Aku
14 tahun, berjenis kelamin perempuan, seharusnya sudah sekolah menengah pertama
namun kandas di tengah jalan. Aku harus botak dan berada di meja operasi
berkali-kali. Pingsan berkali-kali, mimisan berkali-kali, kepala terasa ingin
meledak sesekali, atmosfir sekolah tidak cocok untukku. Padahal aku suka punya
banyak teman. Aku senang agamaku mengajarkan untuk berhijab maka takkan ada
yang melihat kepala plontosku. Aku menatap ibu yang berlalu lalang di samping
ranjangku.
“tunggu
sebentar. Aku kan sudah bilang anakku sedang sakit. Nanti aku menyusul ke
kantor. Tolong mengertilah”
Kemudian
dia mematikan telponnya dan mulai mendekatiku,
“sayang,
kamu sudah baik-baik saja?”tanya ibu khawatir.
“aku
pingsan lagi ya bu?”tanyaku tersenyum kecut. Ibu mengecup kepalaku dan kemudian
hpnya kembali berdering, dia mengabaikannya. “ibu kalau mau ke kantor, ke
kantor aja”ujarku.
“tapi
mba Sinar belum datang, sayang. Nanti kalau mba Sinar sudah datang”jawabnya.
“tidak
papa bu. Aku sudah baik-baik saja”ibu tetap menggeleng. Hpnya kembali
berdering. “bu…”kataku memelas. Setelah berpikir agak lama, ibu akhirnya pergi
juga.
“maafin
ibu yah sayang. Ibu segera pulang”ujarnya. Aku hanya tersenyum.
Aku
selalu menjadi beban bagi mereka. Ayah dan ibuku harus bekerja keras siang dan
malam untuk membiayai pengobatanku yang harus dicek secara berkala dan pil obat
yang sangat mahal harganya. Untuk membayar mba Sinar untuk merawatku ketika
mereka tak ada. Untuk membayar guru-guru private yang rutin datang ke rumah.
Aku memang menyusahkan. Ketika aku tiba-tiba pingsan, ketika kepalaku berdenyut
hebat, terutama jika hal itu terjadi di sekolah. Mereka akan meninggalkan
pekerjaan mereka untuk melihatku, itulah sebabnya aku memutuskan berhenti
sekolah. Terkadang aku berpikir, kapan Allah akan menjemputku? Mungkin hidup
ayah ibu akan lebih mudah tanpaku.
***
Sunshine shelter? Tempat apa itu? Aku baru
mendengarnya. Ayah ibu mulai menceritakan tempat itu dengan gembira. Sebuah
tempat yang direkomendasikan oleh teman sekantor ibu. Semacam…panti jompo?
Namun untuk mereka yang berkebutuhan khusus, aku juga berkebutuhan khusus. Aku
tidak merasa dibuang, mungkin ini cara Allah membalas semua doaku. Bagaimana
aku bisa meringankan beban ayah ibuku? Ternyata bukan dengan membuatku mati
lebih cepat tapi dengan sunshine shelter. Kami bisa berhemat berkali-kali
lipat. Tidak perlu membayar mba Sinar lagi dan guru-guru private. Kabarnya anak
teman ibuku juga di sana. Mungkin tidak buruk, aku akan bertemu banyak teman.
***
Shelter
artinya gubuk kan? Mereka menyebut ini gubuk? Tempat megah nan indah ini mana
pantas disebut gubuk. Bahkan lebih bagus daripada rumahku. Pemiliknya mungkin
anak sultan.
“Pelita,
ini anak tante. Namanya Lentera”dia teman ibu yang memperkenalkan tempat ini.
Ahh Lentera yah. Kami berbagi arti nama. Kami pun saling berjabat tangan.
Sepertinya dia lebih tua dariku dan wajah serta kulitnya yang pucat membuatnya
terlihat seperti vampire.
“yaudah,
kalian ngobrol dulu yah. Ibu mau ketemu sama pemiliknya dulu”aku hanya
mengangguk.
“apa
kamu sudah harus di tempat itu terus?”tanyaku sambil menunjuk kursi roda yang
Lentera gunakan.
“aku
leukimia stadium 4. Semua syarafku sudah tidak berfungsi lagi jadi aku sudah
tidak bisa jalan lagi. Selamanya”jawabnya dengan tenang, tak ada nada kesedihan
di dalamnya. Ah pantas saja dia pucat sekali dan kepala yang juga sama
plontosnya denganku. Dia kemudian menatapku. Mata hitam pekatku bertemu dengan
mata coklatnya.
“Aku
kanker otak stadium 3”jawabku membaca pertanyaan lewat tatapan matanya.
“kamu
tak usah sedih, semakin lama kamu tinggal di sini kamu akan semakin mensyukuri
hidupmu. Masih banyak yang lebih menderita dibanding kamu. Hebatnya, mereka
tetap bisa tertawa bahagia”katanya penuh semangat dalam katanya.
Aku
menatap Lorong ‘gubuk’ itu. Apakah tempat ini bisa mencipta bahagia? Seperti
nada suara Lentera yang penuh keoptimisan.
***
Aku
akhirnya tinggal di tempat ini dengan ayah ibu yang selalu datang setiap hari.
Terkadang juga datang Bersama ibu Lentera. Oh iya benar, Lentera 2 tahun lebih
tua dariku. Harus aku akui sedikit banyak yang diceritakan Lentera ada
benarnya. Di tempat ini, terdapat beragam anak dengan kebutuhan khusus yang
berbeda-beda. Aku merasa tidak asing, tidak seperti di sekolah umum dulu. Di
sini terdapat banyak kawan senasib sependeritaan. Mungkin karena hal itulah
yang membuat kami tidak sulit bersahabat dan saling menguatkan satu sama lain.
Setiap hari akan ada volunteer -mereka menyebut dirinya demikian- yang
datang mengajarkan kami banyak hal. Matematika, fisika, biologi, Bahasa inggris
dan lainnya. Kami masih mendapat itu semua di sini. Para kakak-kakak volunteer
yang hebat itu berasal dari berbagai kalangan yang rata-rata adalah mahasiswa.
Mereka berbagi ilmu dengan kami dan juga berbagi semangat. Bagi mereka, selalu
ada kemungkinan bagi kami untuk sembuh sehingga kami harus tetap rajin belajar
sebagai bekal di masa depan. Meskipun setiap minggunya akan ada teman kami yang
berpindah tempat -ke rumah sakit katanya- kemudian tak kembali lagi.
Hari
ini gubuk dihebohkan dengan seorang anak bernama Kirana yang mencoba untuk
meminum racun. Entah darimana ia mendapatkannya. Katanya ia sudah tidak sanggup
untuk hidup dengan bahan kimia hasil kemoterapi yang menggila di tubuhnya. Dia
16 tahun -seumuran dengan Lentera- kanker paru-paru stadium 2. Sebenarnya
dibandingkan anak lain, dia tidak begitu parah tapi entahlah mungkin dia yang
paling menyerah dengan penyakitnya. Selalu melakukan percobaan bunuh diri yang
hampir setiap minggu.
“lo
mau minum ini? Bentar yah gue tuangin ke gelas biar rasanya lebih nikmat”dia
Pekat, juga 16 tahun, AIDS. Tentu bukan karena dia yang melakukan hal
aneh-aneh. Hasil turunan dari orang tuanya. Dia jarang atau bahkan hampir tidak
pernah dikunjungi oleh keluarganya. Kabarnya ibunya adalah seorang pelacur maka
ayahnya juga tidak jelas lelaki mana yang lupa mengenakan kondom. wajar kalau
Pekat terlihat lebih kuat dibandingkan kami semua, dia sudah merasakan segala
getir kehidupan. Namanya mungkin aneh bagi kebanyakan orang, orang tua mana
yang memberi nama seperti itu kepada anaknya namun melihat latar belakang ibu
dan ayah yang entah siapa, aku rasa masih terlihat benang merahnya.
“Pekat
gila! Orang mau bunuh diri malah dikasi beneran. Bunuh diri bukan main-main”ucap
Binar geram. “heh pekat! Kamu gila yah? Orang mau mati kok malah
didukung?”akhirnya ia angkat suara. Pekat hanya melirik anak perempuan berkaki
satu itu.
“lah
kan dia sendiri yang mau. Gue Cuma ngebantuin dia menuntaskan keinginannya”ucap
Pekat ringan.
“Pekat
tega banget sih”ucapku lirih. Namun ternyata Lentera masih mendengarnya.
“aku
tak masalah dengan itu”ucapnya tak kalah ringan dengan Pekat. Aku menatapnya
ngeri. Apa semua lelaki di sini sedingin ini? “dia sudah hampir 6 bulan seperti
itu. Awalnya kami juga takut dia bunuh diri betulan. Tapi lama-lama semakin
memuakkan. Dia Cuma cari perhatian”tandas Lentera.
“kok
gak diminum sih?”kali ini Pekat kembali mengalihkan pandanganku. Kirana hanya
diam. “minggu lalu lo mau gores tangan lo pakai pisau, tapi keburu dicegah sama
Lentera. Minggu lalunya lagi lo mau terjun dari lantai paling atas, tapi masih
sempat ditarik sama Pendar. Sekarang gak ada yang akan halangin lo minum tuh
baygon. Jadi silakan, udah gak ada yang peduli”ucap Pekat sarkas. Kulihat mata
Kirana sudah berkaca-kaca. Dia kemudian melempar gelas yang diberikan Pekat
tadi ke dinding kemudian menangis sejadi-jadinya.
“tuh
kan, dia gak bakal berani bunuh diri beneran”bisik Lentera. Aku melihat tatapan
kasihan sekaligus jijik dari mata hitam Pekat. Aku juga kasihan pada Kirana.
***
Hari
ini ayah ibu berkunjung lagi seperti biasanya bahkan ibu berencana menginap.
Aku bertanya-tanya apa ibu tidak bekerja sehingga memiliki waktu cukup luang
untukku. Kemudian Lentera memberiku jawaban akan semuanya. Ibu dipecat. Entah
karena apa. Orang tuaku pasti sudah ketar-ketir memikirkan cara menghasilkan
uang untuk membeli obat untukku. Bulan lalu Madam Mentari (Pemilik Sunshine
shelter) yang membelikanku obat namun ayah ibuku bukanlah orang yang sudi
berutang sehingga meski dengan susah payah mereka tetap membayar Madam Mentari.
Aku paham betul mereka takkan ingin kejadian sama terulang lagi. Mereka harus
bekerja lebih keras lagi untuk mendapatkan beberapa pil untukku. Jangan kira
aku anak tunggal, aku mempunyai seorang abang pembuat onar bernama Misbah dan
seorang adik kecil bernama Seri. Mereka masih butuh dibiayai, bukan hanya aku.
Terutama abangku yang sangat tidak tau diri dan suka menghambur-hamburkan uang.
“lo
kapan matinya sih? Nyusahin orang aja. Sembuh kagak, mati kagak, Cuma habisin
duit doang. Kagak ada yang bisa diharepin, lo juga gak bakalan sehat”sesekali
Bang Misbah mengumandangkan isi hatinya. Tentu saja ia mengatakannya jika Ayah
ibu tidak ada. Iya, aku tahu itu. Aku paham. Aku juga heran mengapa Allah tidak
menjemputku saja.
“kalau
aku mati kayaknya hidup ayah sama ibu akan lebih mudah”ucapku minggu depannya.
Ketika aku dan Lentera duduk santai di taman belakang gubuk.
“kamu
ngomong apa sih? Ngelantur aja. Jangan kayak Kirana deh”ucap Lentera.
“aku
gak kayak dia yah”ucapku sewot. Aku tidak suka cari perhatian seperti itu.
“aku
tidak mau membandingkan kamu dengan siapapun tapi coba lihat Binar. Dia lebih
muda, perutnya membesar tidak karuan membuatnya jadi aneh. Tumor di tubuhnya
sudah menyebar kemana-mana sehingga dia harus merelakan sebelah kakinya
dipotong tapi dia tetap ceria. Dia tetap berbinar, seperti Namanya”
“dia
memang hebat”binar. 13 tahun, tumor. Selalu berpikir positif dan terlihat
bahagia setiap saat. Terkadang aku ingin sedikit mencuri senyum di wajahnya
yang selalu berbinar itu. Dia juga selalu menebarkan energi positif di dalam
gubuk. Namun mengapa aku tidak dapat melihat sisi positif dari ini semua?
“semua
ini masih anugerah, Pelita”aku selalu heran dengan pandangan Lentera yang
selalu menganggap penyakit mematikan ini sebagai anugerah. Anugerah
darimananya? “Allah menguji setiap makhluk dengan berbagai ujian. Kamu, aku dan
anak-anak di sini diuji dengan dititipi tambahan keunikan di tubuh kita.
Sebagai teguran bagi mereka yang tak menjaga kesehatan, sebuah hukuman bagi
orang tua yang dititipkan ke tubuh kita, sebagai ujian bagi orang-orang yang
bersabar dan berbagai motif lainnya. Allah punya rencana, semua ada
hikmahnya”Lentera mulai berceramah panjang lebar.
“aku
tahu Lentera, tapi aku selalu menyusahkan orang tuaku. Aku tak berguna. Bener
kata bang Misbah aku cuma buang-buang uang, toh aku tidak punya masa depan.
Cepat atau lambat aku juga bakalan mati”ujarku akhirnya. Tak pernah aku
terdengar seputus asa itu. Aku akhirnya beranjak meninggalkan Lentera.
***
Anggap
saja aku gila. Anggap saja aku mirip Kirana. Aku sudah tidak peduli. Ini semua
melelahkan. Semoga saja setelah ini, kehidupan Ayah Ibu jadi lebih tenang,
semoga saja Bang Misbah dan Seri lebih tercukupi. Aku tahu adik kecilku yang
masih berusia 7 tahun itu juga merasa kekurangan kasih sayang akibat hampir
semua perhatian orang tuaku tercurahkan padaku. Sepertinya kehidupan semua
orang akan lebih baik tanpaku.
“Pelitaa..
kamu gila ya?”
Pendar…wajah
dan suaranya berpendar bagiku. Selanjutnya Pekat, aku mengenalinya. Kemudian gelap.
***
“lo gak bisa jaga dia yah? Lo kan
teman dekatnya”suara seseorang terdengar sayup-sayup.
“secepat
itu dia menyerah padahal orang tuanya selalu datang mengunjunginya. Apa gue
mesti bunuh diri juga biar orang tua gue dateng? Kayaknya tunggu gue mati baru
mereka berani nengok”kalimat sarkastik itu rasanya milik Pendar.
“aku
pikir dia gak bakalan berani ngelakuin itu. Pelita terlihat bukan orang yang
akan melakukan itu. Aku salah paham. Aku salah”suara yang paling kukenali.
Lentera.
Perlahan
aku membuka mata. Kulihat selang dimana-mana dan orang juga dimana-mana. Ayah,
ibu, Bang Misbah, Seri, Madam Mentari, Lentera, Pendar, dan…Pekat. Ternyata
sedari tadi itu suara Pekat.
“Pelita..”aku
merasa sebuah tangan halus menyentuhku.
“ibu…”kataku
lemah. Rasanya masih perih, dimana-mana. Kulihat pergelangan tanganku yang
dipenuhi plester. Aku tidak jadi mati. Sepertinya darah dengan sel kanker itu
sulit terkuras habis dari tubuhku.
“ibu
sayang sama Pelita”hanya itu terucap dari mulutnya, dengan mata berkaca-kaca.
“sembuh
atau enggak, lo masih berhak hidup”Bang Misbah tiba-tiba bersuara di belakang
Ibu “maafin gue”ucapnya lirih namun aku masih bisa mendengarnya. Aku hanya
mengulas senyum tipis. Aku menatap mata coklat Lentera. “kamu benar. Semua
ini anugerah”ucapku dalam hati. Berjuang untuk hidup mungkin takkan
menyia-nyiakan apa-apa.
***
“hay
Pelitaaa… aku kangen banget sama kamu”Binar menyambutku dengan sebuah pelukan
hangat.
“hai.
Berbinar seperti biasanya yah”ujarku dengan sedikit iri dengan segala
keceriaannya. Dia tersenyum selebar mungkin hingga matanya yang sempit itu
semakin sempit.
“kamu
kalau mau cerita jangan sungkan sama aku. Pasti bosen sama Lentera terus. Beda
juga kan kalau sama sesama jenis”ucapnya sambil mengerling lucu. Meski aku
masih kurang mengerti maksudnya. “kita itu unik tau, beda daripada yang lain.
Kita ditempa untuk lebih kuat dibandingkan yang lain. Orang biasa gak bakalan
bisa bertahan seperti kita. Tersenyum aja mungkin bakalan susah. Anak-anak
sunshine shelter penuh cahaya, begitu kata Madam Mentari”ucapnya masih dengan
senyum tiga jarinya yang lebar itu.
Aku
jadi malu sendiri pernah melakukan hal bodoh itu. Namun anak-anak di sunshine
shelter tidak ada yang membahasnya atau bertanya yang aneh-aneh. Mereka hanya
menebar senyum dan semangat lebih dari biasanya. Ah,, aku begitu menyukai
tempat ini. Mungkin di lain waktu aku harus meminta tips bahagia dari Binar.
***
Tiga
bulan kemudian seorang anak baru datang ke gubuk. Anak paling aneh dan berbeda
dari yang lain. Mengisolasi diri dan tidak ingin berbicara, tatapannya kosong.
Namanya Sabit.
***
“kamu
lebih hebat dari yang kamu pikirkan Pelita. Kamu bisa menerangi orang lain
dalam kegelapan. Kamu tinggal memilih, ingin memadamkan Pelita atau
menyalakannya dan membuat dirimu sendiri dan orang lain mendapat sedikit
cahaya”
-Madame Mentari.
Komentar
Posting Komentar