Langsung ke konten utama

B E K U (4)



            “kenapa kau bisa punya benda ini?”Tanya seorang bapak-bapak berseragam yang sangar.
            “semua orang punya pisau di rumahnya”jawabku dingin. Semua orang di ruangan itu kaget.
            patoa-toai sekali ini anak”kata bapak tadi geram.
            “sudah..sudah.. saya yang interogasi”seorang kawannya menenangkan dan menggeser bapak sangar tadi. “maksudnya…untuk apa kamu pegang-pegang pisau?”pertanyaan yang lucu.
            Aku hanya tertawa kecil.
            “aih.. gila betulan ini anak. Bukan tugasta uruski ini. Urusannya dokter gila”bapak sangar tadi masih mengoceh.
            “aku tidak gila”kataku tak kalah dingin dari sebelumnya sambil menatap mereka tajam.
            Hening.
            nda berniatko ikat ini anak?”bisik bapak tadi pada temannya. Kemudian keduanya diam sambil menatapku yang kini telah mengalihkan pandangan.
            Aku benci tempat ini, seragam itu, dan orang-orang ini. Mereka tak berguna. Hukum mereka hanya di atas kertas, aplikasinya nol. Uang di atas segalanya. Sudah berapa kali aku lolos dari balik jeruji besi karena segepok uang orang tuaku. Dan aku rasa polisi kampung juga tak ada bedanya.
***
            mak Idah, kayaknya itu cucu ta dibawa saja ke rumah sakit”kata si Bapak sangar hati-hati.
            “sakit apai? Apanya berdarah?”Tanya nenek khawatir.
            Kedua polisi tadi saling lirik.
            “begini mak Idah, setelah kami interogasi, sepertinya….cucu mak Idah…”mereka kembali saling lirik.
            “gila”bisik bapak sangar sambil melirik ke arahku yang duduk di kejauhan. Namun aku masih mendengar yang dia katakan.
            “husst! Maksudnya.. begini… sepertinya ada gangguan mental. Sedikit”kata polisi yang satunya sambil mempertemukan ibu jari dan telunjuknya di udara saat mengatakan kata ‘sedikit’.
            Nenek diam. Aku menatapnya dari kejauhan.
            “nanti saya pertimbangkan. Terima kasih pak Polisi atas bantuannya dan tidak kasi masuk cucuku ke penjara”ucap nenek.
            Aku 16 tahun kalau kalian penasaran. Aku di bawah umur. Penjara tidak berlaku bagiku apabila hanya melukai seseorang, kecuali aku membunuhnya.
***
            “Intan salat Isya dulu ya baru tidur”ucap nenek lembut sambil membelai rambutku. Dia masih tetap seperti dulu, seakan tak terjadi apa-apa. Aku hanya mengangguk.
            Setelah salat Isya seperti yang diperintahkan nenek, aku kemudian berbaring di tempat tidurku mencoba tidur. Aku menatap langit-langit, kemudian pandanganku beralih pada lantai dengan bercak merah. Akibat ditinggalkan terlalu lama, darah yang mengenai lantai menjadi kering dan akan sulit dihilangkan terutama pada rumah berbahan kayu ini. Itu darahku…dan mungkin juga darah Wati. Sekelabat rasa bersalah menghantuiku.
“….Tadinya mauki ke sini ajakko main tapi ternyata…”
Masih terngiang kata-kata Nining si gadis aneh di kepalaku. Mereka ingin berteman denganku, tapi aku melukainya. Ah aku memang ditakdirkan tak punya teman. Aku membalik badanku, menenggelamkan tubuhku di balik selimut. Terdengar percakapan dari luar. Nenek, wanita tua yang seperti nenek-nenek pada umumnya, berteriak keras-keras entah kepada siapa. Sebelumnya nenek datang ke kamarku dan memastikan aku sudah tidur. Sehingga mungkin dia merasa bebas berteriak sesukanya.
nda ada psikiater di situ kah mak?”suara seorang wanita paruh baya yang aku tebak berasal dari telepon genggam dan yang aku kenali sebagai suara ibu.
aga yaseng akkuangro?” apa itu? Tanya nenek masih sambil berteriak. Kali ini pasti nenek berbicara keras-keras sambil meletakkan telepon genggamnya di udara dan untuk mendengar suara ibu dia kemudian mengembalikan telepon genggam ke telinganya.
“ah! Dokter mak. Tapi kalo degaga, ajjana! Pessanni ria’! mappakasiri-siri mi ipalesu ri kota e”jawab ibu pelan. Sesungguhnya aku tidak mengerti apa yang mereka katakan. Tapi yang aku rasakan hanyalah atmosfir kesakitan, aku tahu itu berita yang tidak baik untukku. Aku akan merekam yang mereka katakan dalam kepalaku dan menanyakannya suatu saat nanti. Entah kepada siapa.
***
Besoknya, dengan muka tebal aku datang ke sekolah. Yah, apa peduliku. Aku memang tak punya teman sehingga aku takkan merasa dijauhi siapapun. Cibiran dan bisik-bisik aneh mereka? aku  tak peduli.
“dasar orang gila!”
“orang gila…”
“sakit jiwa”
“ih.. dibawaki ke kantor polisi tadi malam nah”
“masa weh?”
“kenapa paeng nda dipenjaraki?”
“masih di bawah umurki bede”
Katanya, kalau orang membicarakanmu maka kamu akan dapat pahala. Semoga saja. Tapi, untuk apa aku dapat pahala? Toh, tempatku juga neraka. Aku merasakan atmosfir itu sepanjang perjalanan menuju kelas. Ada kilas balik kenangan buruk yang bermunculan. Kenangan yang selalu kukubur dalam-dalam. Aku pikir aku sudah melupakannya namun aku sadar, aku takkan pernah lupa. Aku mengepalkan tanganku untuk menahan sesuatu yang berontak dalam diriku. Kemudian sesampai di kelas, semua orang menatapku sama anehnya seakan menatap seorang pembunuh.
kodong Wati nda masukmi sekolah gara-gara DITUSUK PISAU”kata seorang gadis menor dengan pita rambutnya di sana-sini. Serta menekan pada kata-kata terakhirnya.
“iya weh padahal baeknami lagi itu Wati”jawab seorang gadis di sebelahnya yang gayanya hampir mirip hanya saja pernak-perniknya yang berbeda warna. Aku tebak mereka satu geng.
Aku duduk di tempatku. Aku dapat merasakan tatapan Nining di seberang meja memandangku dalam.
“bolehka duduk di sini?”entah sejak kapan dia ada di sebelahku. Sepertinya anak ini memiliki jurus seribu bayangan. Apakah dia gila? Di saat semua anak menjauhiku, bahkan dia melihat kejadiannya kemarin. Hal yang sama juga ada di pikiran anak lain. Mereka menatap kami aneh. Aku diam. Akhirnya Nining mengambil keputusan duduk di sebelahku.
Hening…
Ditemani tatapan melongo anak-anak satu kelas.
Setelah berselang beberapa lama, mereka mulai abai. Lelah berbalik atau ingin bergossip. Namun aku tetap merasakan seseorang masih menatap kecanggungan mejaku. Hanya aku terlalu malu untuk menatap sekitar dan mencari orang itu.
“saya mewakili Wati memaafkan kesalahan kamu kemarin”Nining kemudian bersuara. Dengan nada bahasa Indonesia yang baik dan benar serta agak canggung. “kamu tidak sepenuhnya bersalah, mungkin saja kamu hanya….”jeda sejenak “kamu hanya kurang iman, maka dekatkanlah diri pada Allah subhanawata’ala”ucapnya kemudian.
Meski dengan kalimat yang lugas dan lembut, tapi entah mengapa ada rasa tak suka akan kalimat terakhirnya. Harus kuakui aku memang… ahhhhhh! Aku tak tahu. Kemudian aku langsung berdiri dan pergi, tak peduli tas yang kutinggali.
Aku berjalan cepat melewati kerumunan dengan otot-otot yang menegang? Apa aku marah? Atau karena kebenaran yang entah mengapa tak kusuka itu dilontarkan padaku? Aku kenapa? Yang kurasakan hanya ingin segera sampai di rumah. Krasak krusuk di lorong sekolah disertai bisik-bisik hingga teriakan menggema di telingaku. Aku menjambak rambutku. Iblis dalam diriku meronta ingin keluar.
Sesampai di rumah, aku masuk ke kamar. Meredam diri dalam gelungan bantal dan guling. Aku berteriak kencang yang hanya aku yang mendengar. Kilas balik masa lalu kembali. Dia kembali bangkit setelah sekian lama. Aku mengepalkan tanganku kuat-kuat sambil tetap menjambak rambutku. Ada yang sesak dan meminta dilepaskan. Setiap teriakan tertahanku membuatku sedikit lega namun tidak menghentikan segalanya. Akhirnya aku mencari benda yang sepertinya aku butuhkan. Di laci meja, di kolong ranjang, di bawah bantal, di sela buku, tak ada. Kemudian teringat, benda itu telah disita polisi. Aku semakin kesetanan. Aku berteriak frustasi kemudian sesuatu muncul di otakku. Aku harus menghentikkan ini semua. Gambar-gambar dari masa lalu yang kubenci itu terputar di kepalaku sepanjang perjalananku ke dapur. Air mataku sudah tak terbendung sedari tadi. Aku memilih yang besar. Satu kali untuk lenyapkan segalanya.
“cetass~”
Ada yang putus. Nadi. Milikku.
Akhirnya semua gambar-gambar buruk itu hilang.
Gelap.
***
Jangan lupa nyalakan cahaya. Setidaknya untuk dirimu sendiri. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Laporan Fisika (Arus & Tegangan)

MENGUKUR ARUS DAN TEGANGAN LISTRIK I.                    Tujuan:   Mengetahui cara mengukur arus dan tegangan listrik II.                 Landasan Teori 1.       Hukum Ohm              “ besar kuat arus yang mengalir dalam suatu penghantar berbanding langsung dengan beda potensial antar ujung-ujung penghantar , asalkan suhu penghantar tetap . “                 Hukum ohm menggambarkan bagaimana arus, tegangan, dan tahanan berhubungan.  George ohm menentukan secara eksperimental bahwa jika tegangan yang melewati sebuah tahanan bertambah nilainya maka arusnya juga akan bertambah nilainya. Begitu juga sebaliknya. Hukum ohm dapat dituliskan dalam rumus seb...

I WANT TO DIE BUT I WANT TO EAT TEOKPOKKI Part 1

Dari: diriku Untuk: diriku   saya minta maaf! *** Sebelumnya saya mau review sedikit tentang buku yang sangat excited saya pesan. Sejujurnya ini kali pertama saya memesan buku secara online , ikut pre-order dan nungguin sampe beberapa puluh hari. Saya benar-benar ingin berterima kasih kepada Baek Se Hee yang telah sangat berbaik hati berbagi kisahnya dan menuliskannya dalam sebuah buku. Awalnya saya mengetahui buku itu karena direkomendasikan oleh boygroup Korea Selatan, BTS tapi pada saat itu hanya ada versi hangeul beberapa lama kemudian saya melihat postingan seorang psikiater yang saya ikuti di twitter dan ia diberi tanggung jawab menuliskan kata pengantar pada buku tersebut. Setelah itu tentu saja saya langsung mencari tahu buku yang sudah diproduksi dalam Bahasa Indonesia tersebut. Melihatnya langsung membuat saya sangat senang, awalnya saya berpikir akan membacanya dalam waktu satu hari saja, nyatanyaaa…buku setebal 236 halaman tersebut harus saya baca berha...

CINTA KETINGGALAN KERETA (cerpen)

CINTA KETINGGALAN KERETA Tak terdefinisikan Perasaan yang tak terdifinisikan Kereta melaju semakin cepat nan semakin jauh Meninggalkanku terpuruk di sini Sunyi senyap… tak ada siapa-siapa selain rel kereta ****                 Mentari memasuki celah-celah kamarku, menusuk kulit kuning langsatku tepat di wajahku.                 “hooaaamm” sinar mentari menggantikan alarm yang teronggok di depan kasur                 Pagi yang cerah untuk memulai hari baru, mengukir kenangan dalam sebuah buku tebal pemberian Tuhan. Kuayunkan kakiku menuju kamar mandi dan segera bersiap ke sekolah tercinta bertemu puluhan makhluk ciptaan Tuhan. Sebelumnya perkenalkan aku Diah. Aku kelas dua SMA dan Umurku 15 tahun, tidak, tahun ini akan 16 tahun. Tapi sebelum ta...