Langsung ke konten utama

B E K U (3)


Udara baru, lingkungan baru, sekolah baru dan… diri yang baru. Aku tak bias membohongi otakku yang memang cerdas, namun aku terlalu malas untuk berteman. Sudah seminggu aku di sini dan tebak teman-temanku di Jakarta tak ada satu pun yang menghubungiku walau sekadar bertanya kabar atau apapun terutama dengan cerita yang merebak bahwa aku ditawan pencuri, adikku terbunuh, dan tiba-tiba pindah ke lain pulau. Tapi sepertinya tak ada yang peduli. Aku penasaran, apakah saat meninggal nanti akan ada orang yang melayat ke makamku? Oh iya, aku kan tidak punya Hp, ah kalau pun punya aku tahu memang takkan ada yang menghubungiku. Mereka juga tak peduli.
Begitu pula dengan anak-anak kampung ini, aku tebak juga takkan ada yang akan tulus berteman denganku. Wajah datar dan dinginku di hari pertama sukses membuat bisik-bisik dan tatapan-tatapan aneh ditujukan padaku namun setelah tahu kemampuan akademikku, satu per satu dari mereka mulai mendekat. See? Tak ada yang benar-benar tulus di dunia ini.
“kamu mau?”teman sebangkuku menawarkan nasi goreng dari kotak bekal yang ia bawa dari rumah. Hanya satu kotak dan satu sendok. Aku tertawa dalam hati, dia bercanda. Aku tak menggubris, kemudian dia hanya menatap kotak bekalnya kecewa dan melanjutkan makan. Dia polos. Tapi ah sudahlah, aku tak butuh teman.
“wati.. nasi gorengnya ummi itu? Mintaka we!”kata seorang gadis berpakaian err aku tak tahu harus menyebutnya apa, baju yang kebesaran, rok yang panjang, dan jilbab yang juga panjang. Dia aneh.
Yang dipanggil Wati mengangguk bersemangat “iya, buatannya ummi” jawabnya sambil menyodorkan sendoknya pada temannya itu. Satu sendok berdua. Bagaimana bila si Wati atau temannya itu mengidap penyakit menular? Oh, mereka sungguh tidak higenis.
Namun, aku melihat keakraban dan kehangatan di sana, sesuatu yang amat kurindukan. Sepertinya mereka menyadari tatapanku sedari tadi sehingga gadis aneh tadi menatapku dan sukses membuatku salah tingkah.
“kamu mau?”tanyanya. aku diam. “nama aku Nining”ucapnya sambil mengulurkan tangan. Aku hanya menatap tangan itu. Haruskah aku menjabatnya? Tulus kah ia berteman? Bukankah aku tidak peduli tulus tidaknya seseorang padaku? Aku masih diam. Kemudian, dia menarik tangannya. “Ya sudah kalau tidak mau. Kan kutau ji namamu, kamu Kintan kan?”tanyanya masih dengan nada ceria dan logat khas Makassar. Namun aku masih diam. Akhirnya dia menyerah.
***
01.0      am
Nenek sudah larut dalam mimpi indahnya sehingga takkan mendengarku membongkar muatan sana-sini. Kemarin aku melemparkan mainanku sembarang arah karena nenek tiba-tiba datang di saat aku belum menyelesaikan mahakaryaku. Kemana perginya benda itu? Ah di bawah kasur, di dekat sebuah peti. Apakah itu peti mati? Kemudian aku sadar bahwa itu terlalu kecil untuk ukuran manusia. Rasa ingin tahuku muncul, aku kemudian mengambil peti usang itu dan mulai membukanya. Khas peti jaman dulu, isinya berupa foto-foto polaroid hitam putih. Bayi mungil nan cantik ini pasti ibu. Teringat mereka tak pernah menghubungiku selama aku di sini. Aku tersenyum miring. Nenekku punya hp kalau kalian ingin bertanya, yang hanya digunakan untuk menelpon dan sms. Karena hanya itulah gunanya, fiturnya dan hanya itu yang nenekku tahu.
Aku menutup peti itu dan mengembalikannya pada tempatnya kemudian mengambil pisau kecil yang sedari tadi ingin kuraih. Aku mulai menarik kain yang menutupi lenganku. Masih berbekas. Mungkin hanya sedikit membuka bekas-bekasnya kali ini. Tinggal beberapa centi pisau itu menyentuh kulitku, terdengar grasak grusuk dari seberang. Nenek bangun seperti biasa. Aku melihat jam yang jarumnya yang runcing menunjukkan waktu 01.45 am. Cepat-cepat aku beranjak pelan ke tempat tidur dan pura-pura tidur. Terdengar bunyi pintu terbuka dan tangan lembut menyentuh pundakku.
“Intan, ayo bangun salat tahajjud”ucap nenek lembut.
Aku hanya diam. Masih pura-pura tidur. Akhirnya nenek pergi. Sudah satu minggu aku di sini dan nenek tidak pernah bosan menyuruhku salat dan setiap malam membangunkanku tahajjud. Namun, aku selalu pura-pura tidur setiap malamnya, aku terlalu malas untuk bangun dan bertemu Tuhan yang tidak adil itu.
***
            Hari ini minggu yang berarti tak datang ke sekolah alias libur.  Seperti biasa aku bangun jam 12.00 karena nenek yang selalu membangunkanku salat subuh yang tentunya menyita waktu tidurku. Sepertinya rumah sedang kosong, nenek pergi entah kemana. Terpikir untuk melanjutkan kegiatanku yang tertunda. Aku masuk ke kamar, mengambil mainan yang sudah agak berkarat itu. Hanya itu yang bisa kuselamatkan dan aku masih belum mengerti seluk beluk desa ini untuk pergi berbelanja sendiri.
            Kusibak kembali lengan baju yang kukenakan. Masih terdapat bekas-bekas kulit yang tergores di sana, namun aku ingin mengukir goresan yang berbeda. Pelan-pelan kurasakan pisau yang dingin menyentuh kulitku, menekannya perlahan dan terasa karat-karat yang menyentuh kulit membuat sedikit nyeri. Tapi itu hanya sedikit dibandingkan kenyataan memang benar-benar tak ada yang peduli padaku. Terbayang wajah ayah ibu yang menikmati hari-harinya di rumah, bekerja di kantor dan bercanda dengan teman-teman arisannya. Teman-temanku yang masih bernyawa tanpa kehadiranku, mungkin Aldo sudah mulai membagi jawabannya. Aku tertawa mengingat semuanya disertai aliran di seluruh tubuhku. Aliran bening di wajah, merah di lengan dan terasa adrenalin yang meningkat. Aku ingin berteriak kencang, namun tertahan. Aku ingin marah, entah kepada siapa. Aku menggigit bibirku hingga berdarah agar tidak berteriak. Namun akhirnya aku kalah, aku menjambak rambutku sambil berteriak tertahan. Mengencangkan otot-otot tubuhku hingga aliran darah mengalir semakin deras mewarnai rambutku.
            “Astaghfirullah!”
            “Kintan!”
            Tiba-tiba dua orang gadis berdiri di pintu kamarku. Aku tercengang menatap mereka. Sejak kapan mereka di sana? Dimana etikanya? Masuk ke rumah orang tanpa pamit.
            “ki..ki..ta ketuk tadi pintu, tapi tidak ada menyahut. Terus kita dengar suara teriak. Terus…terus…”Wati, si gadis itu menjelaskan dengan gemetar.
            “apa kau bikin hah?”Tanya si gadis aneh emosi. “istighfar ko we istighfar!”kini dia berteriak.
            “tau apa kalian? Pergi!”aku menjawab dingin. Ini pertama kalinya ada yang melihatku dengan keadaan seperti ini. Aku tak suka bila ada yang mengetahuinya. Aku benci. Mereka sudah kelewat batas.
            “kalo ada masalahta, ceritaki. Kita dengar jaki itu”kata Wati lembut sambil mendekatiku. Aku melihat sinar ketulusan di matanya. Ah! Aku benci orang baik.
            “pergi!”teriakku.
            nda papa ji Kin”wati tetap keukeuh mendekat.
            Srett!
            Aku tercengang.
            “WATI!!”teriak Nining kencang. “we gilako?”. Harusnya kamu tak perlu bertanya. Aku kembali meneteskan air mata. Aku tak bermaksud melukainya. Pisau berkarat itu tak sengaja melukai lengan Wati. Aku ingin melihatnya namun dengan cepat Nining menepisnya.
            “Jangan sentuh! Tadinya mauki ke sini ajakko main tapi ternyata…”ucapnya lagi. Kemudian mereka pergi.

















Meninggalkanku sendiri.
Aku termenung.
Kemudian tertawa.
Ini lucu.
“hahaha”
“HAHAHAHAHHH”
“maafkan aku…”’jawabku lirik dengan air mata  disertai darah yang semakin menderas.
***
Don't judge by cover

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Laporan Fisika (Arus & Tegangan)

MENGUKUR ARUS DAN TEGANGAN LISTRIK I.                    Tujuan:   Mengetahui cara mengukur arus dan tegangan listrik II.                 Landasan Teori 1.       Hukum Ohm              “ besar kuat arus yang mengalir dalam suatu penghantar berbanding langsung dengan beda potensial antar ujung-ujung penghantar , asalkan suhu penghantar tetap . “                 Hukum ohm menggambarkan bagaimana arus, tegangan, dan tahanan berhubungan.  George ohm menentukan secara eksperimental bahwa jika tegangan yang melewati sebuah tahanan bertambah nilainya maka arusnya juga akan bertambah nilainya. Begitu juga sebaliknya. Hukum ohm dapat dituliskan dalam rumus seb...

I WANT TO DIE BUT I WANT TO EAT TEOKPOKKI Part 1

Dari: diriku Untuk: diriku   saya minta maaf! *** Sebelumnya saya mau review sedikit tentang buku yang sangat excited saya pesan. Sejujurnya ini kali pertama saya memesan buku secara online , ikut pre-order dan nungguin sampe beberapa puluh hari. Saya benar-benar ingin berterima kasih kepada Baek Se Hee yang telah sangat berbaik hati berbagi kisahnya dan menuliskannya dalam sebuah buku. Awalnya saya mengetahui buku itu karena direkomendasikan oleh boygroup Korea Selatan, BTS tapi pada saat itu hanya ada versi hangeul beberapa lama kemudian saya melihat postingan seorang psikiater yang saya ikuti di twitter dan ia diberi tanggung jawab menuliskan kata pengantar pada buku tersebut. Setelah itu tentu saja saya langsung mencari tahu buku yang sudah diproduksi dalam Bahasa Indonesia tersebut. Melihatnya langsung membuat saya sangat senang, awalnya saya berpikir akan membacanya dalam waktu satu hari saja, nyatanyaaa…buku setebal 236 halaman tersebut harus saya baca berha...

CINTA KETINGGALAN KERETA (cerpen)

CINTA KETINGGALAN KERETA Tak terdefinisikan Perasaan yang tak terdifinisikan Kereta melaju semakin cepat nan semakin jauh Meninggalkanku terpuruk di sini Sunyi senyap… tak ada siapa-siapa selain rel kereta ****                 Mentari memasuki celah-celah kamarku, menusuk kulit kuning langsatku tepat di wajahku.                 “hooaaamm” sinar mentari menggantikan alarm yang teronggok di depan kasur                 Pagi yang cerah untuk memulai hari baru, mengukir kenangan dalam sebuah buku tebal pemberian Tuhan. Kuayunkan kakiku menuju kamar mandi dan segera bersiap ke sekolah tercinta bertemu puluhan makhluk ciptaan Tuhan. Sebelumnya perkenalkan aku Diah. Aku kelas dua SMA dan Umurku 15 tahun, tidak, tahun ini akan 16 tahun. Tapi sebelum ta...