Sekarang
hari-hariku diisi dengan seorang pria bernama Darto. Sedikit banyak dia
mengajarkanku tentang agama yang selama ini hanya sebatas kutahu dari sekolah.
Itu pun tak seberapa. Ternyata ilmu agama itu begitu luas, rasanya aku adalah
makhluk paling bodoh jika berhadapan dengan agama. Sekarang aku punya kebiasaan
baru. Bukan bermain dengan pisau lagi, bahkan aku sudah jarang sekali
melihatnya. Nenek menyembunyikan semua benda tajam yang ada di rumah. Ketika
sekelabat keinginan menyakiti diri datang lagi, aku punya jurus baru.
Mendengarkan murrotal Al-Qur’an. Setiap kali perasaan-perasaan aneh itu mulai
menghantui, aku langsung menggunakan sisa-sisa akal sehatku untuk memutar
murrotal. Memang tak langsung berhenti, namun setidaknya cukup melegakan. Lama-lama
aku jadi terbiasa dan aku tak tahu bahwa semuanya semenenangkan itu. Hingga
akhirnya aku lupa rasa sakit dan tertidur. Ya sangat mengherankan memang. Darto
menyarankanku untuk itu. Dan oh yah aku sudah punya hp sekarang meski hanya
dapat kugunakan sebatas itu. Telponan dengan Darto? Ah kamu bercanda,
sejujurnya aku tak sedekat itu dengannya. Hanya saja… entahlah.
Namun
ada yang berbeda dengannya akhir-akhir ini. Dia seakan menjauhiku. Apakah
setelah semua yang dia lakukan, hal terbaik yang bisa dilakukannya sekarang
adalah menjauhiku? Setelah merasa sedikit berharga untuk hidup dan memiliki
kawan, dia akan meninggalkanku?
“sebenarnya
ada beberapa hal yang melenceng tentang semua ini”ucapnya memulai pembicaraan
sore ini.
“maksud
kamu?”aku tak paham.
“seorang
ikhwan dan akhwat seharusnya tak punya hubungan yang intens. Ya maksud aku…”
“aku
tidak menyukaimu sebagai pria kok. Aku menganggapmu sebagai teman”apa dia ada
rasa terhadapku? Aku kepedean.
“iya
aku tahu. Aku juga menganggapnya begitu. Hanya saja sebenarnya dalam pergaulan
ikhwan dan akhwat itu sudah ada aturannya dan batasan-batasannya. Dan sebelum
kita melangkah ke hal-hal yang lebih intens lagi lebih kita cegah to?”
“hal-hal
yang lebih intens?”sungguh aku tak paham.
“mungkin
saat ini kita masih belum merasa apa-apa. Maka biarkan seperti itu karena
memang harusnya demikian. Tapi kita sungguh tak tahu apa yang akan terjadi
nanti. Kita manusia normal. Kamu perempuan, saya laki-laki. Kita masih remaja
dengan pencarian jati diri yang masih menggebu-gebu. Setan selalu ada di
sekeliling kita. Dan kamu muslimah dimana fitnah bisa menyebar kemana-mana.
Saya hanya ingin menjaga agar perasaan kita sebatas menjadi teman. Karena
apabila sudah melewati batas maka akan menjadi soal lain lagi. Dan pada
akhirnya kita hanya akan menyakiti diri kita sendiri karena perjalanan kita
masih sangat panjang untuk ke arah yang lebih serius”
Aku
hanya mengerti sedikit. Mengapa pembicaraan ini menjadi begitu dewasa? Kita
hanya ingin berteman, tak lebih.
“semua
berawal dari teman loh”katanya lagi seperti membaca pikiranku.
“jadi?”
tanyaku akhirnya. Bingung dengan cerita yang berputar-putar.
“kita
sudah tidak bisa seperti ini lagi. Tetap menjadi biasa. Kita saling menjaga
diri dan menjaga pandangan kita. Komunikasi tidak berlebihan dan sesuai
syari’at saja. Saat pertama kali lihat kamu, saya tahu kamu tidak sedang
baik-baik saja. Dan saya ingin menolong kamu , saat ini saya rasa tugas saya
telah selesai”jawabnya.
“tapi
aku masih mau belajar agama”kataku lagi.
“nah
karena itu aku akan bawakan seorang kawan yang akan membantu kamu memperdalam
ilmu agama”jawabnya antusias.
“terus
apa bedanya sama kamu?”
“ya
bedalah. Kan dia perempuan. Jadi kamu bisa belajar sama mahram kamu”jawabnya
lagi makin ceria.
“siapa?”
“Nining
dan Wati”
“kamu
gila ya?”suaraku agak meninggi.
“loh
kenapa?”tanyanya bingung.
“Nining
itu udah ngata-ngatain aku kurang iman”jawabku emosi, kemudian aku sadar akan
suatu hal “yahh emang iya sih”lanjutku lirih.
“saya
yakin mereka akan membantu kamu menjadi manusia yang lebih baik. Jauh dari
depresi dan melupakan masa lalu mu yang kelam”katanya bersemangat.
Lupa
akan masa lalu ya. Hah. Sepertinya itu suatu kemustahilan.
****
Nining
dan Wati akhirnya menjadi satu-satunya temanku di sekolah ini. Selain Darto
yang yahh teman tapi jauh. Sejujurnya aku lebih senang belajar dengan Darto
dibanding mereka tapi ah sudahlah. Aku sering diajak pergi kajian-kajian
mendengarkan ceramah yang sejujurnya agak membosankan bagiku. Tapi tetap
kujalani. Aku agak risih jika diajak ke kajian dan semua orang menggunakan
hijab sementara aku menggunakan baju seadanya dan tutup kepala juga seadanya.
Aku merasa malu.
Kemudian
hari ini sesuatu yang mengejutkanku terjadi.
“tadi
aku habis dari pasar sama ibu”kata Nining dengan bahagia. “ibu beliin hadiah
untuk kamu”katanya lagi sambil membuka kantongan plastic.
“hadiah?
Tapi aku kan tidak sedang ulang tahun”ulang tahunku masih lama.
“memberi
hadiah itu kan Sunnah dari ibunda Aisyah radiallahuanha, dan tidak harus di
hari ulang tahun”jawab Nining masih dengan wajah berseri-seri. “ini dia”katanya
sambil melebarkan sebuah kain panjang yang aku tahu sebagai penutup kepala
alias hijab.
“wahh
bagusnya”Wati memekik kagum.
Aku
menatapnya heran. Mereka memberiku hijab?
“sekarang
ayo coba Kin”Nining masih bersemangat.
“iya
coba Kin. Nining pakaikanki
tawwa”kali ini Wati
Nining
akhirnya perlahan-lahan mengenakan hijab itu padaku. Setelah beberapa detik,
aku mematut diriku di cermin. Aku kah itu? Aku terlihat amat… berbeda.
“aku
harus pakai ini?”tanyaku polos.
Nining
mengangguk “iya. Wajib. Karena kamu perempuan yang cantik. Dan kamu sudah
baligh”
“kenapa
aku harus pakai?”
“karena
itu kewajiban muslimah”kali ini Wati menjawab.
“mamaku
gak pake”
“karena
mungkin ibu ta juga belum terlalu
paham mengenai menutup aurat”jawab Nining lembut.
“kalau
aku gak pakai gimana?”
“nanti
Ayahnya Kintan masuk neraka loh”Wati menakut-nakuti. Hah? Emang gitu ya?
“kok
bisa? Kan yang dosa aku”
“tapi
kan Ayahnya Kin yang tanggung semua dosa kin dan ibu Kin sebelum Kin menikah.
Kalau sudah nikah, nanti suami yang tanggung. Begitu besar tanggung jawab
seorang lelaki”jawab Nining lagi.
“aku benci Ayah”tanpa sadar aku nyeletuk. Kulihat
Nining dan Wati shock.
“kenapa?”kali
ini Wati yang bertanya.
“Ayah
jahat”
“ayah
Kin gak pernah jahat. Ibu Kin juga. Tak ada orang tua yang jahat pada anaknya”
ada. Orang tuaku. “semua yang mereka lakukan untuk kita adalah wujud cinta
mereka pada kita, meskipun dengan cara yang berbeda. Atau mungkin saja mereka
hanya tidak tahu mengekspresikannya”
“mereka
memang gak sayang aku”
“kalau
nda sayang, nda mungkin datang ke sini saat Kin ada di rumah sakit. Sampai
bawakan dokter ganteng dari Jakarta. Sampai menangis terus itu 3 hari 3 malam, nda tidur karena nda sadar-sadar ki”ujar
Wati yang seketika membuatku kaget. Benarkah ayah ibu seperti itu?
“intinya
semua orang tua itu baik kin. Semua pasti ingin yang terbaik untuk anaknya,
jadi Kin juga harus sayang sama orang tuanya”
“apa
aku Cuma harus pakai ini?”tanyaku menatap diri di cermin.
“nanti
aku ajarin”ucap Nining semakin bersemangat.
***
Aku
merasa seperti terlahir kembali. Menjadi jiwa yang baru. Semua tentang ku
berubah. Aku bahkan sebentar lagi akan menyelesaikan pendidikan di sekolah
putih abu-abu. Aku telah menjadi pribadi yang baru. Melupakan perasaan depresi
yang menggila itu dan memulai hidup baru dengan dekat dengan-Nya.
You know,mungkin sedikit banyak dari
kita tak suka dicap sebagai kurang iman dan sebagainya tapi ketahuilah mungkin
itu ada benarnya. Kita lepas dari ketentraman karena kita jauh dari pencipta
kita. Saat imanku sedang down,
depresi itu muncul kembali sehingga benar-benar aku harus selalu up imanku agar masa lalu yang ganjil itu
benar-benar terkubur dalam. Masih ada yang belum aku ceritakan tentang masa
lalu itu ya. Ah sepertinya biarkan itu menjadi rahasiaku dengan Rabb. Hanya
saja, jangan pernah judge seseorang
karena masalah kejiwaannya. Stigma masyarakat yang selalu menganggap orang
dengan masalah kejiwaan sebagai orang gila dan semacamnya lah yang sejujurnya
perlahan namun pasti membunuh mereka. Coba beri semangat, beri dukungan tanpa
harus tahu apa yang terjadi. Sepertinya itu tak masalah bukan? Kita diajarkan
untuk menjadi manusia yang harusnya peduli akan sesama, bukan tukang gossip yang hanya ingin tahu tanpa ada
simpati. Kamu tak tahu seberapa berat yang ia rasa. Kamu tak tahu, dia takkan
pernah cerita. Mereka tak bisa percayai siapapun itu, mungkin karena takut
dianggap aneh, dijauhi, diledek, ditertawakan atau cerita yang menyebar. Tolong
jangan ditertawakan sebab masalah pada kejiwaannya tentu bukan masalah biasa. Bullying, kekerasan, sex harassment, trauma, tertekan, stress berlebih dan lainnya.
Semua itu bisa memicu masalah dalam kejiwaan seseorang. Terkadang bagi kita
sepele, namun bagi orang lain mungkin hal tersebut adalah hal yang amat melukai
dirinya. Terutama bullying yang
selalu kita anggap remeh, banyak orang yang sudah mati karenanya, tak bisakah
satu dua orang saja menjadi pelajaran bagi kita?
Ketenangan
jiwa itu…datangnya dari Allah. Secara spiritual. Semua terjadi karena hal-hal
ajaib yang tak diterima nalar namun terasa hingga ke nadi.
***
Tak dapat dipungkiri, kita memang makhluk sosial
Komentar
Posting Komentar