“kenapa
kau bisa punya benda ini?”Tanya seorang bapak-bapak berseragam yang sangar.
“semua
orang punya pisau di rumahnya”jawabku dingin. Semua orang di ruangan itu kaget.
“patoa-toai sekali ini anak”kata bapak
tadi geram.
“sudah..sudah..
saya yang interogasi”seorang kawannya menenangkan dan menggeser bapak sangar
tadi. “maksudnya…untuk apa kamu pegang-pegang pisau?”pertanyaan yang lucu.
Aku
hanya tertawa kecil.
“aih..
gila betulan ini anak. Bukan tugasta uruski ini. Urusannya dokter gila”bapak sangar tadi masih mengoceh.
“aku
tidak gila”kataku tak kalah dingin dari sebelumnya sambil menatap mereka tajam.
Hening.
“nda berniatko ikat ini anak?”bisik bapak tadi pada temannya. Kemudian keduanya
diam sambil menatapku yang kini telah mengalihkan pandangan.
Aku
benci tempat ini, seragam itu, dan orang-orang ini. Mereka tak berguna. Hukum
mereka hanya di atas kertas, aplikasinya nol. Uang di atas segalanya. Sudah
berapa kali aku lolos dari balik jeruji besi karena segepok uang orang tuaku.
Dan aku rasa polisi kampung juga tak ada bedanya.
***
“mak Idah, kayaknya itu cucu ta
dibawa saja ke rumah sakit”kata si Bapak sangar hati-hati.
“sakit
apai? Apanya berdarah?”Tanya nenek
khawatir.
Kedua
polisi tadi saling lirik.
“begini
mak Idah, setelah kami interogasi,
sepertinya….cucu mak Idah…”mereka
kembali saling lirik.
“gila”bisik
bapak sangar sambil melirik ke arahku yang duduk di kejauhan. Namun aku masih
mendengar yang dia katakan.
“husst!
Maksudnya.. begini… sepertinya ada gangguan mental. Sedikit”kata polisi yang
satunya sambil mempertemukan ibu jari dan telunjuknya di udara saat mengatakan
kata ‘sedikit’.
Nenek
diam. Aku menatapnya dari kejauhan.
“nanti
saya pertimbangkan. Terima kasih pak Polisi atas bantuannya dan tidak kasi masuk cucuku ke penjara”ucap nenek.
Aku
16 tahun kalau kalian penasaran. Aku di bawah umur. Penjara tidak berlaku
bagiku apabila hanya melukai seseorang, kecuali aku membunuhnya.
***
“Intan
salat Isya dulu ya baru tidur”ucap nenek lembut sambil membelai rambutku. Dia
masih tetap seperti dulu, seakan tak terjadi apa-apa. Aku hanya mengangguk.
Setelah
salat Isya seperti yang diperintahkan nenek, aku kemudian berbaring di tempat
tidurku mencoba tidur. Aku menatap langit-langit, kemudian pandanganku beralih
pada lantai dengan bercak merah. Akibat ditinggalkan terlalu lama, darah yang
mengenai lantai menjadi kering dan akan sulit dihilangkan terutama pada rumah
berbahan kayu ini. Itu darahku…dan mungkin juga darah Wati. Sekelabat rasa
bersalah menghantuiku.
“….Tadinya mauki
ke sini ajakko main tapi ternyata…”
Masih terngiang kata-kata Nining si gadis aneh di
kepalaku. Mereka ingin berteman denganku, tapi aku melukainya. Ah aku memang
ditakdirkan tak punya teman. Aku membalik badanku, menenggelamkan tubuhku di balik
selimut. Terdengar percakapan dari luar. Nenek, wanita tua yang seperti
nenek-nenek pada umumnya, berteriak keras-keras entah kepada siapa. Sebelumnya
nenek datang ke kamarku dan memastikan aku sudah tidur. Sehingga mungkin dia
merasa bebas berteriak sesukanya.
“nda ada
psikiater di situ kah mak?”suara
seorang wanita paruh baya yang aku tebak berasal dari telepon genggam dan yang
aku kenali sebagai suara ibu.
“aga yaseng
akkuangro?” apa itu? Tanya nenek masih sambil berteriak. Kali ini pasti
nenek berbicara keras-keras sambil meletakkan telepon genggamnya di udara dan
untuk mendengar suara ibu dia kemudian mengembalikan telepon genggam ke
telinganya.
“ah! Dokter mak. Tapi
kalo degaga, ajjana! Pessanni ria’! mappakasiri-siri mi ipalesu ri kota e”jawab
ibu pelan. Sesungguhnya aku tidak mengerti apa yang mereka katakan. Tapi yang
aku rasakan hanyalah atmosfir kesakitan, aku tahu itu berita yang tidak baik
untukku. Aku akan merekam yang mereka katakan dalam kepalaku dan menanyakannya
suatu saat nanti. Entah kepada siapa.
***
Besoknya, dengan muka tebal aku datang ke sekolah.
Yah, apa peduliku. Aku memang tak punya teman sehingga aku takkan merasa
dijauhi siapapun. Cibiran dan bisik-bisik aneh mereka? aku tak peduli.
“dasar orang gila!”
“orang gila…”
“sakit jiwa”
“ih.. dibawaki
ke kantor polisi tadi malam nah”
“masa weh?”
“kenapa paeng
nda dipenjaraki?”
“masih di bawah umurki bede”
Katanya, kalau orang membicarakanmu maka kamu akan
dapat pahala. Semoga saja. Tapi, untuk apa aku dapat pahala? Toh, tempatku juga
neraka. Aku merasakan atmosfir itu sepanjang perjalanan menuju kelas. Ada kilas
balik kenangan buruk yang bermunculan. Kenangan yang selalu kukubur
dalam-dalam. Aku pikir aku sudah melupakannya namun aku sadar, aku takkan
pernah lupa. Aku mengepalkan tanganku untuk menahan sesuatu yang berontak dalam
diriku. Kemudian sesampai di kelas, semua orang menatapku sama anehnya seakan
menatap seorang pembunuh.
“kodong Wati
nda masukmi sekolah gara-gara DITUSUK PISAU”kata seorang gadis menor dengan
pita rambutnya di sana-sini. Serta menekan pada kata-kata terakhirnya.
“iya weh padahal baeknami lagi itu Wati”jawab seorang gadis di sebelahnya yang gayanya hampir
mirip hanya saja pernak-perniknya yang berbeda warna. Aku tebak mereka satu
geng.
Aku duduk di tempatku. Aku dapat merasakan tatapan
Nining di seberang meja memandangku dalam.
“bolehka
duduk di sini?”entah sejak kapan dia ada di sebelahku. Sepertinya anak ini
memiliki jurus seribu bayangan. Apakah dia gila? Di saat semua anak menjauhiku,
bahkan dia melihat kejadiannya kemarin. Hal yang sama juga ada di pikiran anak
lain. Mereka menatap kami aneh. Aku diam. Akhirnya Nining mengambil keputusan
duduk di sebelahku.
Hening…
Ditemani tatapan melongo anak-anak satu kelas.
Setelah berselang beberapa lama, mereka mulai abai.
Lelah berbalik atau ingin bergossip. Namun aku tetap merasakan seseorang masih
menatap kecanggungan mejaku. Hanya aku terlalu malu untuk menatap sekitar dan
mencari orang itu.
“saya mewakili Wati memaafkan kesalahan kamu
kemarin”Nining kemudian bersuara. Dengan nada bahasa Indonesia yang baik dan
benar serta agak canggung. “kamu tidak sepenuhnya bersalah, mungkin saja kamu
hanya….”jeda sejenak “kamu hanya kurang iman, maka dekatkanlah diri pada Allah
subhanawata’ala”ucapnya kemudian.
Meski dengan kalimat yang lugas dan lembut, tapi entah
mengapa ada rasa tak suka akan kalimat terakhirnya. Harus kuakui aku memang…
ahhhhhh! Aku tak tahu. Kemudian aku langsung berdiri dan pergi, tak peduli tas
yang kutinggali.
Aku berjalan cepat melewati kerumunan dengan otot-otot
yang menegang? Apa aku marah? Atau karena kebenaran yang entah mengapa tak
kusuka itu dilontarkan padaku? Aku kenapa? Yang kurasakan hanya ingin segera
sampai di rumah. Krasak krusuk di lorong sekolah disertai bisik-bisik hingga
teriakan menggema di telingaku. Aku menjambak rambutku. Iblis dalam diriku
meronta ingin keluar.
Sesampai di rumah, aku masuk ke kamar. Meredam diri
dalam gelungan bantal dan guling. Aku berteriak kencang yang hanya aku yang mendengar.
Kilas balik masa lalu kembali. Dia kembali bangkit setelah sekian lama. Aku
mengepalkan tanganku kuat-kuat sambil tetap menjambak rambutku. Ada yang sesak
dan meminta dilepaskan. Setiap teriakan tertahanku membuatku sedikit lega namun
tidak menghentikan segalanya. Akhirnya aku mencari benda yang sepertinya aku
butuhkan. Di laci meja, di kolong ranjang, di bawah bantal, di sela buku, tak
ada. Kemudian teringat, benda itu telah disita polisi. Aku semakin kesetanan.
Aku berteriak frustasi kemudian sesuatu muncul di otakku. Aku harus
menghentikkan ini semua. Gambar-gambar dari masa lalu yang kubenci itu terputar
di kepalaku sepanjang perjalananku ke dapur. Air mataku sudah tak terbendung
sedari tadi. Aku memilih yang besar. Satu kali untuk lenyapkan segalanya.
“cetass~”
Ada yang putus. Nadi. Milikku.
Akhirnya semua gambar-gambar buruk itu hilang.
Gelap.
***
Jangan lupa nyalakan cahaya. Setidaknya untuk dirimu sendiri.
Komentar
Posting Komentar