Aku
merasakan sesuatu yang ganjil. Suara-suara orang-orang di sekelilingku. Bacaan
Al-Qur’an. Apakah ini neraka? Apa di neraka ada bacaan Al-Qur’an. Kemudian
perlahan namun pasti aku membuka mata. Putih. Ruangan itu putih. Aku
menggerakkan tanganku dan terasa sedikit nyeri, ada kabel panjang yang
menghubungkannya.
“bangun
maki’?”seorang lelaki berdiri di
hadapanku dengan senyum tulus dan… menawan. Sebenarnya dimana aku? Ini tidak
mungkin surga, seorang sepertiku tidak pantas menghuninya.
“sadar
mi?”tiba-tiba seorang gadis berdiri
di samping lelaki tersebut. Si gadis aneh.
“Ya
Allah Intan… nenek bersyukur kamu masih hidup”ucap nenek terisak.
“Intan…”seorang
wanita paruh baya juga turut berurai air mata di samping nenek. Ialah ibu. Ibu?
Apa aku tidak salah lihat?
“sini
saya periksa dulu”seorang pria berjas putih datang dan menggusur semua orang.
Apakah
ini rumah sakit?
***
Aku
tidak mati.
Kenapa
aku tidak mati saja?
Ahh
aku gagal.
“Halo
Kintan! Perkenalkan saya dokter Joe”seorang lelaki kini duduk di samping
kamarku. Aku menatapnya bingung.
“saya
datang ke sini diundang langsung oleh ibu dan ayah kamu. Dari Jakarta”ucapnya
sambal tersenyum. Pembawaannya yang ceria dan membuat nyaman. Dia pasti bukan
orang biasa. Aku masih diam. Kebingungan.
“oh
jadi saya datang ke sini Cuma mau ngobrol aja kok”dokter ramah itu masih
tersenyum riang.
“dokter
psikiater ya?”tanyaku membuka suara.
Dokter
itu masih tersenyum ramah “iya. Dan dokter akan bantu kamu”
“orang
tua saya yang bawa dokter ke sini?”tanyaku heran
“iya”jawab
dokter itu.
Ada
angin apa sehingga ayah ibu bela-belain bawa seorang psikiater mahal ke sini.
Sebenarnya aku tahu dokter itu. Dia psikiater kondang yang sering aku stalk
akun socmednya. Demi mencari sedikit pencerahan dan sekarang akhirnya aku bisa
bertemu dengannya tapi… lidahku terasa kelu untuk bercerita.
“sekarang,
kamu bisa ceritakan masalahmu pada saya. Mungkin saya bisa sedikit membantu.
Relax saja kin”
Aku
menatap dokter itu dalam. Lama. Apakah aku harus bercerita? Dia bisa membantuku
tapi aku rasa…
“setahu
saya mengobati orang dengan gangguan mental membutuhkan waktu yang lama. Tidak
semudah itu”jawabku akhirnya.
“ah
kamu sudah punya sedikit pengetahuan tentang psikiatri yaa”
“kalau
dokter tinggal di Jakarta lalu saya di Makassar bagaimana cara dokter
menyembuhkanku?”
“kamu
bisa pulang ke Jakarta, Kin. Ayah ibu kamu bilang kamu mungkin tidak cocok
dengan lingkungan di sini. Maka kamu bisa kembali ke rumah kamu”
“aku
gak mau”jawabku dingin.
“loh
kenapa?”Tanya dokter itu heran.
“aku
mau di sini aja”
“kamu
gak mau sembuh?”
Aku
bimbang. “aku bisa sendiri”
“Kin…
kamu tau kan penyakit ini tidak bisa disembuhkan sendiri”
“aku
tahu dokter. Aku tahu semuanya. Aku hanya butuh waktu.”jawabku akhirnya,
pikiranku sudah mulai kacau.
Melihat
reaksiku yang agak berlebihan, dokter itu akhirnya menyudahi sesi ini.
***
“….sakit
itu tidak akan selalu menyerangnya, hanya pada saat-saat tertentu saja. Apabila
ada pemicunya. Dia tidak ingin bercerita pada saya. Sebagian dirinya ingin
berbagi kisah namun sebagian dirinya lagi menolak. Sulit untuk percaya. Menolak
percaya pada siapapun. Ketika dia mulai berbagi kisahnya, jangan diabaikan
karena akan sulit mendapatkan kepercayaannya. Jangan biarkan dia sendiri”kalimat
terakhirnya membuatku kesal. Aku tidak akan bebas lagi. Aku masih pura-pura
tidur di tengah orang-orang ini.
“sebenarnya
tingkat depresi yang dialaminya sudah akut sehingga dia sering sekali melakukan
self injury atau melukai diri sendiri
terbukti dari lengannya yang penuh goresan. Saran saya, jauhkan benda-benda
tajam dari dia. Melukai diri ini dia lakukan untuk melampiaskan perasaan kesal
dan kalut dari dirinya juga untuk mengatasi rasa sakit secara emosional dengan
memberikan sensasi pada diri sendiri. Sampai pada percobaan bunuh diri…tingkat
depresi yang dialami benar-benar akut”itu pasti suara dokter itu. Huft!
“saya
baru tahu anak saya mengalami hidup yang seberat itu”itu suara ibu, seperti
terisak.
“apa
yang menjadi sebab dia jadi seperti itu dok?”itu suara ayah.
“banyak
hal yang bisa menjadi penyebabnya pak. Bisa jadi karena stress atau ada luka
psikologis bisa berupa trauma masa lalu dan sebagainya”jawab dokter itu.
Bisa
tidak mereka membicarakanku jauh-jauh saja? Aku bisa mendengar semuanya dan
sejujurnya itu sangat mengganggu.
***
“Intan,
kita kembali ke rumah ya. Di Jakarta”kata Ibu. Akhir-akhir ini untuk pertama
kalinya aku bisa merasakan kasih sayang orang tua yang sesungguhnya. Apakah ini
untuk selamanya atau bersifat sementara? Entahlah.
“aku
mau di sini aja”jawabku singkat.
“tapi
kenapa? Teman-teman kamu nungguin di Jakarta”kata ibu lagi. Aku tersenyum
miring. Teman? Bahkan menghubungiku pun tidak.
“aku
tetap di sini”jawabku lagi. Ibu menyerah. Tidak ingin memaksakan kehendaknya,
tidak seperti biasanya.
***
Lelaki itu datang lagi. Yang aku
lihat pertama kali saat terbangun di rumah sakit.
“hai.
Nama aku Darto”katanya ramah. Aku masih di rumah sakit. Dia mengenakan pakaian
sekolah pertanda baru pulang sekolah.
“kamu
siapa ya?”tanyaku.
“aku
teman kelas kamu. Duduk tepat di belakangmu”
Teman
kelasku? Dan aku tidak tahu dia “maaf”hanya itu yang bisa keluar dari bibirku.
Entah untuk apa.
“nda papa ji”kali ini dengan logat
Makassar yang amat kental. Sepertinya lidahnya sudah kaku berbicara dengan
Bahasa yang formal. kemudian hening.
Aku
terlalu malas untuk berbicara dan dia pun sepertinya kehabisan kata-kata.
Kemudian dia berdiri,
“hm…
seharusnya tidak seperti ini. Rasanya aneh berkhalwat seperti ini. Pulangka
dulu nah! Cepat sembuh”katanya buru-buru kemudian keluar ruangan. Ada apa
dengan anak itu? Dan dia tadi bicara apa?
***
Besoknya dia datang lagi. Dengan
seekor kucing.
“kenapa kamu bawa-bawa kucing?”tanyaku
“supaya
nda berkhalwatki to, setidaknya ada
lagi satu makhluk hidup walaupun berbentuk kucing”katanya ceria.
“khal..apa?”tanyaku bingung. Sedari
kemarin dia menyebut istilah aneh itu.
“khalwat…artinya berdua-duaan dengan
lawan jenis yang bukan mahram”jawabnya.
“emang kenapa?”
“ihh nda boleh tahu. Yang ketiga setan. Nda ditau apa-apa yang akan terjadi
nanti. Apalagi masih mudaki”jawabnya.
Aku semakin tidak mengerti.
“kamu
ngomong apa sih?”
“yang
jelas nda boleh berdua-duaan
laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Itu.”
Aku
memutar bola mata. Whatever.
Sejak
hari itu dia selalu menemaniku di rumah sakit bahkan hingga aku pulang ke
rumah. Setiap hari selalu saja ada yang lucu darinya. Dia biasanya membawa
adiknya, keponakannya yang masih kecil, kucing, ikan atau apapun yang bernyawa.
Supaya tidak..khalwat? aku masih tidak tahu apa modus dia melakukan semua ini.
Dia tidak pernah menatap mataku ketika berbicara. Kecuali ketika akan pulang,
dia akan mengatakan “kamu hebat..kamu luar biasa…kamu berhak hidup” dan
sejenisnya sambal menatapku dalam yang durasinya tidak lebih dari 1 detik. Maka
kupastikan dia tidak menyukaiku. Lalu apa tujuannya?
“kalau
mauki cerita masalahta, cerita maki saja. Saya siap mendengarkan dan membantu”katanya suatu hari.
Kali ini dia membawa keponakannya yang masih berumur 2 tahun dan sedang tidur
di pangkuannya.
“kamu
kepo kenapa aku bisa suicide?”tanyaku.
“aku
hanya ingin membantu”katanya lagi. Sebenarnya dia bukan orang yang pecicilan,
tapi dia orang berwibawa, berkarisma dan bersahaja. Aku bisa melihat dengan
usahanya untuk terdengar ceria di setiap katanya meski terkadang dia gagal.
“aku
Cuma… depresi”jawabku. Dia menatapku dalam. Aku menatapnya balik, kemudian dia
membuang pandangan. Aku sudah terbiasa dengan itu. Bukan karena tidak suka kok,
tapi entah kenapa yang pasti aku bisa membaca bahwa dia melakukannya bukan
karena benci.
“entahlah..
aku juga bingung kalau disuruh cerita. Mungkin, pikiranku Cuma kalut dan
semuanya bertumpuk menjadi satu. Aku melukai diri untuk melampiaskan semua
emosiku yang tertahan karena menangis sudah tidak bisa menumpahkan semuanya.
Rasanya sedikit lega. Sedikit. Sekali”aku melanjutkan. Dia diam saja. Tapi aku
tahu dia menyimak.
“dulu
aku pernah di bully”kata-kata itu meluncur dari bibirku. What wait, kenapa aku bisa mengatakannya?? “waktu tinggal di New
York. Kamu tahu kan pembullyan orang-orang di sana gak main-main. Baik fisik
maupun secara verbal bahkan cyber.
Semua itu menekanku. Setiap hari aku menjalani hari yang seperti itu. Dan itu
sungguh menyiksa”terasa emosi mulai menguasaiku. Sedih marah kesal semua
bercampur menjadi satu. “kemudian, setiap perasaan ku kacau akan berbagai
masalah yang kuhadapi di kehidupanku sekarang, kilas balik masa lalu itu muncul
dengan sendirinya. Aku tidak suka itu. Aku ingin mengakhiri film menyedihkan
yang terputar di otakku itu”kataku akhirnya.
“bullying
memang parah ya meskipun dianggap remeh ji
sama orang-orang. Dampaknya besar sekali”
Ya
besar sekali. Dan masih ada kisah tak terceritakan lainnya. Sungguh aku tak
bisa. . Dengan siapapun itu. Biarlah menjadi kisahku yang kupendam sendiri.
“kalau
kamu mau cerita lebih lepas, cerita saja sama Allah”kata Darto seperti membaca
pikiranku. “tidak adami lagi bisa
ditutup-tutupi kalo cerita sama Allah. Tanpa kita bilang saja sudah nataumi”lanjutnya.
Allah?
“Allah
itu pendengar paling sabar. Dan pastinya nakasiki solusi”
“solusi?
Bahkan wajahnya pun kita gak bisa liat. Bagaimana kita tahu kalau Dia dengar?
Bagaimana kita bisa dapat jawaban dari masalah kita?”tanyaku skeptis.
Pertanyaanku sudah seperti seorang atheis.
“percaya”jawabnya
dengan satu kata, juga dengan senyuman khasnya. “nda bisaki memang lihat,
tapi percayaki saja kalau Allah itu
ada. Dia pasti dengar semua keluh kesah kita, percaya. Dan pasti akan kasi
jawaban dari arah yang tak disangka-sangka, dengan cara yang tak terpikirkan
oleh nalar manusiata. Pokoknya
percaya saja. Dan saya tidak pernah kecewa selama ini ketika berharap sama
Allah”jelasnya menentramkan.
Allah?
Aku masih bertanya-tanya dalam hatiku.
“pahamja. Dulu juga nda langsung beginika’ nah. Butuh proses ji”
“terus
kenapa bisa begitu? Apa pemicunya?”
“karena
pacaran”
“what?”aku shock. Wow. Darto pernah pacaran??
“hehe.
Iya. Sadar maka toh bilang banyak
dosaku apalagi karena pacaran. Maksiat semua. Terus kematian tidak menunggu
sampaiku taubat tapi saya yang tunggu mati dengan taubat. Kubayangkan ji bagaimana mi pas berduaanka sama pacarku terus tiba-tiba mati maka di situ? Mati dalam keadaan su’ul khotimah maka. Na’udzubillah min dzallik. Nda mauka juga masuk neraka gara-gara
itu. Nda kuatka tahan ih
siksaannya”baru kali ini dia bercerita satu paragraph. Aku masih belum sadar dari
shockku.
“emang
kamu gak sayang sama pacar kamu?”tanyaku,
“yaa
sayang lah. Makanya kuputuskan ki”
“sumpah
ya aku gak ngerti”
“ahh nda pahamki definisinya mencintai berarti merelakan. Ah sudahmi deh. Malasma
bahas ih hehe”
“kamu
sendiri yang cerita”
Sebenarnya
aku punya banyak pertanyaan tapi sepertinya Darto tak punya sesi Tanya jawab.
“intinya
semua orang punya masa lalunya masing-masing. Masa kelamnya masing-masing. Jadi
jangan takut untuk jadi lebih baik”dia masih melanjutkan.
“tapi
dosa aku terlalu banyak. Auto masuk
neraka mah aku ini”jawabku putus asa.
“hust!
Kamu nda boleh bicara begitu. Selama masih
bernapaski, semua orang punya hak
untuk menjadi lebih baik kok. Sekelam apapun masa lalunya. Sebanyak apapun
dosanya. Karena pendosa yang hebat itu yang mau bertaubatan nasuha. Taubat yang
sesungguhnya. Jangan mau masuk neraka ah! Berat, kamu takkan kuat. Pokoknya selama
di dunia, usahakan memangmi banyak
bekalta supaya masukki surga. Karena kan nanti hidup ta kekal di sana. Masa sudah hidup kekal
tapi eh di neraka. Hidup di dunia ini bukan untuk mati tapi untuk hidup kembali.
Itu yang harus diingat”tutupnya.
***
Hidup bukan untuk mati, tapi untuk hidup kembali.
Komentar
Posting Komentar