Darah bersimbah di seprei putih
kesayangan. Juga mengalir di tubuhku. Menetes ke lantai. Dinginnya perak
menjalar melewati jemariku menembus
tulang rusukku. Aku tercengang. Seonggok daging bertulang tak bernyawa
tergeletak di hadapanku. Penyebabnya belati di tanganku.
***
“apa benar kamu membunuh
adikmu?”Tanya ayahku gemetar. Aku diam. Mungkin inilah akhir. Sepertinya
penjara lebih menyenangkan daripada neraka ini. “Jawab Kintan!”teriak ayah.
“jangan terlalu keras! Nanti
tetangga dengar”sela ibu di belakang Ayah. Aku tersenyum miring.
Ayah menjambak rambutnya
frustasi. “kamu akan ayah kirim ke rumah nenek kamu di Makassar”kata ayah
kemudian. Aku dan ibu tercengang, menatap Ayah. Seriously? Aku takkan dipenjara?
“lalu bagaimana dengan
Nathan?”Tanya ibu lirih, air mata mengalir di pipinya.
“kita tidak mungkin
mmembiarkan Kintan dipenjara”kata Ayah masih dengan nada frustasi. Ayahku kah
itu? “dia masih di bawah umur, takkan mungkin juga dipenjara. Yang ada kita
hanya dapat malu punya anak seorang pembunuh” oh yah, dia memang ayahku.
Lagi-lagi aku tersenyum.
“tapi itu tidak akan membuat
Nathan kembali”ibu mulai menangis histeris.
Ayah berbalik menatapku
tajam. Aku hanya menatap vas bunga di kejauhan sana.
“ayah tidak pernah
mendidikmu menjadi pembunuh. Kamu sangat mengecewakan. Kamu…kamu…”ayah mulai
mengacungkan tangannya padaku.
Plakk!
Aku tak merasa apapun lagi.
Seluruh sarafku membeku, terlindungi benteng baja.
***
Kini aku duduk di ruang tamu
menyaksikan kelakuan ayah ibuku. Aku menatap mereka datar tanpa ekspresi dengan
tangan dan kaki sedikit ngilu akibat ikatan yang terlalu kuat. Ibu sudah
menyingkirkan semua mainanku. Belati itu menunjukkan keberadaan kawan-kawannya.
Untung saja terakhir kali aku bermain seminggu yang lalu sehingga bekas di
tubuhku tak ada lagi.
“aku gak habis pikir, untuk
apa anakmu mengoleksi benda-benda laknat ini? Latihan jadi psikopat apa
dia?”bisik-bisik ibu pada ayah sambil sesekali mencuri pandang padaku. Dia
takut.
“itu anakmu”jawab ayah.
“heh! Dia anakmu”balas ibu.
Dan seterusnya. Aku memang anak yang langsung jatuh ke bumi
dan nyasar di rumah ini.
***
Makassar, 2003.
“Kintan! Ayo makan!”panggil
nenek.
“iya nek”jawabku sambil
mengelap noda merah di lantai.
Ya, sekarang aku di rumah
nenekku di Makassar. Jangan bayangkan kotanya, aku di desa terpencil. Aku tak
diberi handphone tapi untuk apa di sini juga tak ada jaringan internet. Ada
yang penasaran bagaimana ayah ibuku menyelesaikan masalah? Ah mudah. Mereka tinggal
membuat rumah seolah-olah kacau, ayah lebih tepatnya. Ibu sudah tak sanggup
lagi melihat anak kesayangannya bersimbah darah. Menyingkirkan belati keji itu.
Kemudian memanggil dokter dan polisi, pura-pura histeris, stress dan tak tahu
apa-apa akan kejadian yang terjadi di rumah. Rumah yang sudah dibuat berantakan
dan tali yang ‘katanya’ digunakan untuk mengikatku di ruang tamu merupakan
akibat dari manusia-manusia bertopeng yang jiwanya sudah dilahap setan,
pencuri. Ketika dokter mulai mengevakuasi adikku, dan tetangga mulai
berdatangan akibat kepo dengan kejadian besar di kompleks kami, aku hanya
menjawab satu pertanyaan dari polisi “lihat CCTV” dan “Jangan Tanya ayahku”.
Mereka menatapku ngeri
setelah kembali dari ruang CCTV, ayah pun menatap mereka heran. Ketika mereka
hendak menahanku, tangan ayah tiba-tiba mengeluarkan amplop coklat tebal yang
kutebak isinya uang jutaan rupiah. Aku kembali tersenyum miring, di Negara ini
hukum benar-benar bisa dibeli. Dan tebak, polisi-polisi itu mengambil uang ayahku
dan kemudian pergi dengan tatapan ngerinya padaku. Ah negaraku tercinta, miskin
hukum haus akan uang.
***
Komentar
Posting Komentar