Hay. Apa hanya aku yang merasa semua tidak baik-baik saja?
Apa hanya aku yang merasa ada sesuatu yang salah?
Apakah lagi-lagi hanya aku?
Jangan tertipu sampulku.
Memang indah dan warna warni
Dalamnya entahlah.
Aku sendiri bingung.
Dulu selalu ada pundak tempatku bersandar.
Ada lengan yang siap merangkul.
Tidak aku tidak mengharap apa-apa.
Karena aku paham sekali berharap pada manusia adalah yang terburuk.
Hanya saja.. aku merasa ada yang hilang kemudian terganti dengan sesuatu yang buruk sekali.
Aku tak pernah menangis di depan seorang sahabat yang aku kenal sejak taman kanak-kanak sampai sekarang, yang ia rela berkorban banyak untukku.
Aku tak pernah menangis di depan orang yang selalu bersamaku di sekolah, yang selalu ikhlas membantuku.
Aku tak pernah menangis di depan orang yang katanya sahabat ku karena aku selalu bersamanya.
Dan aku juga tak pernah marah pada mereka. Menunjukkan bahwa aku sedang marah dan kesal pada mereka lebih tepatnya.
Bahkan pada dia yang dulunya terasa sedekat nadi itu, dia hanya pernah melihatku menangis ketika kami berpisah yang itu pun kutahan sebisaku tak tersedu hebat walau sedikit gagal. Meskipun dia tau sisi hitam diriku. Tapi semua hanya sebatas virtual. Ya satu-satunya orang yang kutumpahkan amarahku juga dia.
Tapi aku bisa menangis tersedu di pundakmu. Menumpahkan air mata walau tak semua keluh kesah bisa kuceritakan. Kau orang yang pertama. kecuali marah. Aku masih bisa bercerita panjang lebar padamu. Kini aku butuh pundak dan pelukan hangatmu lagi tapi rasanya sudah tidak mungkin. Aku sendiri saja.
Dulu sempat terbesit. Ada apa dengan diri ini?
Mengapa begitu sulit memaafkan dan melupakan semua yang terjadi?
Semua hanya sepele, bodoh!
Bahkan pada dia semua sudah terasa biasa. Mungkin karena kami yang sama-sama pecicilan sehingga ya semua baik-baik saja tanpa perlu ada kata. Bagiku begitu. Ini sudah mode terbaik bagi kita. Dan aku merasa sudah tidak ada lagi yang ganjil. Bila berbeda dengan yang lain ya entah lah mungkin sudah mentok di situ. Tapi sungguh aku merasa sudah baik-baik saja dengan dia. Tanpa rasa tanpa keanehan.
Apakah semua karena rasa? Karena rasa sayangku dulu padanya yang terlalu dalam hingga bisa menutupi luka yang menghujam? Segala kebencian tertutupi rasa kasih? Hingga luka menutup sendiri tanpa bekas. Ah berbekas. Namun itu tak masalah lagi.
Apakah aku tidak menyayangimu sehingga begitu sulit bagiku merasa "biasa"?
Apakah aku sejahat itu?
Kemudian, kemarin aku menemukan secercah cahaya.
Bukan begitu.
Mungkin aku terlalu menyayangimu. Bahkan mungkin melebihi dia.
Bukankah orang yang paling dalam menorehkan luka adalah dia yang paling amat kamu sayangi?
Lukanya terlalu dalam hingga sembuhnya membutuhkan waktu ekstra.
Aku minta maaf, aku sudah berlaku jahat padamu.
Aku sudah jadi orang jahat.
Hatiku masih terluka.
Aku benci diriku akan itu.
Aku sudah mencoba berbagai cara menambal luka namun masih mencuat.
Aku benci keadaan ini.
Aku marah pada diriku.
Kau tau, bahkan menatapmu saja masih sulit buatku. Entah kenapa.
Aku ingin menyapa, namun rasanya kelu sekali.
Aku jahat, tidak menerima permintaan maafmu.
Tapi sungguh aku tidak bisa bersandiwara lagi.
Aku belum bisa sepenuhnya memaafkan. Harusnya aku tidak usah jujur. Namun bila mengatakan memaafkan namun masih terasa ganjil rasanya sungguh buruk. Aku tak dapat berbohong lagi.
Aku menjelma jadi orang jahat.
Kini. Aku bisa marah padamu.
Dua emosi yang tak bisa kutujukan pada orang 'biasa'
Kamu tak biasa bagiku. Tapi mungkin hanya aku.
Dan marah terbesarku adalah diam seribu bahasa.
Aku sudah tidak ingin marah lagi. Sungguh.
Aku ingin menyapa lagi.
Meski semua takkan bisa seperti dulu.
Setidaknya jangan seburuk ini.
Tapi aku beku.
Tak usah memberiku tatapan bersalah, wahai kalian.
Silakan koreksi diri sendiri, belajar dari masa lalu itu, dan perbaiki.
Karena sungguh hatiku akan amat ikhlas memaafkan bila kalian belajar dari kesalahan itu.
Ini menyiksa batinku.
Membuat hidupku tidak tenang.
Sabar ya, aku sedang merayu hatiku memaafkan.
Aku juga ingin hidup tenang.
01/08/2018
Apa hanya aku yang merasa ada sesuatu yang salah?
Apakah lagi-lagi hanya aku?
Jangan tertipu sampulku.
Memang indah dan warna warni
Dalamnya entahlah.
Aku sendiri bingung.
Dulu selalu ada pundak tempatku bersandar.
Ada lengan yang siap merangkul.
Tidak aku tidak mengharap apa-apa.
Karena aku paham sekali berharap pada manusia adalah yang terburuk.
Hanya saja.. aku merasa ada yang hilang kemudian terganti dengan sesuatu yang buruk sekali.
Aku tak pernah menangis di depan seorang sahabat yang aku kenal sejak taman kanak-kanak sampai sekarang, yang ia rela berkorban banyak untukku.
Aku tak pernah menangis di depan orang yang selalu bersamaku di sekolah, yang selalu ikhlas membantuku.
Aku tak pernah menangis di depan orang yang katanya sahabat ku karena aku selalu bersamanya.
Dan aku juga tak pernah marah pada mereka. Menunjukkan bahwa aku sedang marah dan kesal pada mereka lebih tepatnya.
Bahkan pada dia yang dulunya terasa sedekat nadi itu, dia hanya pernah melihatku menangis ketika kami berpisah yang itu pun kutahan sebisaku tak tersedu hebat walau sedikit gagal. Meskipun dia tau sisi hitam diriku. Tapi semua hanya sebatas virtual. Ya satu-satunya orang yang kutumpahkan amarahku juga dia.
Tapi aku bisa menangis tersedu di pundakmu. Menumpahkan air mata walau tak semua keluh kesah bisa kuceritakan. Kau orang yang pertama. kecuali marah. Aku masih bisa bercerita panjang lebar padamu. Kini aku butuh pundak dan pelukan hangatmu lagi tapi rasanya sudah tidak mungkin. Aku sendiri saja.
Dulu sempat terbesit. Ada apa dengan diri ini?
Mengapa begitu sulit memaafkan dan melupakan semua yang terjadi?
Semua hanya sepele, bodoh!
Bahkan pada dia semua sudah terasa biasa. Mungkin karena kami yang sama-sama pecicilan sehingga ya semua baik-baik saja tanpa perlu ada kata. Bagiku begitu. Ini sudah mode terbaik bagi kita. Dan aku merasa sudah tidak ada lagi yang ganjil. Bila berbeda dengan yang lain ya entah lah mungkin sudah mentok di situ. Tapi sungguh aku merasa sudah baik-baik saja dengan dia. Tanpa rasa tanpa keanehan.
Apakah semua karena rasa? Karena rasa sayangku dulu padanya yang terlalu dalam hingga bisa menutupi luka yang menghujam? Segala kebencian tertutupi rasa kasih? Hingga luka menutup sendiri tanpa bekas. Ah berbekas. Namun itu tak masalah lagi.
Apakah aku tidak menyayangimu sehingga begitu sulit bagiku merasa "biasa"?
Apakah aku sejahat itu?
Kemudian, kemarin aku menemukan secercah cahaya.
Bukan begitu.
Mungkin aku terlalu menyayangimu. Bahkan mungkin melebihi dia.
Bukankah orang yang paling dalam menorehkan luka adalah dia yang paling amat kamu sayangi?
Lukanya terlalu dalam hingga sembuhnya membutuhkan waktu ekstra.
Aku minta maaf, aku sudah berlaku jahat padamu.
Aku sudah jadi orang jahat.
Hatiku masih terluka.
Aku benci diriku akan itu.
Aku sudah mencoba berbagai cara menambal luka namun masih mencuat.
Aku benci keadaan ini.
Aku marah pada diriku.
Kau tau, bahkan menatapmu saja masih sulit buatku. Entah kenapa.
Aku ingin menyapa, namun rasanya kelu sekali.
Aku jahat, tidak menerima permintaan maafmu.
Tapi sungguh aku tidak bisa bersandiwara lagi.
Aku belum bisa sepenuhnya memaafkan. Harusnya aku tidak usah jujur. Namun bila mengatakan memaafkan namun masih terasa ganjil rasanya sungguh buruk. Aku tak dapat berbohong lagi.
Aku menjelma jadi orang jahat.
Kini. Aku bisa marah padamu.
Dua emosi yang tak bisa kutujukan pada orang 'biasa'
Kamu tak biasa bagiku. Tapi mungkin hanya aku.
Dan marah terbesarku adalah diam seribu bahasa.
Aku sudah tidak ingin marah lagi. Sungguh.
Aku ingin menyapa lagi.
Meski semua takkan bisa seperti dulu.
Setidaknya jangan seburuk ini.
Tapi aku beku.
Tak usah memberiku tatapan bersalah, wahai kalian.
Silakan koreksi diri sendiri, belajar dari masa lalu itu, dan perbaiki.
Karena sungguh hatiku akan amat ikhlas memaafkan bila kalian belajar dari kesalahan itu.
Ini menyiksa batinku.
Membuat hidupku tidak tenang.
Sabar ya, aku sedang merayu hatiku memaafkan.
Aku juga ingin hidup tenang.
01/08/2018
Komentar
Posting Komentar