“kamu
hidupnya enak ya kayak gak punya beban sama sekali”
Kalimat
yang sering kudengar dan ditujukan padaku, aku hanya tersenyum.
***
Malam ini aku melakukan
pekerjaan rutinku, bersenandung ria
seperti biasanya. Merah. Mengalir. Mengalir dengan deras. Aku tertawa-tawa
melihatnya. Menorehkan garis baru ataupun membuka garis yang sempat menutup.
Mencoba mainan baru. Hari ini aku sendiri di rumah hingga bebas berekspresi. Dalam
ruang yang terkurung dan tak kenal suara luar, hanya ruangku untuk jejali otak
dengan kata-kata sialan. Dibuat khusus untukku agar tak terkontaminasi dan
nilaiku bisa menyelamatkan wajah ayah di kantor atau gengsi ibu di tetangga.
Masih mengucur deras, hari ini cukup sampai setengah lengan. Aku suka warna
merah, bahagia melihatnya. Aku menangis, tak sanggup lagi jejali otak. Bukan
karena sakit, tak ada sakit. Satu-satunya hiburanku. Biarlah kain panjang
tutupi mahakaryaku.
***
Hari ini penerimaan rapor. Seperti
biasa Ayah dan Ibu akan datang dengan bangganya. Aku hanya menatap mereka
datar. Aku ingin mencoba tantangan baru sehingga kuputuskan untuk tak pernah
belajar selama ulangan ini dan hanya bermain-main dengan benda-benda
kesayanganku. Aku sudah tak peduli dengan hasil yang akan keluar nantinya. Dan
benar saja tepat seperti dugaanku yang mengejutkan semua teman-temanku.
“kok bisa nilai kamu anjlok
banget?”tanya seorang kawan padaku.
“iya nih padahal kan kamu gak
pernah keluar main. Kerjanya belajar terus”timpal yang lain.
Aku hanya tersenyum kecil dan
kembali menelaah kata ‘anjlok’ yang ditujukan padaku. Padahal aku peringkat
kedua dan itu yang disebut anjlok. Ingin rasanya ku tertawa. Hari ini akan ada
lukisan dimana lagi. Pipi, lengan, paha, kepala? Tunggu hingga tiba di rumah.
Ah rumah ya..
***
“PLAK!”
di pipi dulu ternyata.
“kok bisa-bisanya kamu kalah
dari si Aldo? Kamu ngapain aja di kamar kalo gak belajar? Hah? Mau taro dimana
muka papa kalo ketemu orang-orang kantor?”kali ini rambut yang ditarik-tarik.
Jangan bayangkan aku yang menangis, tak sedikit pun. Tiba-tiba adikku datang.
“mah.. pah..28”katanya cuek.
“ya udah gak papa kamu ganti
baju baru makan sana”ucap mama sambil mengelus pundak adikku. Kali ini aku
menangis.
***
Aku dan adikku memang berbeda.
Beda umur, beda gender, beda sekolah dan beda segalanya. Dia tumbuh sama
sepertiku menjadi orang yang tak peduli. Kami sama-sama sarkas dan tempramen
yang lucunya hanya kami tujukan satu sama lain. namun bagi orang luar, kami
luar biasa ramah. Dia tak pernah di rumah. Rumahnya ada di tempat lain. Dia tak
pernah belajar sehingga nilainya buruk sekali. Apa pedulinya dengan nilai
buruk. Takkan mengganggu ketenangan dan kesenangan hidupnya. Ya benar, kini aku
melihat wajah datarnya di titik-titik merah di lantai. Aku baru membeli mainan
ini kemarin. Masih silau dan berbau baru. Pelan-pelan kutarik garis dari ujung lenganku secara horizontal sehingga kulit-kulit ari ku
membuka hingga lapisan selanjutnya dan ada pembuluh darah yang pecah,
mengalirkan merah. Warna yang segar. Kutarik lagi garis-garis selanjutnya
secara acak hingga membentuk garis tak beraturan. Mainan baru memudahkanku
bermain, sekali menyentuh kulit, kulit ari langsung membuka. Menekannya
sedikit, dapat memecahkan cabang-cabang darah. Rasanya hanya seperti digigit
semut. Aku membiarkannya mengucur deras. Kemudian menghilangkan sisa-sisa noda,
kini baru terasa nyeri. Kini tubuhku warna-warni, merah
hijau biru indah sekali. Masihkah ada harapku menjadi psikiater? Adakah manusia
yang ingin diobati makhluk sepertiku? Jangan ada aku kedua! Cukup aku saja.
***
Hari-hariku kembali berjalan
seperti biasa dengan langkah kaki yang terlihat bersemangat datang ke sekolah.
Dengan senyum yang terlihat sumringah.
“kamu kemaren sakit apa? Tumben
sakit biasanya paling rajin ke sekolah walau pake infus belajarnya haha”tanya
temanku ditambah sedikit gurauan yang nyata.
“abis jatoh dari wc. Nih muka
sama lengan aku lebam semua. Kan mukanya jadi jelek kalo ke sekolah”jawabku
asal.
“eh iya jatoh di wc kok serem
amat yak jadi lebam dimana-mana gitu”
“udah ke dokter?”tanya yang
lain.
“udah biasa mah ini. Dikompress
dikit juga sembuh”jawabku sekenanya.
Ya Ibu melarangku datang ke
sekolah dengan banyaknya mahakaryanya. Apa kata tetangga dan ibu-ibu arisan nantinya
kalau melihatku dengan kondisi seperti itu. Walau beberapa minggu yang lalu aku
bahkan datang ke sekolah dengan tangan tersambung di infus.
“pokoknya kamu gak boleh
ketinggalan pelajaran. Kalau yang diajarkan hari ini yang masuk ulangan gimana?
Nilai kamu bisa memalukan”ujar Ayah kala itu. Aku hanya menurut saja. Dokterku
kala itu sudah melirik-lirikku gemas. Aku tahu dia ingin mempertanyakan luka di
lenganku. Namun sepanjang hari aku tertidur. Lebih tepatnya pura-pura tidur.
Sang Dokter yang baik itu pun menyarankan orang tuaku untuk membawaku ke
psikiater namun mereka malah meneriaki dokter itu yang gila dan memindahkanku
ke rumah sakit lain.
Akhirnya aku datang ke sekolah
dan mencengangkan semua orang. Teman-temanku bahkan menjulukiku bureng ekstrim.
Sejujurnya Aldo si sainganku yang lebih sering terkena julukan bureng
disebabkan dia yang sangat pelit berbagi jawaban dan selalu ingin menang
sendiri. Aku yang rela berbagi tentu lebih disenangi teman-temanku. Mereka
mungkin hanya mendekatiku untuk tugas-tugas, jawaban saat ulangan atau
berlomba-lomba sekelompok denganku karena mereka bisa bebas ke mall tanpa
pusing soal tugas karena aku pasti akan mengerjakannya. Bila mereka
memanfaatkanku pun aku tak peduli. Setidaknya aku punya teman tak peduli tulus
atau fake. Setidaknya akan ada orang
yang menanyakan keberadaanku karena ulangan fisika kali ini sungguh berat dan
Aldo takkan mau membagi jawabannya. Setidaknya akan ada orang yang menelponku
berkali-kali minta untuk dikirimi tugas. Ya setidaknya aku punya ‘teman’ yang
akan siap berbagi suka dan mungkin pergi saat duka. Tapi tak apa bukan salah
mereka sepenuhnya. Mereka selalu berkata “bagilah kisahmu dengan kami untuk
mengurangi bebanmu. Ceritakan saja masalahmu” dan aku hanya tersenyum
membalasnya. Aku tak pernah bercerita sehingga mereka menyimpulkan aku tak
punya masalah untuk didiskusikan. Hidupku sempurna. Aku hanya... terlalu takut.
Aku yakin sedikit saja aku buka suara, akan ada gema dari berbagai penjuru
walau bunyi gemanya takkan selalu mirip. Aku takut saat aku bercerita mereka
lelap tertidur layaknya mendengar dongeng sebelum tidur. Rasanya tak perlu.
Cukup aku.
***
Salah paham terjadi karena membaca bagian awal saja dan melupakan bagian-bagian selanjutnya yang akan memberi penjelasan.
kritik dan saran sangat diperlukan.
Komentar
Posting Komentar