Udara baru, lingkungan baru, sekolah baru dan… diri
yang baru. Aku tak bias membohongi otakku yang memang cerdas, namun aku terlalu
malas untuk berteman. Sudah seminggu aku di sini dan tebak teman-temanku di
Jakarta tak ada satu pun yang menghubungiku walau sekadar bertanya kabar atau
apapun terutama dengan cerita yang merebak bahwa aku ditawan pencuri, adikku
terbunuh, dan tiba-tiba pindah ke lain pulau. Tapi sepertinya tak ada yang
peduli. Aku penasaran, apakah saat meninggal nanti akan ada orang yang melayat
ke makamku? Oh iya, aku kan tidak punya Hp, ah kalau pun punya aku tahu memang
takkan ada yang menghubungiku. Mereka juga tak peduli.
Begitu pula dengan anak-anak kampung ini, aku tebak
juga takkan ada yang akan tulus berteman denganku. Wajah datar dan dinginku di
hari pertama sukses membuat bisik-bisik dan tatapan-tatapan aneh ditujukan
padaku namun setelah tahu kemampuan akademikku, satu per satu dari mereka mulai
mendekat. See? Tak ada yang
benar-benar tulus di dunia ini.
“kamu mau?”teman sebangkuku menawarkan nasi goreng
dari kotak bekal yang ia bawa dari rumah. Hanya satu kotak dan satu sendok. Aku
tertawa dalam hati, dia bercanda. Aku tak menggubris, kemudian dia hanya
menatap kotak bekalnya kecewa dan melanjutkan makan. Dia polos. Tapi ah sudahlah,
aku tak butuh teman.
“wati.. nasi gorengnya ummi itu? Mintaka we!”kata
seorang gadis berpakaian err aku tak tahu harus menyebutnya apa, baju yang
kebesaran, rok yang panjang, dan jilbab yang juga panjang. Dia aneh.
Yang dipanggil Wati mengangguk bersemangat “iya, buatannya
ummi” jawabnya sambil menyodorkan sendoknya pada temannya itu. Satu sendok
berdua. Bagaimana bila si Wati atau temannya itu mengidap penyakit menular? Oh,
mereka sungguh tidak higenis.
Namun, aku melihat keakraban dan kehangatan di sana,
sesuatu yang amat kurindukan. Sepertinya mereka menyadari tatapanku sedari tadi
sehingga gadis aneh tadi menatapku dan sukses membuatku salah tingkah.
“kamu mau?”tanyanya. aku diam. “nama aku
Nining”ucapnya sambil mengulurkan tangan. Aku hanya menatap tangan itu.
Haruskah aku menjabatnya? Tulus kah ia berteman? Bukankah aku tidak peduli
tulus tidaknya seseorang padaku? Aku masih diam. Kemudian, dia menarik
tangannya. “Ya sudah kalau tidak mau. Kan kutau ji namamu, kamu Kintan kan?”tanyanya masih dengan nada ceria dan
logat khas Makassar. Namun aku masih diam. Akhirnya dia menyerah.
***
01.0
am
Nenek sudah larut dalam mimpi indahnya
sehingga takkan mendengarku membongkar muatan sana-sini. Kemarin aku
melemparkan mainanku sembarang arah karena nenek tiba-tiba datang di saat aku
belum menyelesaikan mahakaryaku. Kemana perginya benda itu? Ah di bawah kasur,
di dekat sebuah peti. Apakah itu peti mati? Kemudian aku sadar bahwa itu
terlalu kecil untuk ukuran manusia. Rasa ingin tahuku muncul, aku kemudian mengambil
peti usang itu dan mulai membukanya. Khas peti jaman dulu, isinya berupa
foto-foto polaroid hitam putih. Bayi mungil nan cantik ini pasti ibu. Teringat
mereka tak pernah menghubungiku selama aku di sini. Aku tersenyum miring.
Nenekku punya hp kalau kalian ingin bertanya, yang hanya digunakan untuk
menelpon dan sms. Karena hanya itulah gunanya, fiturnya dan hanya itu yang
nenekku tahu.
Aku menutup peti itu dan mengembalikannya
pada tempatnya kemudian mengambil pisau kecil yang sedari tadi ingin kuraih.
Aku mulai menarik kain yang menutupi lenganku. Masih berbekas. Mungkin hanya
sedikit membuka bekas-bekasnya kali ini. Tinggal beberapa centi pisau itu
menyentuh kulitku, terdengar grasak grusuk dari seberang. Nenek bangun seperti
biasa. Aku melihat jam yang jarumnya yang runcing menunjukkan waktu 01.45 am.
Cepat-cepat aku beranjak pelan ke tempat tidur dan pura-pura tidur. Terdengar
bunyi pintu terbuka dan tangan lembut menyentuh pundakku.
“Intan, ayo bangun salat tahajjud”ucap
nenek lembut.
Aku hanya diam. Masih pura-pura tidur.
Akhirnya nenek pergi. Sudah satu minggu aku di sini dan nenek tidak pernah
bosan menyuruhku salat dan setiap malam membangunkanku tahajjud. Namun, aku
selalu pura-pura tidur setiap malamnya, aku terlalu malas untuk bangun dan
bertemu Tuhan yang tidak adil itu.
***
Hari
ini minggu yang berarti tak datang ke sekolah alias libur. Seperti biasa aku bangun jam 12.00 karena
nenek yang selalu membangunkanku salat subuh yang tentunya menyita waktu
tidurku. Sepertinya rumah sedang kosong, nenek pergi entah kemana. Terpikir
untuk melanjutkan kegiatanku yang tertunda. Aku masuk ke kamar, mengambil
mainan yang sudah agak berkarat itu. Hanya itu yang bisa kuselamatkan dan aku
masih belum mengerti seluk beluk desa ini untuk pergi berbelanja sendiri.
Kusibak
kembali lengan baju yang kukenakan. Masih terdapat bekas-bekas kulit yang
tergores di sana, namun aku ingin mengukir goresan yang berbeda. Pelan-pelan
kurasakan pisau yang dingin menyentuh kulitku, menekannya perlahan dan terasa
karat-karat yang menyentuh kulit membuat sedikit nyeri. Tapi itu hanya sedikit
dibandingkan kenyataan memang benar-benar tak ada yang peduli padaku. Terbayang
wajah ayah ibu yang menikmati hari-harinya di rumah, bekerja di kantor dan
bercanda dengan teman-teman arisannya. Teman-temanku yang masih bernyawa tanpa
kehadiranku, mungkin Aldo sudah mulai membagi jawabannya. Aku tertawa mengingat
semuanya disertai aliran di seluruh tubuhku. Aliran bening di wajah, merah di
lengan dan terasa adrenalin yang meningkat. Aku ingin berteriak kencang, namun
tertahan. Aku ingin marah, entah kepada siapa. Aku menggigit bibirku hingga
berdarah agar tidak berteriak. Namun akhirnya aku kalah, aku menjambak rambutku
sambil berteriak tertahan. Mengencangkan otot-otot tubuhku hingga aliran darah
mengalir semakin deras mewarnai rambutku.
“Astaghfirullah!”
“Kintan!”
Tiba-tiba
dua orang gadis berdiri di pintu kamarku. Aku tercengang menatap mereka. Sejak
kapan mereka di sana? Dimana etikanya? Masuk ke rumah orang tanpa pamit.
“ki..ki..ta
ketuk tadi pintu, tapi tidak ada menyahut. Terus kita dengar suara teriak.
Terus…terus…”Wati, si gadis itu menjelaskan dengan gemetar.
“apa
kau bikin hah?”Tanya si gadis aneh emosi. “istighfar ko we istighfar!”kini dia berteriak.
“tau
apa kalian? Pergi!”aku menjawab dingin. Ini pertama kalinya ada yang melihatku
dengan keadaan seperti ini. Aku tak suka bila ada yang mengetahuinya. Aku
benci. Mereka sudah kelewat batas.
“kalo
ada masalahta, ceritaki. Kita dengar jaki itu”kata Wati lembut sambil mendekatiku. Aku melihat sinar
ketulusan di matanya. Ah! Aku benci orang baik.
“pergi!”teriakku.
“nda papa ji Kin”wati tetap keukeuh
mendekat.
Srett!
Aku
tercengang.
“WATI!!”teriak
Nining kencang. “we gilako?”. Harusnya kamu tak perlu bertanya. Aku kembali
meneteskan air mata. Aku tak bermaksud melukainya. Pisau berkarat itu tak
sengaja melukai lengan Wati. Aku ingin melihatnya namun dengan cepat Nining
menepisnya.
“Jangan
sentuh! Tadinya mauki ke sini ajakko main tapi ternyata…”ucapnya lagi.
Kemudian mereka pergi.
Meninggalkanku sendiri.
Aku termenung.
Kemudian tertawa.
Ini lucu.
“hahaha”
“HAHAHAHAHHH”
“maafkan aku…”’jawabku lirik dengan air mata disertai darah yang semakin menderas.
***
Don't judge by cover
Komentar
Posting Komentar