hebat. Bahwa
keluarga Herlambang telah salah menilai dengan meremehkanmu. Kamu bisa lebih
dari yang kamu lakukan sekarang. Coba kamu ngobrol sama Binar”ucapnya sambil
tersenyum sekali lagi. Membuatku sadar bahwa matanya benar-benar coklat muda.
Ternyata itu senyum terakhirnya yang aku pandangi lekat-lekat.
***
Walau berpendar, kau akan sangat
berharga di kegelapan yang mencekam.
Madam Mentari
Komentar
Posting Komentar