Langsung ke konten utama

B E K U (5)


            Aku merasakan sesuatu yang ganjil. Suara-suara orang-orang di sekelilingku. Bacaan Al-Qur’an. Apakah ini neraka? Apa di neraka ada bacaan Al-Qur’an. Kemudian perlahan namun pasti aku membuka mata. Putih. Ruangan itu putih. Aku menggerakkan tanganku dan terasa sedikit nyeri, ada kabel panjang yang menghubungkannya.
            “bangun maki’?”seorang lelaki berdiri di hadapanku dengan senyum tulus dan… menawan. Sebenarnya dimana aku? Ini tidak mungkin surga, seorang sepertiku tidak pantas menghuninya.
            “sadar mi?”tiba-tiba seorang gadis berdiri di samping lelaki tersebut. Si gadis aneh.
            “Ya Allah Intan… nenek bersyukur kamu masih hidup”ucap nenek terisak.
            “Intan…”seorang wanita paruh baya juga turut berurai air mata di samping nenek. Ialah ibu. Ibu? Apa aku tidak salah lihat?
            “sini saya periksa dulu”seorang pria berjas putih datang dan menggusur semua orang.
            Apakah ini rumah sakit?
***
            Aku tidak mati.
            Kenapa aku tidak mati saja?
            Ahh aku gagal.
            “Halo Kintan! Perkenalkan saya dokter Joe”seorang lelaki kini duduk di samping kamarku. Aku menatapnya bingung.
            “saya datang ke sini diundang langsung oleh ibu dan ayah kamu. Dari Jakarta”ucapnya sambal tersenyum. Pembawaannya yang ceria dan membuat nyaman. Dia pasti bukan orang biasa. Aku masih diam. Kebingungan.
            “oh jadi saya datang ke sini Cuma mau ngobrol aja kok”dokter ramah itu masih tersenyum riang.
            “dokter psikiater ya?”tanyaku membuka suara.
            Dokter itu masih tersenyum ramah “iya. Dan dokter akan bantu kamu”
            “orang tua saya yang bawa dokter ke sini?”tanyaku heran
            “iya”jawab dokter itu.
            Ada angin apa sehingga ayah ibu bela-belain bawa seorang psikiater mahal ke sini. Sebenarnya aku tahu dokter itu. Dia psikiater kondang yang sering aku stalk akun socmednya. Demi mencari sedikit pencerahan dan sekarang akhirnya aku bisa bertemu dengannya tapi… lidahku terasa kelu untuk bercerita.
            “sekarang, kamu bisa ceritakan masalahmu pada saya. Mungkin saya bisa sedikit membantu. Relax saja kin”
            Aku menatap dokter itu dalam. Lama. Apakah aku harus bercerita? Dia bisa membantuku tapi aku rasa…
            “setahu saya mengobati orang dengan gangguan mental membutuhkan waktu yang lama. Tidak semudah itu”jawabku akhirnya.
            “ah kamu sudah punya sedikit pengetahuan tentang psikiatri yaa”
            “kalau dokter tinggal di Jakarta lalu saya di Makassar bagaimana cara dokter menyembuhkanku?”
            “kamu bisa pulang ke Jakarta, Kin. Ayah ibu kamu bilang kamu mungkin tidak cocok dengan lingkungan di sini. Maka kamu bisa kembali ke rumah kamu”
            “aku gak mau”jawabku dingin.
            “loh kenapa?”Tanya dokter itu heran.
            “aku mau di sini aja”
            “kamu gak mau sembuh?”
            Aku bimbang. “aku bisa sendiri”
            “Kin… kamu tau kan penyakit ini tidak bisa disembuhkan sendiri”
            “aku tahu dokter. Aku tahu semuanya. Aku hanya butuh waktu.”jawabku akhirnya, pikiranku sudah mulai kacau.
            Melihat reaksiku yang agak berlebihan, dokter itu akhirnya menyudahi sesi ini.
***
            “….sakit itu tidak akan selalu menyerangnya, hanya pada saat-saat tertentu saja. Apabila ada pemicunya. Dia tidak ingin bercerita pada saya. Sebagian dirinya ingin berbagi kisah namun sebagian dirinya lagi menolak. Sulit untuk percaya. Menolak percaya pada siapapun. Ketika dia mulai berbagi kisahnya, jangan diabaikan karena akan sulit mendapatkan kepercayaannya. Jangan biarkan dia sendiri”kalimat terakhirnya membuatku kesal. Aku tidak akan bebas lagi. Aku masih pura-pura tidur di tengah orang-orang ini.
            “sebenarnya tingkat depresi yang dialaminya sudah akut sehingga dia sering sekali melakukan self injury atau melukai diri sendiri terbukti dari lengannya yang penuh goresan. Saran saya, jauhkan benda-benda tajam dari dia. Melukai diri ini dia lakukan untuk melampiaskan perasaan kesal dan kalut dari dirinya juga untuk mengatasi rasa sakit secara emosional dengan memberikan sensasi pada diri sendiri. Sampai pada percobaan bunuh diri…tingkat depresi yang dialami benar-benar akut”itu pasti suara dokter itu. Huft!
            “saya baru tahu anak saya mengalami hidup yang seberat itu”itu suara ibu, seperti terisak.
            “apa yang menjadi sebab dia jadi seperti itu dok?”itu suara ayah.
            “banyak hal yang bisa menjadi penyebabnya pak. Bisa jadi karena stress atau ada luka psikologis bisa berupa trauma masa lalu dan sebagainya”jawab dokter itu.
            Bisa tidak mereka membicarakanku jauh-jauh saja? Aku bisa mendengar semuanya dan sejujurnya itu sangat mengganggu.
***
            “Intan, kita kembali ke rumah ya. Di Jakarta”kata Ibu. Akhir-akhir ini untuk pertama kalinya aku bisa merasakan kasih sayang orang tua yang sesungguhnya. Apakah ini untuk selamanya atau bersifat sementara? Entahlah.
            “aku mau di sini aja”jawabku singkat.
            “tapi kenapa? Teman-teman kamu nungguin di Jakarta”kata ibu lagi. Aku tersenyum miring. Teman? Bahkan menghubungiku pun tidak.
            “aku tetap di sini”jawabku lagi. Ibu menyerah. Tidak ingin memaksakan kehendaknya, tidak seperti biasanya.
***
            Lelaki itu datang lagi. Yang aku lihat pertama kali saat terbangun di rumah sakit.
            “hai. Nama aku Darto”katanya ramah. Aku masih di rumah sakit. Dia mengenakan pakaian sekolah pertanda baru pulang sekolah.
            “kamu siapa ya?”tanyaku.
            “aku teman kelas kamu. Duduk tepat di belakangmu”
            Teman kelasku? Dan aku tidak tahu dia “maaf”hanya itu yang bisa keluar dari bibirku. Entah untuk apa.
            nda papa ji”kali ini dengan logat Makassar yang amat kental. Sepertinya lidahnya sudah kaku berbicara dengan Bahasa yang formal. kemudian hening.
            Aku terlalu malas untuk berbicara dan dia pun sepertinya kehabisan kata-kata. Kemudian dia berdiri,
            “hm… seharusnya tidak seperti ini. Rasanya aneh berkhalwat seperti ini. Pulangka dulu nah! Cepat sembuh”katanya buru-buru kemudian keluar ruangan. Ada apa dengan anak itu? Dan dia tadi bicara apa?
***
            Besoknya dia datang lagi. Dengan seekor kucing.
            “kenapa kamu bawa-bawa kucing?”tanyaku
            “supaya nda berkhalwatki to, setidaknya ada lagi satu makhluk hidup walaupun berbentuk kucing”katanya ceria.
            “khal..apa?”tanyaku bingung. Sedari kemarin dia menyebut istilah aneh itu.
            “khalwat…artinya berdua-duaan dengan lawan jenis yang bukan mahram”jawabnya.
            “emang kenapa?”
            “ihh nda boleh tahu. Yang ketiga setan. Nda ditau apa-apa yang akan terjadi nanti. Apalagi masih mudaki”jawabnya. Aku semakin tidak mengerti.
            “kamu ngomong apa sih?”
            “yang jelas nda boleh berdua-duaan laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Itu.”
            Aku memutar bola mata. Whatever.
            Sejak hari itu dia selalu menemaniku di rumah sakit bahkan hingga aku pulang ke rumah. Setiap hari selalu saja ada yang lucu darinya. Dia biasanya membawa adiknya, keponakannya yang masih kecil, kucing, ikan atau apapun yang bernyawa. Supaya tidak..khalwat? aku masih tidak tahu apa modus dia melakukan semua ini. Dia tidak pernah menatap mataku ketika berbicara. Kecuali ketika akan pulang, dia akan mengatakan “kamu hebat..kamu luar biasa…kamu berhak hidup” dan sejenisnya sambal menatapku dalam yang durasinya tidak lebih dari 1 detik. Maka kupastikan dia tidak menyukaiku. Lalu apa tujuannya?
            “kalau mauki cerita masalahta, cerita maki saja. Saya siap mendengarkan dan membantu”katanya suatu hari. Kali ini dia membawa keponakannya yang masih berumur 2 tahun dan sedang tidur di pangkuannya.
            “kamu kepo kenapa aku bisa suicide?”tanyaku.
            “aku hanya ingin membantu”katanya lagi. Sebenarnya dia bukan orang yang pecicilan, tapi dia orang berwibawa, berkarisma dan bersahaja. Aku bisa melihat dengan usahanya untuk terdengar ceria di setiap katanya meski terkadang dia gagal.
            “aku Cuma… depresi”jawabku. Dia menatapku dalam. Aku menatapnya balik, kemudian dia membuang pandangan. Aku sudah terbiasa dengan itu. Bukan karena tidak suka kok, tapi entah kenapa yang pasti aku bisa membaca bahwa dia melakukannya bukan karena benci.
            “entahlah.. aku juga bingung kalau disuruh cerita. Mungkin, pikiranku Cuma kalut dan semuanya bertumpuk menjadi satu. Aku melukai diri untuk melampiaskan semua emosiku yang tertahan karena menangis sudah tidak bisa menumpahkan semuanya. Rasanya sedikit lega. Sedikit. Sekali”aku melanjutkan. Dia diam saja. Tapi aku tahu dia menyimak.
            “dulu aku pernah di bully”kata-kata itu meluncur dari bibirku. What wait, kenapa aku bisa mengatakannya?? “waktu tinggal di New York. Kamu tahu kan pembullyan orang-orang di sana gak main-main. Baik fisik maupun secara verbal bahkan cyber. Semua itu menekanku. Setiap hari aku menjalani hari yang seperti itu. Dan itu sungguh menyiksa”terasa emosi mulai menguasaiku. Sedih marah kesal semua bercampur menjadi satu. “kemudian, setiap perasaan ku kacau akan berbagai masalah yang kuhadapi di kehidupanku sekarang, kilas balik masa lalu itu muncul dengan sendirinya. Aku tidak suka itu. Aku ingin mengakhiri film menyedihkan yang terputar di otakku itu”kataku akhirnya.
            “bullying memang parah ya meskipun dianggap remeh ji sama orang-orang. Dampaknya besar sekali”
            Ya besar sekali. Dan masih ada kisah tak terceritakan lainnya. Sungguh aku tak bisa. . Dengan siapapun itu. Biarlah menjadi kisahku yang kupendam sendiri.
            “kalau kamu mau cerita lebih lepas, cerita saja sama Allah”kata Darto seperti membaca pikiranku. “tidak adami lagi bisa ditutup-tutupi kalo cerita sama Allah. Tanpa kita bilang saja sudah nataumi”lanjutnya.
            Allah?
            “Allah itu pendengar paling sabar. Dan pastinya nakasiki solusi”
            “solusi? Bahkan wajahnya pun kita gak bisa liat. Bagaimana kita tahu kalau Dia dengar? Bagaimana kita bisa dapat jawaban dari masalah kita?”tanyaku skeptis. Pertanyaanku sudah seperti seorang atheis.
            “percaya”jawabnya dengan satu kata, juga dengan senyuman khasnya. “nda bisaki memang lihat, tapi percayaki saja kalau Allah itu ada. Dia pasti dengar semua keluh kesah kita, percaya. Dan pasti akan kasi jawaban dari arah yang tak disangka-sangka, dengan cara yang tak terpikirkan oleh nalar manusiata. Pokoknya percaya saja. Dan saya tidak pernah kecewa selama ini ketika berharap sama Allah”jelasnya menentramkan.
            Allah? Aku masih bertanya-tanya dalam hatiku.
            “pahamja. Dulu juga nda langsung beginika’  nah. Butuh proses ji
            “terus kenapa bisa begitu? Apa pemicunya?”
            “karena pacaran”
            what?”aku shock. Wow. Darto pernah pacaran??
            “hehe. Iya. Sadar maka toh bilang banyak dosaku apalagi karena pacaran. Maksiat semua. Terus kematian tidak menunggu sampaiku taubat tapi saya yang tunggu mati dengan taubat. Kubayangkan ji bagaimana mi pas berduaanka sama pacarku terus tiba-tiba mati maka di situ? Mati dalam keadaan su’ul khotimah maka. Na’udzubillah min dzallik. Nda mauka juga masuk neraka gara-gara itu. Nda kuatka tahan ih siksaannya”baru kali ini dia bercerita satu paragraph. Aku masih belum sadar dari shockku.
            “emang kamu gak sayang sama pacar kamu?”tanyaku,
            “yaa sayang lah. Makanya kuputuskan ki
            “sumpah ya aku gak ngerti”
            “ahh nda pahamki definisinya mencintai berarti merelakan. Ah sudahmi deh. Malasma bahas ih hehe”
            “kamu sendiri yang cerita”
            Sebenarnya aku punya banyak pertanyaan tapi sepertinya Darto tak punya sesi Tanya jawab.
            “intinya semua orang punya masa lalunya masing-masing. Masa kelamnya masing-masing. Jadi jangan takut untuk jadi lebih baik”dia masih melanjutkan.
            “tapi dosa aku terlalu banyak. Auto masuk neraka mah aku ini”jawabku putus asa.
            “hust! Kamu nda boleh bicara begitu. Selama masih bernapaski, semua orang punya hak untuk menjadi lebih baik kok. Sekelam apapun masa lalunya. Sebanyak apapun dosanya. Karena pendosa yang hebat itu yang mau bertaubatan nasuha. Taubat yang sesungguhnya. Jangan mau masuk neraka ah! Berat, kamu takkan kuat. Pokoknya selama di dunia, usahakan memangmi banyak bekalta supaya masukki surga. Karena kan nanti hidup ta kekal di sana. Masa sudah hidup kekal tapi eh di neraka. Hidup di dunia ini bukan untuk mati tapi untuk hidup kembali. Itu yang harus diingat”tutupnya.
***
 Hidup bukan untuk mati, tapi untuk hidup kembali.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Laporan Fisika (Arus & Tegangan)

MENGUKUR ARUS DAN TEGANGAN LISTRIK I.                    Tujuan:   Mengetahui cara mengukur arus dan tegangan listrik II.                 Landasan Teori 1.       Hukum Ohm              “ besar kuat arus yang mengalir dalam suatu penghantar berbanding langsung dengan beda potensial antar ujung-ujung penghantar , asalkan suhu penghantar tetap . “                 Hukum ohm menggambarkan bagaimana arus, tegangan, dan tahanan berhubungan.  George ohm menentukan secara eksperimental bahwa jika tegangan yang melewati sebuah tahanan bertambah nilainya maka arusnya juga akan bertambah nilainya. Begitu juga sebaliknya. Hukum ohm dapat dituliskan dalam rumus seb...

I WANT TO DIE BUT I WANT TO EAT TEOKPOKKI Part 1

Dari: diriku Untuk: diriku   saya minta maaf! *** Sebelumnya saya mau review sedikit tentang buku yang sangat excited saya pesan. Sejujurnya ini kali pertama saya memesan buku secara online , ikut pre-order dan nungguin sampe beberapa puluh hari. Saya benar-benar ingin berterima kasih kepada Baek Se Hee yang telah sangat berbaik hati berbagi kisahnya dan menuliskannya dalam sebuah buku. Awalnya saya mengetahui buku itu karena direkomendasikan oleh boygroup Korea Selatan, BTS tapi pada saat itu hanya ada versi hangeul beberapa lama kemudian saya melihat postingan seorang psikiater yang saya ikuti di twitter dan ia diberi tanggung jawab menuliskan kata pengantar pada buku tersebut. Setelah itu tentu saja saya langsung mencari tahu buku yang sudah diproduksi dalam Bahasa Indonesia tersebut. Melihatnya langsung membuat saya sangat senang, awalnya saya berpikir akan membacanya dalam waktu satu hari saja, nyatanyaaa…buku setebal 236 halaman tersebut harus saya baca berha...

CINTA KETINGGALAN KERETA (cerpen)

CINTA KETINGGALAN KERETA Tak terdefinisikan Perasaan yang tak terdifinisikan Kereta melaju semakin cepat nan semakin jauh Meninggalkanku terpuruk di sini Sunyi senyap… tak ada siapa-siapa selain rel kereta ****                 Mentari memasuki celah-celah kamarku, menusuk kulit kuning langsatku tepat di wajahku.                 “hooaaamm” sinar mentari menggantikan alarm yang teronggok di depan kasur                 Pagi yang cerah untuk memulai hari baru, mengukir kenangan dalam sebuah buku tebal pemberian Tuhan. Kuayunkan kakiku menuju kamar mandi dan segera bersiap ke sekolah tercinta bertemu puluhan makhluk ciptaan Tuhan. Sebelumnya perkenalkan aku Diah. Aku kelas dua SMA dan Umurku 15 tahun, tidak, tahun ini akan 16 tahun. Tapi sebelum ta...